Konflik Agraria, Paradoks Pembangunan tetapi Rakyat Selalu Jadi Korban




Oleh : Aazma Masroya
(Pemerhati Permasalahan Publik)



Presiden Joko Widodo menargetkan urusan sertifikasi tanah masyarakat di seluruh tanah air bisa selesai pada tahun depan. Hal tersebut disampaikannya ketika membagikan sertifikat tanah di kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (27/12).

Jokowi mengakui menyelesaikan masalah sertifikasi tanah masyarakat bukanlah hal mudah. Sejak 2015, katanya, ada 126 juta lahan di di berbagai penjuru tanah tanah air yang harus disertifikatkan. Namun, pada saat itu, baru 46 juta lahan yang memiliki sertifikat mengingat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) hanya mengeluarkan sertifikat tanah sebanyak 500 ribu sertifikat per tahun. Dikutib dari voaindonesia.com 28/12/23.

“Artinya masih 80 juta yang belum bersertifikat sehingga konflik di negara kita banyak gara-gara lahannya, tanahnya belum bersertifikat. Ada yang dengan tetangganya, saudara dengan saudaranya, antar masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan swasta, di mana-mana Dan itu sekarang saya ke desa , ke daerah, 1-2 masih ada, tapi ini meredam konflik lahan, meredam sengketa-sengketa tanah,” paparnya.

Pembagian Sertifikat Lahan Tidak Dapat Menyelesaikan Konflik Agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan data 2.710 konflik agraria terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo serta menurut Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah. Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo pada saat itu, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2022 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.

Namun menurut ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin mengatakan penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak dapat menyelesaikan konflik agraria yang sampai detik ini masih membelenggu Indonesia.

Berbagai konflik ruang hidup juga terjadi di beberapa kota lainnya di Indonesia. Misalnya Di antaranya adalah kasus tambang batu kapur di Bojonegoro jawa timur, Di Desa Pakel, Banyuwangi, para petani harus berhadapan dengan perusahaan perkebunan PT Bumi Sari karena terjadi ketimpangan kepemilikan atas tanah. Tidak kalah dahsyatnya adalah konflik yang ramai menyita perhatian publik, yaitu konflik Wadas dan Rempang.

Sepanjang 2023, terjadi banyak perampasan ruang hidup rakyat hingga menyebabkan konflik berkepanjangan antara rakyat dan pemerintah atau pengusaha. Konflik paling sering terjadi di sektor perkebunan, perhutanan, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, dan penggusuran lahan rakyat untuk pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan.

Dalam semua kasus ini, rakyat selalu menjadi korban. Mereka kehilangan lahan dan bahkan nyawa. Sementara itu, negara tampak lemah dalam menyolusi konflik yang ada. Negara seolah lebih berpihak pada investor (perusahaan), padahal seharusnya negara menjadi pihak yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya konflik tersebut. Ini karena negara adalah pihak yang mengeluarkan izin bagi perusahaan untuk menguasai lahan dan mengelolanya.

Selanjutnya, pemberian izin ini menjadi masalah karena menghilangkan hak-hak masyarakat.
Pemerintah menggunakan sudut pandang kapitalisme yang dilandasi kebebasan dalam investasi sehingga demi mendatangkan investasi, pemerintah menghalalkan segala cara. Ideologi kapitalisme juga membolehkan swasta berinvestasi di sektor yang terkategori milik umum, seperti pertambangan dan hutan.

Sering kali tanah milik warga tergusur dengan alasan tanah tersebut milik negara. hal demikian terjadi setidaknya oleh dua faktor. Pertama, faktor tidak jelasnya penentuan status kepemilikan tanah. Karena dalam konsep ekonomi neolib tidak ada pengaturan tentang mana lahan yang boleh dimiliki individu dan mana yang tidak boleh.

Semua lahan diklaim milik negara dan negara bisa mengalihkan pengelolaanya pada swasta. Apalagi jika kita melihat status kepemilikan lahan harus berdasarkan pada legalitas formal seperti sertifikat. Hal demikian akan membawa konflik kepemilikan.

Islam Selesaikan Konflik

Berbeda sistem yang ada dimana membebaskan kepemilikan. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memiliki konsep kepemilikan yang datang langusng dari pencipta. Mana lahan yang boleh dimiliki individu dan mana yang tidak, serta mana yang boleh dimiliki negara dan mana yang merupakan milik umum.
Terdapat dua konsep penting dalam Islam untuk mengakhiri konflik lahan. Yakni mengembalikan status kepemilikan lahan sesuai yang ditetapkan Allah Swt. dan hadirnya fungsi negara secara benar sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Dalam pandangan Islam, lahan memiliki tiga status kepemilikan, pertama adalah lahan yang boleh dimiliki individu seperti lahan pertanian, ladang, kebun dan sebagainya. Kedua, Lahan milik umum seperti hutan, tambang dan sebagainya, Islam melarang penguasaanya pada swasta/korporasi. Karena hal demikian dapat menghalangi masyarakat untuk memanfaatkannya. Dan juga menjadi pemicu terjadinya konflik.

Ketiga, lahan milik negara yaitu lahan yang tidak berpemilik dan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan milik negara. Berdasarkan pembagian ini, maka tidak dibolehkan bagi individu untuk memiliki lahan milik umum sekalipun diberikan konsesi/ijin oleh negara.
Selain itu, kepemilikan lahan dalam islam bersatu dengan pengelolaanya. Artinya, walaupun suatu lahan yang sah dimiliki seseorang, namun ditelantarkan hingga tiga tahun, hak kepemilikan akan hilang darinya. Begitu pun sebaliknya, ketika ditemukan suatu lahan yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang di sana, maka boleh dimiliki siapa pun asalkan lahan tersebut dikelolanya.
Pengaturan inilah yang akan menjaga kepemilikan seseorang atas lahan. Pun terhadap tanah terlantar akan dengan mudah tergarap dan termanfaatkan.

Selain konsep kepemilikan, Islam pun akan menghadirkan penguasa bervisi melayani umat. Mereka akan hadir justru membela hak-hak umat atas hartanya termasuk lahannya. Bukan membela korporasi dan mengkriminalisasi rakyat, apalagi merampas tanah rakyat. Penguasa dalam islam akan menjamin kepemilikan individu dan akan memastikan kepemilikan lahan sesuai dengan ketentuan syariat.

Pemerintah pun akan memastikan seluruh hak warganya terpenuhi tanpa kecuali, baik masyarakat desa maupun kota. Fenomena adanya masyarakat adat sebenarnya terlahir dari ketidakmampuan negara kapitalisme dalam mengurusi seluruh masyarakat. Sedangkan sistem Islam akan benar-benar memastikan rakyatnya sejahtera. Serta nilai-nilai yang berlaku di suatu masyarakat tak bertentangan dengan islam.
Pembangunan di dalam Islam tidak melibatkan investasi asing yang justru akan membahayakan bagi negerinya. Pembangunan semata-mata diambil dari dana baitulmal.

Dengan pengaturan yang sempurna ini, kesejahteraan bagi semua rakyat akan terjamin. Pengaturan kepemilikan berbasis syariat Islam akan menjauhkan dari konflik horizontal (sesama rakyat) maupun konflik vertikal (rakyat dan penguasa).

Kebijakan Pembangunan Khilafah Meniscayakan Tanpa Penggusuran Paksa

Semua itu berbeda secara diametral dengan kebijakan pembangunan dalam Islam. Pembangunan dilaksanakan oleh institusi yang menjamin sesuai fitrahnya, tidak akan membuat rakyat kesulitan dan tidak akan ada penggusuran paksa. 

Pada dasarnya, penolakan terhadap relokasi ataupun penggusuran bukan berarti penolakan terhadap pembangunan yang akan dilakukan pemerintah. Namun nyatanya, dalam sistem saat ini, penggusuran telah menimbulkan kemiskinan struktural karena orang-orang yang lahannya dirampas kebanyakan terjebak dalam jurang kemiskinan.

Kalau dalam sistem Islam, jika pembangunan tersebut untuk kepentingan umum, negara penerap syariat Islam kafah akan meminta kerelaan masyarakat menyerahkan tanahnya tanpa adanya paksaan sedikit pun tanpa perlu mengerahkan aparat keamanan. Negara pun akan memberikan ganti tanah maupun rumah tinggal dengan kompensasi yang sesuai, bahkan lebih baik. Kebutuhan pokok berupa rumah layak huni yang nyaman dan aman akan negara sediakan sebagai kompensasinya. 

Demikian pula lapangan pekerjaan yang sebelumnya digeluti oleh mereka yang tergusur, akan disediakan oleh negara. Hak-hak perempuan dan generasi, yaitu anak-anak, akan dipenuhi negara sehingga tidak ada pihak yang terzalimi, apalagi hingga terjadi dharar (bahaya).

Nabi saw. bersabda, “Tidak ada dharar (bahaya) dan tidak ada membahayakan (baik diri sendiri maupun orang lain).” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daraquthni).

Semua itu dilakukan oleh negara atas dasar syariat Islam yang menjadikan negara sebagai pelayan (raa’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya.
Ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau sangat memperhatikan keadilan bagi rakyatnya dan begitu tegas terhadap pejabat yang bertindak sewenang-wenang. 

Sebagaimana kisah seorang Yahudi tua yang mengadukan kesusahannya kepada Khalifah Umar ra. akibat tindakan Gubernur Mesir Amr bin Ash yang mendirikan masjid dengan menggusur paksa tanah dan gubuk Yahudi tersebut. Amr bin Ash pun mendapat peringatan keras dari Khalifah Umar.
Orang Yahudi yang tanah dan gubuknya tergusur itu pun menjadi kagum dengan keadilan Khalifah Umar yang tidak pandang bulu. Akhirnya, si Yahudi masuk Islam dan merelakan tanahnya diwakafkan untuk pembangunan masjid. Nyatalah, tidak ada negara yang dapat mewujudkan pembangunan tanpa penggusuran paksa, kecuali Khilafah.

Sudah saatnya umat Islam menerapkan syariat Islam secara kafah dan sempurna agar semua konflik agraria terselesaikan, perampasan ruang hidup tidak akan terjadi, masyarakat bisa hidup aman dan sejahtera. Dengan demikian, konflik lahan akan bisa diakhiri. 

Wallahualam bissawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak