Konflik Agraria Keniscayaan dalam Sistem Kapitalisme Sekuler




Oleh : Amy Musa



Selama periode 2009-2022 setidaknya ada 4.107 kasus konflik agraria di Indonesia yang berdampak pada sekitar 2,25 juta kepala keluarga (KK).

Databoks menghimpun angka ini dari rangkaian laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang rutin merilis sejak 2009.

Konflik agraria pada 2017 juga mengakibatkan 13 orang tewas, 6 orang tertembak, 369 orang ditahan dan 612 orang menjadi korban kekerasan.

Menurut KPA, mayoritas kasus konflik agraria pada 2017 terkait dengan sektor perkebunan, terutama untuk komoditas kelapa sawit, diikuti sektor properti dan infrastruktur.

Seperti yang terjadi baru baru ini misalnya, konflik terjadi di Pulau Rempang, Batam. Pada Kamis (7/9/2023) warga Rempang bentrok dengan aparat gabungan TNI, Polri, Satpol PP dan Direktorat Pengamanan Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Bentrokan itu terjadi karena sejumlah warga menolak pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Rempang Eco-City yang dikelola pemerintah melalui BP Batam.

Menurut keterangan dari Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Batam (Kominfo Batam), proyek Rempang Eco-City itu akan merelokasi sekitar 2.700 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 16 kampung di Rempang secara bertahap.

Banyaknya konflik agraria ini tidak terjadi begitu saja. Adanya kesalahan dalam tata kelola agraria dan adanya kebebasan kepemilikan yang dilegalkan akan menjadikan siapapun bisa menguasai selama dia memiliki modal.

Saat ini, siapapun yang tidak mampu menunjukkan sertifikat kepemilikan maka status tanah nya menjadi milik negara walaupun mereka sudah menempatinya selama turun temurun (seperti kasus Rempang contohnya), maka dengan begitu negara boleh memberikan hak guna lahan kepada siapa saja yang menginginkan.

Pastinya kita pun ketahui bahwa yang selalu menjadi korban adalah rakyat, karena mereka berhadapan dengan perusahaan perusahaan besar. Konflik agraria yang terhitung banyak ini menunjukan bahwa pemerintah tidak mampu memberikan penyelesaian tuntas. Dari sini bisa kita simpulkan bahwa selama aturannya mengadopsi sistem demokrasi kapitalisme yang melegalkan kebebasan kepemilikan maka menjadi keniscayaan konflik agraria akan selalu ada.

Islam Menyelesaikan

Berkaitan dengan kepemilikan, Islam sangat jelas pengaturannya, yaitu kepemilikan umum, kepemilikan individu dan kepemilikan negara. Bahwa Sumber Daya Alam (SDA) yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti padang rumput, air dan api (minyak bumi dan gas alam) tidak boleh dikuasai oleh individu. Semua itu pengelolaannya dilakukan oleh negara dan hasilnya untuk kemaslahatan rakyat.

Untuk kepemilikan individu, negara melarang setiap orang berbuat sewenang wenang, seperti merebut hak milik misalnya. Siapa saja yang bisa menghidupkan tanah maka tanah itu menjadi miliknya tanpa harus menunjukan sertifikat kepemilikan.

Islam lahir sebagai sistem yang sempurna dan paripurna. Maka saat nya lah kita beralih kepada sistem islam yang mampu menjadi solusi untuk seluruh problematika kehidupan.

Wallahu 'alam bish shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak