Kecelakaan Kereta Api Terjadi Lagi, Kurangnya Mitigasi ?




Oleh : Eti Fairuzita


Media asing mulai menyoroti tabrakan antara Kereta Commuterline Bandung Raya dengan Kereta Api (KA) Turangga pada Jumat (5/1/2024) pukul 06.03 WIB. Kecelakaan terjadi di jalur tunggal (single track) km 181+700 petak jalan antara Stasiun Haurpugur dengan Stasiun Cicalengka.
Agence France-Presse (AFP), melalui artikel "4 dead, 22 injured in Indonesia train collision" yang mengutip data pejabat terkait, melaporkan jumlah korban tewas dan luka-luka terbaru dari insiden tersebut.

"Empat orang tewas dan sedikitnya 22 luka-luka saat dua kereta yang membawa ratusan penumpang bertabrakan di Indonesia pada hari Jumat," menurut laporan tersebut, menambahkan jumlah korban luka yang dilaporkan bervariasi.
"Polisi menyebutkan jumlahnya 37 orang sementara operator kereta api mengatakan 22 orang terluka."
"Tidak ada korban jiwa yang dilaporkan di antara hampir 500 penumpang di dalamnya, dengan keempat kematian yang dilaporkan sejauh ini melibatkan awak kereta," tambahnya.

Media ini juga menyebut gerbong depan kedua kereta hancur berantakan, sementara gerbong lain di belakang tergelincir dan terbalik di jalur yang membelah sawah di provinsi Jawa Barat tersebut.
"Penyebab kecelakaan ini belum diketahui," tambah laporan tersebut.
AFP menyebut kecelakaan transportasi adalah hal yang lumrah terjadi di Indonesia. "Negara kepulauan yang luas di mana bus, kereta api dan bahkan pesawat sering kali sudah tua dan tidak dirawat dengan baik," kata laporan tersebut.

Hal yang sama juga disampaikan media berbasis di Hong Kong, BNN Breaking, melalui artikel "Train Collision in Bandung: A Tragic Wake-Up Call for Indonesia's Aging Railway Infrastructure".
Dalam artikel tersebut dilaporkan bahwa penyebab kecelakaan tersebut akibat infrastruktur yang sudah menua.

"Tabrakan kereta api menjadi pengingat akan frekuensi kecelakaan kereta api di Indonesia, negara yang bergulat dengan infrastruktur kereta api yang menua. Insiden ini menyoroti masalah keselamatan yang sudah berlangsung lama di perlintasan kereta api, yang sering menjadi tempat terjadinya peristiwa malang tersebut. Akibat dari kecelakaan tersebut terjadi kekacauan dan kehancuran, dengan gerbong yang terbalik dan rusak parah berserakan di sekitar lokasi kecelakaan," menurut artikel tersebut.

Menurut artikel tersebut, insiden ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk merombak infrastruktur perkeretaapian di Indonesia.
"Jaringan kereta api di negara ini, yang sistem dan peralatannya ketinggalan jaman, khususnya di perlintasan kereta api, telah menjadi faktor penyebab seringnya terjadi kecelakaan. Ketika Indonesia terus bergulat dengan tragedi tersebut, kebutuhan akan infrastruktur perkeretaapian yang modern, aman, dan efisien menjadi prioritas utama," jelas media tersebut.

Pemberitaan media asing tentang kecelakaan kereta Turangga-Commuterline merupakan kritik keras terhadap kita. Hal ini tidak lain disebabkan begitu seringnya terjadi kecelakaan moda transportasi massal di Indonesia, baik kereta, bus, kapal, maupun pesawat.
Kecelakaan kereta api memang kerap terjadi di Indonesia. Data Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menunjukkan, selama periode 2007—2023 terdapat 103 kasus kecelakaan kereta api di Indonesia. Frekuensi kejadiannya berkisar 1—13 kecelakaan tiap tahun (Katadata, 5-1-2024).

Berulangnya tabrakan kereta api hendaknya membuat pemerintah mengevaluasi diri, mengapa kecelakaan kereta demikian sering terjadi? Apakah penyebabnya human error semata atau ada system error yang harus segera diganti ?
Hal yang dibahas media asing tersebut sangat menarik. Sistem perkeretaapian kita nyatanya sudah uzur. Banyak infrastruktur dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Artinya, infrastruktur perkeretaapian sudah sangat lawas sehingga wajar jika kerap terjadi error dan kondisi buruk ini pun tidak kunjung mendapatkan perhatian.

Data Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menunjukkan bahwa selama lima tahun terakhir belum ada proyek pengadaan kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), maupun kereta rel diesel elektrik (KRDE). Pengadaan terakhir dilakukan pada 2017 sebanyak 4 unit, sedangkan selama 2018—2022 tidak ada pengadaan sama sekali (Katadata, 1-3-2023).
Sungguh miris, ketika saat ini pemerintah jorjoran membangun proyek-proyek prestisius yang tidak terlalu urgen dengan dana puluhan triliun, namun infrastruktur kereta api kita masih saja uzur, padahal infrastruktur kereta api merupakan sektor yang butuh untuk diperhatikan demi keselamatan banyak pihak, baik penumpang, petugas, maupun masyarakat sekitar.

Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap terjadinya kecelakaan ini. Pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan mitigasi, yaitu upaya untuk mengurangi risiko kecelakaan. Hal ini penting untuk memberikan jaminan keselamatan transportasi bagi warga negara. Keamanan merupakan hak dasar rakyat dan negara wajib memenuhinya. Negara tidak boleh abai terhadap urusan ini.

Mewujudkan mitigasi bencana bukan semata soal dana sehingga ketika anggaran dinaikkan seolah masalah sudah selesai. Namun, ada hal yang mendasar, yaitu perspektif kepemimpinan pada diri penguasa. Pemerintah harus memahami dirinya adalah pemimpin yang harus bertanggung jawab terhadap rakyatnya, termasuk bertanggung jawab menjaga keselamatan rakyatnya.

Penguasa akan mempertanggungjawabkan tiap-tiap nyawa rakyat yang dipimpinnya. Oleh karenanya, sebuah kecelakaan tidak boleh hanya dilihat dari sisi angka korban meninggal dan luka-luka. Namun, tiap orang yang menjadi korban tersebut akan menuntut riayah (pengurusan) penguasa pada hari akhir kelak.
Rasulullah bersabda :
“Ingatlah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya).

Bahkan jika kita bicara pada konteks yang lebih luas, setiap orang yang jatuh karena buruknya jalan juga akan menuntut tanggung jawab pemimpin pada hari penghisaban.
Itulah sebabnya, Khalifah Umar bin Khaththab ra. khawatir dituntut di akhirat jika jalan di wilayah yang ia pimpin ada yang berlubang. Beliau berkata,

“Andaikan ada seekor binatang melata di wilayah Irak yang kakinya terperosok di jalan, aku sangat takut Allah akan meminta pertanggungjawabanku karena aku tidak memperbaiki jalan tersebut.” (‘Abdul Qadim Zallum, Afkaar Siyaasiyyah).

Sayangnya, perspektif riayah ini tidak ada di dalam sistem demokrasi kapitalisme. Penguasa membuat kebijakan bukan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi dengan perhitungan untung rugi (materi). Sementara itu, pemerintah justru all out di dalam mengurusi para pemilik modal yang telah mendanainya dalam kontestasi. Akhirnya, pendanaan negara dan pembangunan infrastruktur hanya menguntungkan segelintir pemilik modal.

Sementara itu, rakyat harus mengalami keburukan demi keburukan karena kebijakan penguasa yang abai. Infrastruktur yang sudah uzur sehingga tidak layak pakai dan rawan terjadi kecelakaan tetap digunakan namun minim perbaikan. Akibatnya, kecelakaan transportasi kerap terjadi. Rakyat menjadi korban karena error-nya sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan saat ini.

Islam begitu menghormati nyawa manusia sehingga akan optimal dalam menjamin keselamatan penumpang dalam berbagai kondisi, termasuk dalam moda transportasi. Di dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab menyediakan sistem dan sarana transportasi yang aman dan nyaman. Negara wajib mewujudkannya karena penguasa akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia (di hadapan rakyat dan pengadilan) maupun akhirat kelak.

Oleh karenanya, kita temukan bahwa sepanjang peradaban Islam mampu mewujudkan keamanan transportasi bagi rakyat. Misalnya terkait penyediaan jalan, Dr. Kasem Ajram (1992) dalam bukunya, The Miracle of Islam Science, 2nd Edition memaparkan pesatnya pembangunan infrastruktur transportasi (jalan) yang dilakukan pada masa Khilafah.
“Yang paling canggih adalah jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak. Jalannya sudah dilapisi aspal pada abad ke-8 M,” tulis Ajram.

Pembangunan jalan beraspal di Baghdad telah dimulai ketika Khalifah Al-Mansur mendirikannya pada 762 M. Sedangkan negara-negara di Eropa baru mulai membangun jalan pada abad ke-18 M dan kali pertama peradaban Barat mengenal jalan aspal adalah pada 1824 M. Demikian betapa mengagumkan perhatian Islam terhadap keamanan transportasi, keselamatan nyawa manusia menjadi prioritas yang utama.

Wallahu alam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak