Keamanan Pangan dan Kesehatan Anak, Tanggung Jawab Siapa?




Oleh: Nursaroh Hidayanti



"Di titik ini saya mau menyebut anak saya dibunuh oleh sistem", ungkap Safitri, Ibu dari Hegar bocah delapan tahun yang meninggal dunia karena menderita gagal ginjal akut progresif atipikal pada 5 Oktober 2022. Kasus gagal gijal akut pada anak mengalami lonjakan pada Agustus hingga Oktober 2022. Kasus ini diduga berkaitan dengan tingginya cemaran dari pelarut obat sirup yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal. Setidaknya per 5 Februari 2023, tercatat 326 kasus gagal ginjal anak dan satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dari kasus tersebut, 204 anak meninggal dunia. Sisanya sembuh tetapi masih terdapat sejumlah pasien yang masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta.

Nasib serupa dialami oleh Desi Permatasari, ibu dari Sheena berusia enam tahun yang menderita gangguan ginjal akut progresif atipikal yang sampai saat ini masih terus menjalani perawatan. Meski sudah setahun berlalu, kondisi Sheena tidak mengalami banyak perubahan, tubuhnya kaku, tidak bisa duduk tanpa ditopang bantal. Segala pengobatan dan perawatan ditanggung sendiri, sampai keluarga ini harus menjual rumah dan tinggal di kontrakan. Sungguh, bukan hanya Sheena dan Hergar, tapi ratusan anak diluar sana juga mengalami hal serupa setelah konsumsi obat beracun yang dibiarkan beredar tanpa pengawasan.

Sejauh ini, tersangka dalam kasus ini mencakup empat perusahaan, yakni PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Afi Farma, dan CV Samudera Chemical. Mirisnya, keempat petinggi perusahaan tersebut hanya dijatuhkan hukuman dua tahun penjara.

Disisi lain, dalam kasus ini banyak yang menyoroti pertanggungjawaban BPOM sebagai regulator sekaligus pengawas. Menurut Ahli farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Doktor Marchaban, "BPOM tidak pernah melakukan surveilans secara spesifik terhadap cemaran EG dan DEG dalam obat yang beredar sampai kasus ini terjadi. Di sisi lain, industri farmasi diduga juga tidak disiplin mengontrol cemaran dalam bahan baku, terutama ketika mengganti penyuplai bahan baku yang semestinya mereka laporkan kepada BPOM. Seandainya betul kesalahan terletak di industri farmasi. Tapi kemudian siapa sih yang mengawasinya? Pengawasnya kan Badan POM. Mengapa memberikan izin edar kalau sesuatu yang dilakukan industri farmasi belum lengkap."

Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri mengatakan tengah mendalami adanya dugaan keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penanganan kasus ini telah masuk ke tahap penyidikan yang artinya ditemukan unsur pidana yang diduga dilanggar. Namun demikian, Kasubdit I Dittipidter Bareskrim Polri, Indra Lutrianto Amstono, belum mau mengungkapkan pihak yang disebut melanggar tersebut.

Sungguh, semakin terlihat jelas betapa lalainya negara dalam menjamin kesehatan rakyatnya. Pemerintah semestinya melakukan riset keamanan obat dan makanan yang dikonsumsi rakyatnya. Bukan malah saling menyalahkan dan enggan bertanggungjawab dengan kelalaian yang telah dilakukan.

Sampai hari ini, negara masih menjadikan sektor kesehatan dan seluruh pilarnya menjadi ajang bisnis berbagai korporasi, baik dalam bidang pendidikan tenaga kesehatan, bidang pembiayaan (BPJS Kesehatan), riset dan industri kesehatan (korporasi farmasi), hingga fasilitas kesehatan (industri rumah sakit). Semua dirancang untuk pertumbuhan ekonomi. Maka tak heran jika sektor kesehatan ataupun kemajuan riset kedokteran dan kecanggihan teknologinya hanya dapat dinikmati segelintir orang karana mahalnya biaya untuk mengaksesnya.

Riset hanya dilakukan untuk pertumbuhan ekonomi sebagaimana tuntutan politik pasar bebas ekonomi kapitalis. Sehingga tak heran jika negara dalam kapasitasnya sebagai regulator tidak akan serius dalam melakukan riset ketika tidak ada dukungan dari korporasi, meskipun riset tersebut sangat dibutuhkam masyarakat.

Bukan hanya itu, potensi kelalaian dan berakibat saling menyalahkan juga tidak terlepas dari model kekuasaan demokrasi kapitalis, yakni desentralisasi kekuasaan. Pembagian wewenang dan kekuasaan bersifat sistemis dari model kekuasaan kapitalis. Maka tak heran jika berbagai pihak saling menyalahkan, mulai dari BPOM, industri farmasi, Kemenkes, dan berbagai pihak lainnya. Berbagai pihak tersebut berusaha cuci tangan dan lempar tanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan.

Berbeda dengan sistem Islam. Islam memandang kesehatan adalah kebutuhan pokok yang dapat diakses oleh semua orang. Sistem kesehatan islam yang tangguh meniscayakan terjaminnya akses mudah dan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik.

Islam memisahkan aspek kesehatan dari bisnis. Segala bentuk kesehatan dari mulai Pendidikan Tenaga Kesehatan, pelayanan kesehatan, riset dan industri kesehatan, obat-obatan, hingga fasilitas kesehatan, seluruhnya diatur dan ditanggung oleh negara. Tidak ada keterlibatan korporasi di dalamnya. Sehingga segala hal yang dilakukan benar karena kebutuhan umat semata, bukan aspek ekonomi atau keuntungan lainnya.

Karena Islam sangat menghargai setiap nyawa manusia, sehingga sangat menjaga dan tidak lalai dengannya.
Rasulullah bersabda:
"Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak"
(HR An Nasai)

Tangguhnya sistem kesehatan dalam Islam yang mampu memberikan pelayanan terbaik dengan harga terjangkau atau bahkan gratis ditopang oleh sistem ekonomi islam. Negara Islam memiliki banyak sumber pendapatan, diantaranya dari pengelolaan harta milik umum seperti tambang, hutan, laut, juga dari harta milik negara berupa kharaj, jizyah, ghanimah. Sehingga tidak heran jika negara memiliki pemasukan yang besar dan dapat membiayai pengobatan masyarakat secara gratis, termasuk seperti kasus gagal ginjal ini dan seluruh fasilitas lainnya.

Selain itu, dalam sistem Islam diimbangi dengan sistem sanksi yang tegas dan membuat jera. Tidak seperti hari ini, penjara dua tahun untuk kasus sebesar ini rasanya sangat tidak pantas dan tidak berefek jera. Berbeda dengan islam, Islam akan menerapkan sanksi uqubat. Pelaku akan mendapatkan sanksi ta’zir yang besaran sanksinya akan ditentukan oleh Qadhi sesuai pelanggaran yang dilakukannya. Sanksi ini bisa berupa teguran, nasehat, sampai dengan hukuman mati.

Dunia hanyalah tempat menanam sedangkan akhirat adalah tempat menuai. Segala sesuatu yang kita lakukan di dunia akan ada hisabnya kelak di akhirat. Maka tiada jalan lain selain mengupayakan dengan sebaik mungkin berbagai amalan agar sesuai dengan tuntunan syariat untuk mendapatkan tujuan tertinggi, yaitu meraih syurgaNya. Wallahu’alam bish-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak