Oleh : Ummu Aqeela
Cukup mengagetkan dan sangat memprihatinkan. Sulit dinalar dengan logika sehat, jika di KPK yang bertugas untuk memberantas korupsi, ternyata ditemukan tindakan penyimpangan, pungutan liar yang dilakukan oleh pegawainya.
Para pegawai Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi memanggil mereka ‘lurah’. Julukan itu disematkan pada mereka yang bertugas mengkoordinasi sekaligus mengepul hasil pungutan liar di Rutan KPK. Posisi lurah tidak lama-lama dijabat oleh satu atau dua orang, melainkan dipilih secara bergantian karena masa kerja di Rutan KPK terhitung singkat.
Selama 2018-2023, ada lebih dari 10 orang yang mendapatkan julukan tersebut. Setiap lurah memimpin satu kelompok atau regu jaga di tiga Rutan KPK Cabang Jakarta Timur, yaitu Rutan C1, Rutan Guntur, dan Rutan K4.
“Jadi kan di rutan itu dibagi sif-sif, dibagi dalam tiga regu jaga. Jadi satu kelompok ini mereka ada mengangkat satu orang yang istilah mereka itu dituakan, tapi ada juga yang mengistilahkan itu lurah,” terang anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho kepada detikX melalui sambungan telepon pada Selasa, 16 Januari 2024.
Para tahanan dan keluarga tahanan yang ingin mendapatkan fasilitas lebih dari Rutan KPK diminta mentransfer sejumlah uang ke rekening-rekening tersebut. Fasilitas yang dimaksud antara lain penggunaan ponsel di dalam rutan atau waktu kunjungan di luar jam yang sudah ditetapkan. Uang yang didapat dari keluarga tahanan itu kemudian dibagi-bagikan oleh para lurah kepada pegawai rutan. Rata-rata mendapatkan Rp 1 juta per bulan.
Secara total, uang pungli di Rutan KPK selama enam tahun itu mencapai Rp 6,15 miliar. Dari jumlah itu, pegawai Rutan KPK paling kecil menerima Rp 1 juta. Paling besar Rp 504 juta. Albertina menjelaskan, penerima uang pungli terbesar ini tidak memiliki jabatan yang cukup tinggi di Rutan KPK. Karena itu, Dewas KPK masih butuh waktu untuk mendalami peran penerima bagi hasil pungli terbesar tersebut.
Dalam sistem sekuler-kapitalis, manusia dikondisikan untuk mendapatkan pekerjaan, jabatan dan harta tanpa peduli bagaimana syari’at memandang. Jabatan atau pekerjaan apapun yang sejatinya adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah kelak malah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi ataupun golongan, mempermainkan keadilan dan hukum ataupun sekedar mengumpulkan kekayaan.
Sungguh berbanding terbalik dalam sistem Islam, dalam naungan sistem Islam Kaffah yaitu Daulah Islamiyah, korupsi maupun suap menyuap akan diminimalisir bahkan dihilangkan, dengan pencegahan berupa merekrut pegawai negara atau mengangkat seorang pejabat berdasarkan profesionalitas dan integritas, yaitu berupa kapabilitas dan kepribadian islam bukan berdasarkan koneksi, nepotisme atau yang sejenisnya.
Sesorang yang berkepribadian islam akan takut menyalahgunakan jabatannya, karena sadar bahwa kehidupan akan ditutup oleh kematian dan segala sesuatu termasuk jabatan beserta amalan didalamnya akan ada hisab dan pertanggung jawabannya. Selanjutnya negara akan melakukan pembinaan kepada seluruh aparat yang mengabdi, agar rasa takut kepada Allah tetap terjaga.
Tentu ini bukan hanya kesalahan individu semata, namun kesalahan sebuah sistem yang menaunginya.
Sistem sekuler-kapitalis yang diterapkan sekarang membuka banyak pintu terjadinya suap. Pintu tersebut ditutup rapat dalam sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyah melalui enam langkah, yakni:
(1) menguatkan iman para pejabat dan penegak hukum serta manyarakat akan balasan Allah di akhirat,
(2) menguatkan ranah muraqabah,
(3) memberi gaji/fasilitas yang tinggi,
(4) membuka selebar-lebarnya ranah muhasabah,
(5) penghitungan kekayaan para pejabat, baik sebelum maupun diangkat,
(6) pemberian hukuman yang setimpal kepada para pelaku yang terbukti melakukan atau menerima suap.
Itulah solusi penindakan dan pencegahan yang ditawarkan dalam Islam, tidak hanya tentang moral dan kebaikan secara sosial, tetapi juga lebih kokoh terkait secara akidah dan keimanan untuk menjadikan aturan Islam menjadi standart dalam segala aspek kehidupan termasuk dalam konsekuensi pekerjaan dan bernegara. Aturan Islam akan membawa berkah bagi kehidupan manusia, dan dapat menjaga para pejabat dan aparat negara dari perbuatan suap meyuap, korupsi, dan perbuatan dosa lainnya.
Ini menjadi catatan kelam sistem demokrasi yang diterapkan di negeri yang mayoritas muslim ini. Karena itu, perubahan menuju ke arah dan solusi Islam dalam memberantas korupsi, harus segera dilaksanakan. Upaya ini membutuhkan kesungguhan dan komitmen untuk mewujudkan sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah.
Wallahu’alam bishowab.