Oleh : Suaibah, S.Pd.I.
(Pemerhati Masalah Umat)
Memasuki tahun baru 2024, rakyat Indonesia memperoleh kado pahit dari pemerintah berupa utang negara yang makin membengkak. Hingga 30 November 2023, utang tersebut mencapai Rp. 8.041,01 triliun. Sejumlah ekonom mencatat posisi utang sektor publik, termasuk didalamnya utang pemerintah, diperkirakan bisa tembus Rp. 18 ribu triliun hingga 20 triliun.
Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari menyatakan, pinjaman pemerintah, baik dari dalam maupun luar negeri, masih terkendali.
Ia menjelaskan, posisi utang pemerintah secara keseluruhan per 30-11-2023 adalah Rp8.041,01 triliun. Jumlah tersebut didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang) dan pinjaman sebesar Rp 916,03 triliun (11,39% dari total utang).
Khusus utang melalui pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp886,07 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp29,97 triliun. Pinjaman luar negeri paling banyak berasal dari pinjaman multilateral (Rp540,02 triliun), juga pinjaman bilateral (Rp268,57 triliun). (Gatra[dot]com, 31-12-2023).
Untuk Pembiayaan
Telah diketahui, dana utang tersebut digunakan pemerintah untuk biaya _defisit_ APBN. Selain itu juga untuk pembangunan proyek-proyek _prioritas_ nasional seperti infrastruktur jalan tol, pelabuhan, MRT, institusi pendidikan tinggi, rumah sakit, pengembangan fasilitas kelistrikan, pertanian dan perdesaan, serta fasilitas air bersih.
Pemerintah berdalih bahwa proyek-proyek pembangunan yang dibiayai melalui utang itu telah memberikan sumbangsih _positif_ pada masyarakat, terutama dalam menggerakkan ekonomi di daerah.
Dalih lainnya, pemanfaatan utang untuk membiayai proyek/kegiatan adalah karena cenderung memiliki _output_ yang lebih baik melalui teknologi terkini dan _sharing_ _experience_ (berbagi pengalaman) yang dimiliki oleh lender (pemberi utang) khususnya dalam hal _transfer_ teknologi bagi industri dalam negeri.
Mencekik dan Memiskinkan
Utang menjadikan kedaulatan negara bisa tergadai bahkan terjual. Dampak nyata dari utang adalah tertumbalkannya aset berharga negara. Utang _ribawi_ menjadikan beban berat bagi negeri ini, dan Rakyat harus menyadari akan hal itu. Bunga alias _riba_ yang harus dibayar oleh pemerintah juga mencekik. Bunga utang yang harus dibayar negeri ini berjumlah Rp 437,4 triliun pada tahun 2023 dan Rp 497,32 triliun pada tahun 2024. Untuk bayar bunganya saja sudah menghabiskan 14,4% APBN.
Subsidi untuk rakyat jumlahnya sangat kecil jika dibandingkan besaran utang dan bunga yang harus dibayar oleh negara. Subsidi LPG, BBM, BLT, dsb, misalnya, hanya berjumlah Rp 146,9 triliun. Bunga utang itu juga lebih besar dibandingkan dengan anggaran kesehatan untuk rakyat yang hanya berjumlah Rp 187,5 triliun. Selama ini subsidi rakyat yang selalu jadi sorotan pemerintah yang mengklaim sebagai beban APBN. Padahal utang dan bunganyalah yang menjadi beban utama APBN.
Dilain sisi, pembiayaan pembangunan oleh utang _ribawi_ atau pun investasi asing tidak berkontribusi langsung pada ekonomi rakyat. Contohnya pembangunan IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung, sejumlah bandara dan ruas tol. Malah menurut Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ada 58 proyek Pemerintah Jokowi yang terancam mangkrak. Nilainya mencapai Rp 420 triliun!
Utang luar negeri menjadikan kedaulatan negara tergadai. Negara-negara seperti Zimbabwe, Sri Lanka, Maladewa, Uganda, Kenya dan Pakistani adalah sejumlah negara yang kolaps akibat debt trap (perangkap utang) luar negeri. Sejumlah negara tersebut harus melepaskan pelabuhan dan bandara strategis mereka pada negara pemberi utang, yakni Tiongkok, yang juga menjadi salah satu pemberi utang pada Indonesia.
*Membebaskan Umat dari Jebakan Utang _Ribawi_*
Utang _ribawi_ dalam Islam hukumnya haram meski dengan dalih apapun. Siapapun yang terjerat didalamnya jelas telah nyata melakukan dosa besar termasuk para pemimpin negeri Muslim. Apatah lagi utang ribawi tersebut membawa bahaya ( _dharar_ ) terhadap kaum Muslim. Misalnya saja berimbas pada penguasaan wilayah dan kekayaan alam oleh pihak asing pemberi pinjaman. Utang _ribawi_ juga mengakibatkan kaum Muslim berada dalam kendali negara pemberi utang. Padahal Allah SWT telah berfirman:
وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا ࣖ
_Allah tidak akan pernah memberikan jalan kepada kaum kafir untuk menguasai kaum Mukmin_ ( *TQS an-Nisa’ [4]: 141* ).
Walhasil, utang negara yang menyisihkan _riba_ hari ini jelas merupakan perkara batil sekaligus menggadaikan kedaulatan negeri di bawah bayang-bayang negara pemberi utang. Sudah saatnya umat melepaskan negeri ini dari jerat utang _ribawi_ yang sekaligus menjadi alat penjajahan oleh pihak asing.
Hal tersebut tidak akan bisa tercapai selama Indonesia masih menggunakan sistem ekonomi _Kapitalisme_ yang menghalalkan _riba_ serta memberi peluang masuknya swasta lokal dan asing aseng mengeruk sumber daya alam (SDA) milik rakyat. Hari ini kekayaan SDA justru dinikmati oleh swasta dan asing, bukan rakyat. Sekitar 90 persen pertambangan dan pengolahan nikel dikuasai asing. Sektor batubara hanya 12 persen dikelola oleh BUMN. Di sektor migas, Pertamina hanya mengelola 30% blok migas. Sisanya dikuasai oleh asing.
_Riba_ adalah ciri khas dari penerapan sistem ekonomi _Kapitalis_ , yang menyebabkan penderitaan merata di seluruh negeri muslim. Bahkan orang yang tidak bermuamalah _ribawi_ pun terkena debunya sebagaimana peringatan Nabi saw.:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ
" _Akan datang suatu zaman kepada manusia. Saat itu mereka memakan riba. Kalaupun ada orang tidak memakan riba secara langsung, dia akan terkena debunya"_ *(HR an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan al-Hakim).*
Pergantian pemimpin tidak akan mampu menyelesaikan rusaknya ekonomi akibat jeratan utang ribawi yang mencekik. Diperlukan adanya perubahan mendasar ke arah penerapan Islam kaffah dalam semua aspek kehidupan oleh negara yakni khilafah. Siapapun pemimpinnya, jika tidak menerapkan syariah Islam secara kaffah, maka mustahil untuk bisa keluar dari jerat utang ribawi yang jelas haram dan telah terbukti menyengsarakan.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.