Oleh : Eti Fairuzita
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras.
"Yang kita harapkan adalah kita ini ingin tidak impor beras lagi, tapi itu dalam prakteknya sangat sulit karena produksinya gak mencapai karena setiap tahun. Kita bertambah yang harus diberikan makan," kata Jokowi di acara Pembinaan Petani Jawa Tengah, Di Banyumas, Selasa (2/1/2024).
Menurut Jokowi setidaknya ada 4 juta - 4,5 juta bayi yang baru lahir setiap tahun. Sehingga kebutuhan akan pangan seperti beras akan bertambah setiap tahunnya.
"Semua butuh makan, penduduk kita sudah hampir 280 juta jiwa butuh makan, semua butuh beras, butuh beras semua," tegas Jokowi.
Sejatinya keputusan impor beras bertentangan dengan pernyataan presiden. Bukankah beberapa tahun lalu, Jokowi pernah melontarkan bahwa Indonesia bisa melakukan swasembada pangan, khususnya beras ? Namun, mengapa impor selalu kembali dilakukan?
Sungguh ironis. Hal ini menunjukan bahwa swasembada hanyalah wacana semata. Target bombastis yang dicanangkan oleh pemerintah terkait Indonesia bisa terbebas dari impor pangan pada 2015, kian padam dan tanpa harapan. Indonesia justru masih dibanjiri impor pangan. Petani harus mati-matian berjuang ditengah naiknya biaya produksi. Nasib suram masih terus membayangi kehidupan mereka. Tentu saja efek jangka panjang yang akan terjadi jika impor pangan terus dilakukan adalah hilangnya pencaharian para petani.
Menyoroti hal ini, peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Putut Indriyono dalam siaran pers pada Maret lalu pernah mengkritik kebijakan membuka impor pangan tersebut. Pemerintah terkesan belum memiliki desain pengembangan industri pertanian nasional yang di dalamnya seharusnya berisi strategi komprehensif.
Menurutnya, pemerintah saat ini cenderung mengambil kebijakan impor dengan hanya merespons kecenderungan permintaan pasar. Sebaliknya, pemerintah dianggap tidak melihat dari sisi strategi pengembangan industri pertanian (pangan) nasional jangka menengah dan panjang.
Pemerintah seharusnya memiliki data yang valid soal kebutuhan pangan dan memperhatikan kesejahteraan petani lokal. Angka kebutuhan pangan, termasuk beras setiap tahun seharusnya sudah diprediksi tonasenya sehingga ada target pengurangan impor dari tahun ke tahun yang diikuti dengan target kebijakan produksi dari dalam negeri. Hingga saat ini pemerintah belum memiliki desain kebijakan pengembangan pangan nasional yang jelas, maka persoalan kebijakan impor akan terus berulang (Republika.co.id, 16/03/2021).
Berbagai macam alasan klasik yang sering dilontarkan pemerintah terkait impor pangan, sebenarnya bisa diantisipasi dengan melakukan berbagai macam riset dan tindakan preventif. Permasalahannya, adakah kemauan politik (political will) dari negara? Jika negara mau serius peningkatan kualitas pertanian (pangan) dalam negeri bisa dilakukan. Misalnya saja, negara melakukan pemetaan potensi serta peluang produksi pangan beserta riset terhadap lahan-lahan yang ada. Dipetakan wilayah yang strategis dan subur untuk pertanian.
Fasilitas dan teknologi mutakhir mesti diberikan kepada para petani, disertai dengan pembekalan karena masih banyak petani menggunakan teknologi tradisional dan bergantung pada cuaca serta curah hujan yang saat ini justru tidak menentu.
Selain itu, harus hentikan privatisasi sumber daya alam. Sebagaimana hari ini kita lihat, negara belum berperan penuh untuk meningkatkan kualitas dan produksi pangan dalam negeri. Akhirnya, potensi-potensi yang ada tidak terkelola.
Terlepas dari permasalahan teknis distribusi dan produksi, logika neoliberalisme pun menjadi dalang di balik kezaliman pemerintah ini. Pemerintah menganut sistem mekanisme pasar bebas. Hal itu ditandai dengan banyaknya sektor ekonomi (yang menguasai hajat hidup orang banyak) dikuasai oleh swasta. Pemerintah melepaskan perannya dalam berbagai pengelolaan ekonomi, termasuk urusan pangan. Pengaturan terkait bahan pangan pun dikendalikan oleh korporasi (produsen, investor besar, importir dan distributor).
Peran negara amat penting untuk membangun kemandirian dan membentuk kedaulatan akan kebutuhan pangan seperti beras. Jika solusi pengelolaan didasarkan pada logika neoliberalisme dan sistem kapitalisme, tentu tidak akan menyelesaikan masalah, yang ada hanyalah menguntungkan pihak-pihak korporasi saja. Maka dari itu, jika ingin bebas dari impor dan bisa mandiri, maka harus beralih pada tata kelola pangan yang berbasis syariat.
Dalam politik ekonomi Islam, negara bertugas dan bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan dalam ekonomi, mencegah terjadinya setiap kezaliman serta menindak para pelanggar hukum di bidang ekonomi. Negara hadir sebagai pelayan dan perisai umat.
Dengan prinsip-prinsip shahih ekonomi Islam, negara Islam memerinci perencanaan yang matang, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi. Penyediaan sarana-prasarana penunjang wajib ada disertai pembekalan edukasi. Negara akan benar-benar memastikan pemenuhan kebutuhan rakyat bisa terealisasi.
Islam tidak mengharamkan impor secara mutlak. Aktivitas impor tetap bisa dilakukan. Hanya saja, impor dipahami sebagai bagian dari aktivitas perdagangan luar negeri yang harus mengikuti syariat Islam dan mengedepankan kemaslahatan umat. Ketika kebijakan impor diambil, maka harus memperhatikan status negara pengimpor dan status hukum barang serta tentunya keputusan diambil berdasarkan pandangan khalifah sebagai pemimpin negara bukan karena adanya intervensi dari pihak mana pun.
Islam merupakan jawaban terhadap permasalahan impor pangan yang terus terulang. Potensi ekonomi Islam sebagai alternatif sistem ekonomi di tengah kegagalan rezim merupakan suatu keharusan. Sebagaimana firman Allah SWT,
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS Al Anfaal: 24)
Oleh karenanya menegakkan khilafah, menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan merupakan sebuah keharusan yang tak dapat ditunda lagi demi terciptanya kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Tags
Opini