Berdaya atau Teperdaya?




Oleh : Sarah (Aktivis Muslimah)



Awal tahun 2024 menjadi lembaran baru dalam memulai resolusi dari tahun sebelumnya. Banyak impian baru yang ingin dicapai pada tahun ini. Tempat tinggal baru walau hanya pindah kontrakan. Kendaraan baru meskipun hanya beralih ke transportasi umum. Bahkan gawai baru, tak apa bekas yang penting masa kadaluarsa masih lama. Adapun yang masih berjuang melanjutkan mimpi-mimpi sebelumnya. Apapun bentuknya, siapapun berhak untuk mewujudkan impiannya. Sekalipun memutar otak dan memeras keringat sendiri atau orang lain. 

Hutan Belantara

Harga kebutuhan pokok meroket naik, diikuti bahan bakar yang perlahan tapi pasti terus menanjak. Hal ini, berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat. Baik laki-laki apalagi perempuan merasakan kehidupan yang cukup pelik saat ini. Semua dituntut untuk tetap produktif selama jiwa dan raga cukup sehat menjalani keseharian. Dibalik itu, fisik ataupun mental bangsa saat ini sudah dinilai rapuh. Namun, penguasa nampak acuh tak acuh terhadap hal ini. 

Rapuhnya fisik dan mental warga negara, menimbulkan banyak permasalahan. Pihak yang sering menjadi korban adalah perempuan. KDRT, perselingkuhan, perceraian, hingga kekerasan seksual menjadi masalah yang sering menimpa perempuan. Perlindungan dari negara masih belum cukup. Pasalnya, hingga akhir tahun 2023, terjadi peningkatan kasus tersebut sebanyak 30%. Para perempuan merasa seperti hidup di hutan belantara. Siapa yang kuat, maka dia yang menang menjadi slogan yang terus menghantui para perempuan. Mampukah penguasa melindungi kaum perempuan? 

Karena Kemanfaatan

Peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG) menjadi indikator keberhasilan. Sumbangan finansial, memiliki jabatan dalam pekerjaan dan mewakili kaum perempuan di kursi legislatif menunjukkan keberdayaan perempuan saat ini. Hal ini, diklaim sebagai kesuksesan negara dalam pemberdayaan perempuan. Sekilas terlihat meyakinkan di mata dunia, namun suram pada kenyataan yang dialami kaum perempuan. 

Ketika mengarahkan pandangan pada sisi individu perempuan, maka akan terlihat bentuk eksploitasi pada perempuan. Sebab, Indeks Pembangunan Gender (IPG) hanya menilai kaum perempuan dari segi ekonomi. Terutama pada ranah pemasukan dan kebermanfaatan untuk negara. Jika perempuan hanya menjadi pelajar atau ibu rumah tangga, maka akan membawa kerugian bagi bangsa dan negara. Begitulah pendapat yang tersirat dari para penguasa dan aktivis perempuan. Lantas, perempuan menjadi berdaya atau teperdaya oleh keadaan?

Pelajaran Berharga

Dalam sejarah manusia, baik masa primitif, kekaisaran hingga kolonial, perempuan hanya dijadikan sebagai objek. Kehidupan perempuan tergantung nilai yang dianut masyarakat. Meskipun nilai yang dianut masyarakat saat itu brutal, tetapi kaum perempuan diharuskan menerima dengan lapang dada. Sayangnya, masih ada nilai-nilai tersebut yang dianut hingga saat ini. Di antaranya, perempuan dianggap rendah karena emosinya lebih besar dari logika. Dikatakan hina karena kelemahan fisiknya, hingga disebut biadab karena mampu merangsang ketertarikan laki-laki. Hal ini terjadi karena aturan hanya disandarkan pada pemikiran manusia. 

Berbeda pada masa kepemimpinan Umar bin Khattab, dimana Umar sedang memantau rakyatnya di malam hari. Saat Umar bin Khattab melewati sebuah rumah seorang janda, terdengar suara tangisan anak-anak. Ternyata, janda dan anaknya sedang kelaparan. Maka, Umar bin Khattab bergegas mengambil bahan makanan dari Baitul mal dan memasakkan makanan untuk keluarga tersebut. Tentu saja, hal ini menjadi peristiwa bersejarah yang patut ditiru oleh semua penguasa di dunia. Maukah para penguasa saat ini mencontoh tindakan Umar bin Khattab?

Mahkota Kemuliaan

Jangan melupakan sejarah karena sejarah dapat terulang. Kata-kata yang sering dilontarkan oleh para ahli sejarah. Peristiwa seperti apa yang ingin diulang, tergantung pada masyarakat yang memilih untuk menempuh jalan hidupnya. Bagi kaum perempuan, jaminan keamanan dan kenyamanan hidup menjadi prioritas. Sehingga, Islam mengutamakan kaum perempuan sesuai fitrahnya. Fitrah fisik dan mental yang dimiliki perempuan, menempatkannya pada ujung tombak dalam mencetak generasi mendatang. Inilah mahkota kemuliaan bagi semua perempuan.

Mencontoh sikap Umar bin Khattab, menyadarkan bahwa perempuan tidak berkewajiban dalam bekerja apalagi mencari nafkah. Ketika perempuan tidak memiliki wali yang bertanggung jawab atas nafkahnya, maka negara wajib memberikan nafkah. Hal ini, tergambar pada saat Umar membawa sendiri bahan serta memasakkan makanan untuk keluarga janda tersebut. Berarti, seorang perempuan terutama ibu diberikan ruang untuk fokus dalam mengurus dan mendidik anak-anaknya. 

Jika perempuan ingin bekerja, maka akan diberikan akses yang nyaman. Jam kerja yang disesuaikan dengan waktu luangnya serta upah yang melebihi standar saat ini. Semua itu hanya terjadi jika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh (kaffah). Baik di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin ataupun kekhilafan selanjutnya. Banyak penawaran yang datang dari berbagai lini dan arah untuk menyelesaikan masalah perempuan. Namun, hanya Islam yang dapat menjamin kesejahteraan bagi perempuan. Sehingga, mahkota kemuliaan seorang perempuan akan selalu bersinar di sepanjang masa.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak