Oleh : Hasna Hanan
Direktur Pinjaman dan Hibah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Dian Lestari menyatakan, pinjaman pemerintah, baik dari dalam maupun luar negeri, masih terkendali.
Ia menjelaskan, posisi utang pemerintah secara keseluruhan per 30-11-2023 adalah Rp8.041,01 triliun. Jumlah tersebut didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp7.048,9 triliun (88,61% dari total utang) dan pinjaman sebesar Rp 916,03 triliun (11,39% dari total utang).
Khusus utang melalui pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar Rp886,07 triliun dan pinjaman dalam negeri sebesar Rp29,97 triliun. Pinjaman luar negeri paling banyak berasal dari pinjaman multilateral (Rp540,02 triliun), juga pinjaman bilateral (Rp268,57 triliun). (Gatra[dot]com, 31-12-2023).
Luar biasa utang negara yang menjadikan utang sebagai sumber dana terpenting pemasukan negara yang setiap tahun meningkat secara signifikan, sejak tahun 2000 utang Indonesia sudah menyentuh angka 1000 triliun sehingga terakhir pada 2022 secara keseluruhan utang Indonesia mencapai 8.251 triliun
Bahaya Utang Dalam Sistem kapitalisme
Pilihan sumber dana APBN Indonesia dipengaruhi oleh paradigma tata kelola ekonomi yang digunakan yaitu kapitalisme. Paradigma ini menjadikan utang seolah-olah penting sebagai sumber dana bahkan menjadi keniscayaan alias wajib.
Instrumen utang memang tampak hanya sebatas logika investasi dan bisnis secara tehnis, padahal peminjaman dana kepada kreditur atau terbitkan surat hutang, kemudian membayar kembali uang pokok beserta bunganya suatu hal yang biasa terjadi, sehingga terlihat tersamarkan akan bahaya utang tersebut.
Lantas dimana bahaya besarnya hutang bagi negara, ada beberapa alasan yang dipakai untuk membenarkan utang sebagai sumber dana terpenting tersebut diantaranya:
1. Utang produktif untuk pembangunan infrastruktur yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga penerimaan pajak juga akan meningkat, namun pada faktanya tidak selalu signifikan, pembangunan infrastruktur yang sudah dijalankan tidak langsung menghasilkan profit kecuali setiap penggunaan infrastruktur yang dibangun dikenakan biaya, tetapi orientasi negara adalah untuk melayani dan melindungi rakyat dan itu adalah kewajiban pemerintah, namun ditemukan fasilitas publik yang disediakan pemerintah sekarang berbayar dan juga mahal. Dimana komitmen raa'in dalam pemerintahan kapitalisme sudah terbantahkan.
Sulit dalam 11 tahun terakhir sejak 2011-2021 surat utang dari total utang yang belum dibayar masih lebih tinggi dari penerimaan pajak, sementara SDA terus dikuras atas nama investasi, padahal pajak yang diharapkan dari terkurasnya SDA tidak sebanding nilainya untuk pembayaran bunga utang yang semakin tinggi.
2. Utang memperluas penjajahan valuta asing
Permainan valuta asing (valas) dinilai produktif untuk mengguncang perekonomian suatu negara, kapitalisme menjadikan segala cara untuk menjerat negara terikat dengan utang, termasuk dalam valas. Mereka menjadikan mencetak uang yang dipinjamkan dalam bursa valas adalah kemudahan untuk mengeruk keuntungan, sekaligus juga mendapatkan pembayaran bunga. Dengan demikian pihak asing akan dapat memaksa Indonesia mengikuti arah gerak ekonomi yang mereka rencanakan, akhirnya kebijakan moneter mau tidak mau harus menaikkan suku bunga seiring kenaikan tingkat bunga the Fed.
3. Utang mendorong gelembung sektor keuangan
Secara logika ilmu keuangan ini disebut istilah _currency mismatch_(ketidak cocokan jenis mata uang yang dihasilkan dari penggunaan utang dengan jenis mata uang yang harus dibayar kembali), dalam arti penerima utang memakai Rp, sementara pembayaran menggunakan valas($).
Ini terjadi pada transaksi valas di pasar forex yang bahayanya bisa di rasakan karena bersifat sangat gambling atau spekulatif dan ujungnya akan mengakibatkan fluktuasi nilai tukar yang semakin dalam dan terdepresiasinya nilai tukar rupiah.
Cara pandang terhadap utang bagi sebuah negara tidak bisa sebatas tehnis keuangan ekonomi, tetapi juga dipandang dengan paradigma ideologis, apalagi secara keuangan ekonomi, utang jelas-jelas berbahaya dan merugikan negara sebagai pelayan dan pelindung rakyat.
Islam Dalam Memandang Hutang
Menyadari dalam paradigma ideologis bahwa utang luar negeri adalah cara kapitalisasi yang berbahaya bagi negeri-negeri muslim. Dengan utang itu, negara-negara kapitalis menekan dan melakukan intervensi, bahkan menduduki wilayah negeri-negeri muslim tersebut.
Islam sejatinya memiliki aturan perihal utang negara.
1. Berutangnya negara sejatinya tidak perlu dilakukan, kecuali untuk perkara-perkara urgen dan jika ditangguhkan akan dikhawatirkan terjadi kerusakan dan kebinasaan. Untuk hal-hal yang bisa ditangguhkan, maka semua itu menunggu hingga negara memiliki harta. Upaya lain untuk mengatasi krisis ekonomi, semisal penarikan pajak, akan dibebankan hanya pada orang-orang kaya.
2. Pendistribusian harta yang merata, dalam sistem Islam juga akan fokus untuk menyejahterakan rakyatnya, baik yang kaya, apalagi yang miskin. Ada satu orang yang tidak bisa makan dalam sehari saja sudah menjadi alarm keras akan buruknya distribusi harta. Kondisi ini harus segera menjadi perhatian oleh penguasa dalam sistem Islam. Oleh karenanya, tidak heran, indikator kesejahteraan ekonomi rakyat di negara Islam adalah terpenuhinya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan) setiap individu dalam jumlah cukup.
3. Islam juga memiliki sejumlah sumber APBN yang masing-masing sumber tersebut memiliki nominal yang banyak sehingga APBN aman dan bisa meminimalkan terjadinya utang luar negeri. APBN tersebut justru sangat memungkinkan kebutuhan-kebutuhan publik, seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, dan transportasi, bisa gratis karena itu wujud pelayanan negara kepada rakyatnya. Demikianlah format negara mandiri, yakni secara politik dan ekonomi tidak bergantung pada negara lain.
Allah Taala berfirman, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisa’ [4]: 141).
Umat Islam adalah Khoiru Ummah yang dalam kancah dunia internasional harusnya diperhitungkan potensinya namun hal tersebut tidak disadari dan menjadi santapan negara-negara penjajah dalam jebakan utang. Oleh karenanya umat Islam yang memiliki potensi luar biasa ini harus kembali menjadi umat yang terbaik dalam naungan Khilafah. Seperti yang dinyatakan oleh Abu Abdullah dalam bukunya, Emerging World Order The Islamic Khilafah State, bahwa kekuatan ekonomi, industri, serta cadangan dan sumber energi terbesar dunia dimiliki oleh Dunia Islam.
Wallahu'alam bisshawab