Refleksi Hari Kesehatan Nasional, Jaminan Kesehatan Masih Jauh dari Harapan

 

Oleh. Hamsina Ummu Ghaziyah 

(Pegiat Literasi)


Hari Kesehatan Nasional yang diperingati setiap tanggal 12 November kali ini mengusung tema "Transformasi untuk Indonesia Maju", dimana tantangan pandemi global yang dirasa belum sepenuhnya berakhir diharapkan mampu menciptakan masyarakat yang lebih sehat baik fisik maupun mental.


Saat peringatan Hari Kesehatan Nasional, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengingatkan, pandemi Covid-19 memberikan banyak hikmah bagi banyak negara, di antaranya, memiilki arsitektur kesehatan yang kuat.


Melalui akun instagram resmi @smindrawati, Minggu (12/11/2023), Sri Mulyani menulis, memerangi kemiskinan dan kebodohan adalah upaya yang terus dilakukan untuk mencapai cita-cita Indonesia. Ia menyebut, tak hanya pendidikan, kesehatan juga tak kalah penting terutama untuk mengurangi gizi buruk pada anak. Anak-anak yang sehat adalah cikal bakal SDM yang produktif dan berdaya saing. (Liputan6)


Di saat yang bersamaan, PT Pertamina Bina Medika Indonesia Healthcare Corporation (IHC), holding rumah sakit (RS) BUMN menyiapkan langkah transformasi melalui pemanfaatan ekosistem digital untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia.


Direktur IHC dr. Lia Gardenia Partakusuma mengatakan,  pemanfaatan ekosistem digital dapat meningkatkan inovasi bisnis dan daya saing di bidang kesehatan (Jpnn,12/11/2023).


Untuk mewujudkan tema peringatan Hari Kesehatan Nasional 2023 ini, tentu membutuhkan SDM yang berkualitas. Namun, saat ini masih banyak persoalan kesehatan yang menghambat terwujudnya SDM yang berkualitas. Seperti, tingginya angka stunting, kemiskinan, mahalnya biaya kesehatan, serta pelayanan kesehatan yang masuh sangat jauh dari harapan.


Padahal, sejatinya, transformasi kesehatan seharusnya mengarah pada permasalahan kesehatan yang belum terselesaikan. Bukan mengedepankan transformasi ekosistem digital yang sama sekali belum dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. 


Negara seharusnya menjadi regulator dan penyedia layanan kesehatan, mengingat layanan kesehatan yang diberikan saat ini belum optimal. Adapun solusi yang ditawarkan pemerintah terhadap permasalahan kesehatan masyarakat, justru berdampak pada permasalahan baru dan makin menambah beban bagi masyarakat seperti halnya layanan BPJS. 


Layanan kesehatan 'gratis' lewat BPJS ataupun JKN ternyata di luar ekspektasi masyarakat. Pasalnya, untuk mendapatkan layanan kesehatan melalui BPJS, masyarakat diwajibkan untuk mendaftarkan diri sebagai anggota BPJS dan bersedia membayar iuran setiap bulannya. Kendati demikian, layanan kesehatan melalui BPJS ternyata dibedakan dengan pelayanan secara umum alias berbayar. Sebab, pelayanan kesehatan gratis melalui BPJS lebih lambat ditangani dibandingkan dengan layanan umum berbayar.


Terlepas dari hal tersebut, masyarkat saat ini masih dihadapkan dengan mahalnya biaya kesehatan meskipun layanan kesehatan gratis lewat BPJS masih menjadi alternatif utama. Namun sayangnya, tidak semua masyarakat mendapatkan layanan kesehatan gratis tersebut. Mengapa demikian? Karena negara saat ini hanya bertindak sebagai regulator bukan sebagai pelayan kesehatan bagi rakyatnya. Padahal, sudah seharusnya negara memberikan jaminan kesehatan sepenuhnya kepada setiap rakyatnya tanpa memandang kasta antara si kaya dan si miskin. 


Belum lagi, dalam sistem demokrasi kapitalisme, kesehatan dikomersilkan seolah si miskin tidsk boleh sakit. Sementara, bagi orang berduit akan sangat mudah untuk mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas. Lantas, bagaimana negara mampu mencetak SDM yang sehat dan cerdas jika saja layanan kesehatan dikomersilkan dan negara berlepas tangan untuk urusan pelayanan kesehatan?


Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa kesehatan merupakan kebutuhan rakyat yang harus dijamin oleh negara. Namun, pada faktanya, negara sama sekali tidak serius menangani hal tersebut. Padahal, layanan dan jaminan kesehatan merupakan hak bagi setiap masyarakat.


Beda halnya layanan kesehatan dalam sistem Islam yang menetapkan paradigma pemenuhan kesehatan sebagai sebuah jaminan yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam sistem Islam, negara  akan menyediakan seluruh fasilitas kesehatan baik dalam bentuk sarana dan prasarana yang baik dan berkualitas guna untuk memenuhi kebutuhan rakyat secara menyeluruh tanpa diskriminasi.


Seluruh rakyat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama, sementara negara hadir sebagai pelayan masyarakat dan negara tidak berhak mengkomersilkan fasilitas dan layanan kesehatan tersebut. 

Dengan begitu, negara akan mampu mencetak SDM yang sehat dan berkualitas. Sebab, Islam memandang kesehatan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi tanggung jawab negara. Sehingga, umat akan mudah mendapatkan layanan kesehatan yang terjangkau, murah dan berkualitas. 


Untuk itu, dalam pemenuhan layanan kesehatan terhadap umat, Islam memiliki sejumlah pos-pos pemasukan yang bisa dimanfaatkan oleh negara dalam menyediakan berbagai fasilitas kesehatan yang dibutuhkan oleh rakyat secara gratis. Terkait pos pemasukan negara secara lengkap dan sistematis, Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al Amwal fi Daulah Al Khilafah menjelaskan, setidaknya terdapat 12 pos penerimaan baitul maal. Di antaranya, anfal, ghanimah, fa'i dan khumus, kharaj, jizyah, dan harta kepemilikan umum yang meliputi  sarana-sarana umum yang diperlukan umat dalam kehidupan sehari-hari,  harta-harta yang keadaan asalnya tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk seluruh sumber daya alam. 


Terdapat pula harta milik negara, berupa tanah, bangunan, sarana umum, dan pendapatannya, harta 'usyur yang merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta serta perdagangan ahlu dzimah dan penduduk darul harbi yang melewati perbatasan negara Islam, harta haram para penguasa dan pegawai negara, harta hasil kerja yang tidak diizinkan oleh syara, serta harta yang diperoleh dari hasil tindakan curang. Seperti, hasil suap, hadiah, denda dan korupsi.


Selai itu, ada khusus (seperlima) dari barang temuan (rikaz) dan barang tambang, harta yang tidak ada ahli warisnya dan harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris, harta orang-orang murtad, oajak (dharibah), harta zakat yang meliputi, ternak (unta, sapi dan kambing), tanaman hasil pertanian dan buah-buahan,  nuqud (mata uang), dan perdagangan (tijarah).


Demikianlah pos-pos pemasukan baitul maal dalam pemerintahan Islam yang dapat dimanfaatkan oleh negara untuk memenuhi hajat rakyat termasuk  pelayanan kesehatan rakyat. Dengan adanya pos-pos pemasukan/penerimaan baitul mal tersebut,  sekiranya mampu mengatasi permasalahan tingginya angka stunting, kemiskinan, mahalnya biaya kesehatan, serta buruknya pelayanan kesehatan. Alhasil, akan tercipta SDM yang sehat serta terwujud pelayanan dan jaminan kesehatan sesuai dengan harapan umat.


Sejarah telah mencatat, pelayanan kesehatan dalam pemerintahan Islam jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan pelayanan kesehatan dalam sistem kapitalisme saat ini. Dan tentunya akan bisa kita rasakan ketika diterapkannya syariat Islam secara kafah.


Wallahu a'lam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak