Sistem Demokrasi Berpeluang Penyalahgunaan Kekuasaan?




Oleh: Hanifah Afriani



Dua menteri kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpartisipasi dalam Pilpres 2024.
Keduanya adalah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Kemudian Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang jadi capres berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka.

Menyoal hal tersebut, Pakar Komunikasi Politik Ari Junaedi berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024, termasuk mereka yang menjadi bacapres dan bacawapres, untuk segera mundur dari jabatannya.
Selain untuk hindari konflik kepentingan. Tujuan lainnya adalah mencegah berdirinya posko pemenangan di kantor-kantor kementerian tempat mereka menjabat. (tribunnews.com, 25/10/2023)

Namun, Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik mengatakan bakal calon presiden maupun calon wakil presiden yang masih berstatus sebagai menteri tidak perlu mundur dari jabatannya selama mendapat izin dari presiden untuk cuti. (antaranews.com, 18/10/2023)

Aturan KPU memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi/golongan, bahkan juga fasilitas negara dan anggaran. Selain itu, ada potensi pengabaian tanggung jawab tugas, dan abai terhadap hak rakyat. Hal ini bisa menjadi salah satu bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara, apalagi didukung regulasi yang ada. Inilah salah satu dampak dari aturan yang dibuat oleh manusia.

Sistem aturan hidup yang dibuat oleh manusia rentan menimbulkan perpecahan, perselisihan dan kerusakan. Sebagaimana sistem demokrasi yang dipakai di negeri ini buah kedaulatan di tangan rakyat ala demokrasi.

Dalam sistem demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat hanyalah ilusi. Pasalnya, rakyat yang dimaksud hanyalah mereka yang terpilih dari proses pemilu yang  duduk di kursi kekuasaan tanpa memihak pada rakyat kecil yang kekurangan.

Selain itu, proses pemilu yang mahal dalam sistem demokrasi menjadikan para penguasa tunduk dan patuh pada korporat penyokongnya maupun partai yang mengusungnya. Lebih dari itu, sebenarnya demokrasi hanya dijadikan alat oleh barat untuk menguasai negeri-negeri muslim. Mereka mempunyai kepentingan ekonomi, ideologi dan politik. 

Alhasil, bukan kedaulatan rakyat yang diraih, melainkan kedaulatan pemilik modal. Semakin lama demokrasi diterapkan berjalan di negeri ini, maka semakin dalam ketundukannya pada pemilik modal.

Hal tersebut sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Islam menetapkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan syariat. Bukan ditangan manusia dalam hal ini penguasa. 

Dalam pilar negara yang menerapkan sistem Islam, undang-undang dasar dan undang-undang dan peraturan turunannya digali dari Al-Qur'an, As-Sunnah, Ijma Sahabat dan Qiyas. Adapun manusia tidak mempunyai peran sama sekali kecuali menggali hukum dari dalil-dalil tersebut dan mengaitkannya dengan fakta hukum yang terjadi.

Kekuasaan tertinggi memang diberikan kepada penguasa (khalifah), namun ia wajib taat pada aturan Islam sebagai aturan yang dilegitimasi negara dalam sistem Islam.  

Sementara itu, dalam pengangkatan khalifah terdapat metode bai'at. Bai'at ini adalah istilah lain dari akad (kontrak) politik di antara dua pihak. Pihak pertama adalah umat Islam atau para wakil umat yang disebut ahlul halli wal aqdi atau majelis umat adapun yang kedua adalah seorang kandidat khalifah di pihak lain. 

Bai'at mengandung komitmen umat untuk menaati khalifah yang di bai'at, adapun khalifah berkomitmen mengamalkan kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.

Pun, Islam mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin dan menghindarkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.

Ketegasan Islam akan adanya pertanggungjawaban di akhirat dapat menjaga  setiap orang termasuk calon pejabat untuk taat pada aturan Allah dan rasul-Nya

Wallahu'alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak