Oleh : Ami Ammara
Setiap 12 November diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN) di Indonesia. Di tahun 2023, Indonesia akan merayakan Hari Kesehatan Nasional yang ke-59.
Asal-usul Hari Kesehatan Nasional tidak lepas dari sebuah peristiwa penting di dunia kesehatan Tanah Air. Momen ini dirayakan untuk memperingati keberhasilan pemerintah RI dalam memberantas wabah malaria pada tahun 1950-an. Seperti apa sih kisah di balik Hari Kesehatan Nasional?
Sejarah Hari Kesehatan Nasional
Dikutip dari laman Kementerian Kesehatan RI, Hari Kesehatan Nasional diperingati pertama kali pada 12 November 1964. Lahirnya momen tersebut berkaitan dengan wabah malaria yang melanda Indonesia pada era 50-an.
Saat itu, malaria merenggut ratusan ribu nyawa masyarakat Indonesia. Guna mengatasi hal tersebut, pemerintah melakukan usaha pembasmian malaria dengan membentuk Dinas Pembasmian Malaria pada tahun 1959.
Pembasmian malaria dilakukan dengan menggunakan obat baru, yaitu dichloro diphenyl trichloroethane (DDT). Penyemprotan obat tersebut dilakukan secara masal di rumah-rumah di seluruh Jawa, Bali, dan Lampung.
Penyemprotan secara simbolis dilakukan oleh Ir Soekarno selaku Presiden RI pada 12 November 1959 di Desa Kalasan, Di Yogyakarta.
Lima tahun setelah program penyemprotan berjalan, wabah malaria di Tanah Air mengalami penurunan yang signifikan. Lebih kurang 63 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari penyakit malaria. Sehingga untuk memperingati capaian tersebut, tanggal 12 November 1964 diperingati sebagai Hari Kesehatan Nasional yang pertama.
Hari Kesehatan Nasional 2023 mengangkat tema 'Transformasi Kesehatan Untuk Indonesia Maju'.
Indonesia maju tentu membutuhkan SDM yang berkualitas. Namun sayangnya saat ini masih banyak persoalan Kesehatan yang menghambat terwujudnya SDM berkualitas, seperti tingginya stunting dan kemiskinan, mahalnya layanan Kesehatan dan Kualitas Kesehatan yang masih jauh dari harapan.
Transformasi Kesehatan seharusnya lebih mengarah pada terselesaikannya persoalan Kesehatan yang belum terselesaikan dan bukan memprioritaskan transformasi ekosistem digital.
Paradigma Islam Tentang Kesehatan
Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، آمِنًا فِي سِرْبِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Siapa saja di antara kalian yang berada di pagi hari sehat badannya; aman jiwa, jalan dan rumahnya; dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan ia telah diberi dunia seisinya (HR al-Bukhari dalam Adab al-Mufrâd, Ibn Majah dan Tirmidzi).
Dalam hadis ini kesehatan dan keamanan disejajarkan dengan kebutuhan pangan. Ini menunjukkan bahwa kesehatan dan keamanan statusnya sama sebagai kebutuhan dasar yang harus terpenuhi.
Negara bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar itu. Nabi saw. bersabda:
اْلإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (Khalifah) laksana penggembala dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari).
Tidak terpenuhi atau terjaminnya kesehatan dan pengobatan akan mendatangkan dharar bagi masyarakat. Dharar (kemadaratan) wajib dihilangkan. Nabi bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارً
Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri (HR Malik).
Dengan demikian, kesehatan dan pengobatan merupakan kebutuhan dasar sekaligus hak rakyat dan menjadi kewajiban negara.
Kebijakan Kesehatan
Dalam Islam, sistem kesehatan tersusun dari 3 (tiga) unsur sistem.
Pertama: peraturan, baik peraturan berupa syariah Islam, kebijakan maupun peraturan teknis administratif.
Kedua: sarana dan peralatan fisik seperti rumah sakit, alat-alat medis dan sarana prasarana kesehatan lainnya.
Ketiga: SDM (sumber daya manusia) sebagai pelaksana sistem kesehatan yang meliputi dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya. (S. Waqar Ahmed Husaini, Islamic Sciences, hlm. 148).
Kebijakan kesehatan dalam Khilafah akan memperhatikan terealisasinya beberapa prinsip.
Pertama: pola baku sikap dan perilaku sehat.
Kedua: Lingkungan sehat dan kondusif.
Ketiga: pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau.
Keempat: kontrol efektif terhadap patologi sosial. Pembangunan kesehatan tersebut meliputi keseimbangan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Promotif ditujukan untuk mendorong sikap dan perilaku sehat. Preventif diprioritaskan pada pencegahan perilaku distortif dan munculnya gangguan kesehatan.
Kuratif ditujukan untuk menanggulangi kondisi patologis akibat penyimpangan perilaku dan munculnya gangguan kesehatan. Rehabilitatif diarahkan agar predikat sebagai makhluk bermartabat tetap melekat.
Kebijakan kesehatan Khilafah juga diarahkan bagi terciptanya lingkungan yang sehat dan kondusif. Tata kota dan perencanaan ruang akan dilaksanakan dengan senantiasa memperhatikan kesehatan, sanitasi, drainase, keasrian, dsb. Hal itu sudah diisyaratkan dalam berbagai hadis, seperti:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ, نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ, كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ, جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ, فَنَظِّفُوا بُيُوْتَكُمْ وَ أَفْنِيَتَكُمْ وَلاَ تَشَبَّهُوْا بِالْيَهُودِ
Sesungguhnya Allah Maha indah dan mencintai keindahan, Maha bersih dan mencintai kebersihan, Maha mulia dan mencintai kemuliaan. Karena itu, bersihkanlah rumah dan halaman kalian, dan janganlah kalian menyerupai orang-orang Yahudi (HR at-Tirmidzi dan Abu Ya’la).
Rasul saw. juga bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian buang air di air yang tergenang.” (HR Ashhab Sab’ah).
Jabir berkata, “Rasulullah melarang buang air di air yang mengalir.” (HR Thabarani di al-Awsath).
Di samping itu juga terdapat larangan membangun rumah yang menghalangi lubang masuk udara rumah tetangga, larangan membuang sesuatu yang berbahaya ke jalan sekaligus perintah menghilangkannya meski hanya berupa duri.
Beberapa hadis ini dan yang lain jelas mengisyaratkan disyariatkannya pengelolaan sampah dan limbah yang baik, tata kelola drainasi dan sanitasi lingkungan yang memenuhi standar kesehatan, dan pengelolaan tata kota yang higienis, nyaman sekaligus asri. Tentu saja itu hanya bisa direalisasikan melalui negara, bukan hanya melibatkan departemen kesehatan, tetapi juga departemen-departemen lainnya.
Tata kota, sistem drainase dan sanitasi kota kaum Muslim dulu seperti Baghdad, Samara, Kordoba, dsb telah memenuhi kriteria itu dan menjadi model bagi tata kota seperti London, kota-kota di Perancis dan kota-kota lain di Eropa.
Pelayanan kesehatan berkualitas hanya bisa direalisasikan jika didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten.
Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara (Khilafah) karena negara (Khilafah) berkewajiban menjamin pemenuhan kebutuhan dasar berupa kesehatan dan pengobatan.
Karenanya, Khilafah wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboratorium medis, apotik, pusat dan lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan dan sekolah lainnya yang menghasilkan tenaga medis, serta berbagai sarana prasarana kesehatan dan pengobatan lainnya.
Negara juga wajib mengadakan pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan; menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, penyuluh kesehatan dan lainnya.
Pelayanan kesehatan harus diberikan secara gratis kepada rakyat baik kaya atau miskin tanpa diskriminasi baik agama, suku, warna kulit dan sebagainya. Pembiayaan untuk semua itu diambil dari kas Baitul Mal, baik dari pos harta milik negara ataupun harta milik umum.
Semua pelayanan kesehatan dan pengobatan harus dikelola sesuai dengan aturan syariah termasuk pemisahan pria dan wanita serta hukum-hukum syariah lainnya. Juga harus memperhatikan faktor ihsan dalam pelayanan, yaitu wajib memenuhi 3 (tiga) prinsip baku yang berlaku umum untuk setiap pelayanan masyarakat dalam sistem Islam:
Pertama, sederhana dalam peraturan (tidak berbelit-belit).
Kedua, cepat dalam pelayanan.
Ketiga, profesional dalam pelayanan, yakni dikerjakan oleh orang yang kompeten dan amanah.
Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
Tags
Opini