Oleh : Ummu Aqeela
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi mengirimkan surat edaran kepada sebanyak 712 ribu wajib pajak (WP) yang merupakan pemilik atau pengelola hotel, restoran, tempat hiburan, parkir, pajak penerangan jalan (PPJ), air tanah, reklame, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Mereka diminta untuk meningkatkan kepatuhan dalam membayar pajak daerah.
Surat edaran yang ditandatangani Wali Kota Eri itu menyampaikan bahwa dalam rangka meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak daerah di lingkungan Kota Surabaya, bagi seluruh wajib pajak untuk menaati dan menjalankan kewajiban perpajakan. Apabila terjadi ketidaksesuaian atas kewajiban perpajakan, akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.
”Pemkot Surabaya bersama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan melakukan pengawasan dan pemantauan pelaksanaan pembayaran pajak daerah melalui monitoring center for prevention (MCP) KPK sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Wali Kota Eri dalam surat edaran yang ditandatangani 2 November 2023 itu.
Sementara itu, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bappeda) Kota Surabaya Hidayat Syah menjelaskan, sudah mengirimkan surat edaran itu kepada semua wajib pajak Surabaya. Di Surabaya ada sembilan jenis pajak, yaitu pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), pajak hotel, pajak restoran, pajak penerangan jalan (PPJ), pajak air tanah, pajak reklame, pajak parkir, dan pajak hiburan.
”Surat edaran itu dilayangkan melalui asosiasi usaha maupun individu WP. Jika ditotal dari 9 kategori pajak itu ada sebanyak 712.000 WP di Surabaya,” terang Hidayat Syah.
(https://www.jawapos.com/surabaya-raya/013267295/wali-kota-surabaya-eri-cahyadi-kirim-surat-edaran-ke-ratusan-ribu-orang-yang-telat-bayar-pajak)
Tak dapat dipungkiri sumber Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara yang berasal dari pajak nilainya sangat besar. Inilah yang selalu dipikirkan oleh pemerintah untuk menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara dalam menunjang kemajuan pembangunan bangsa.
Peraturan undang-undang dan beberapa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam pemasukan dan hasil yang didapat dari pungutan pajak seolah berbanding terbalik dengan kebijakan merevisi pengelolaan harta publik berupa SDA. Pemerintah terus mengejar rakyat dengan pajak tapi dalam hal pengelolaan SDA yang melimpah diserahkan pada Kapitalis dimana hanya pemilik modal dan orang yang berkuasa yang menikmatinya. Sementara disisi lain pajaknya dibebankan kepada masyarakat dalam berbagai jenis pungutan pajak.
Seharusnya fenomena ini disadari sebagai bentuk perusakan logika yang akut. Bagaimana mungkin rakyat memberikan mandat kekuasaan kepada penguasa yang hasilnya justru fokus menarik dana dari rakyatnya sendiri sebagai sumber utama mengelola negara?!
Di era ideologi kapitalisme saat ini, fungsi negara seakan hanya sebagai lembaga legislasi. Berbagai aturan yang mereka buat dapat kita saksikan lebih banyak untuk kepentingan swasta yang dikuasai oleh para korporasi kapitalis raksasa. Hasilnya, nyaris seluruh sumber daya alam yang berlimpah dikuasai oleh swasta, sedang negara hanya mendapat secuil prosentase dalam bentuk lagi-lagi pajak. Maka jangan heran di abad ini muncul para trilyuner dengan kekayaan yang sulit diterima akal sehat. Bagaimana mungkin kekayaan seorang individu bisa menyamai bahkan melebihi sebuah negara?!
Untuk itu sudah saatnya kita melepaskan diri dari jerat kapitalisme, dan mau tidak mau haruslah berawal dari mengubah sistem negeri ini. Saat masyarakat tak lagi menggunakan sistem kapitalis maka pemikiran tentang pungutan pajak yang mencekik rakyat pun akan hilang. Karena dalam Islam kekayaan sumber daya alam digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara tidak berhak memungut kekayaan individu termasuk pajak tanpa izin yang sesuai dengan syara.
Dalam fiqih Islam istilah pajak dikenal dengan dlariibah. Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Al-Amwaal fii Daulati Al-Khilafah, hal. 129,
mendefinisikan pajak dengan, “harta yang diwajibkan Allah kepada kaum Muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum Musim untuk membiayainya.”
Berdasarkan definisi tersebut, maka pajak termasuk pendapatan tidak tetap. Pendapatan ini bersifat instrumental dan insidental. Bersifat instrumental, karena Islam menetapkan kepada kaum Muslim fardlu kifayah untuk memikul kewajiban pembiayaan, ketika dana tidak ada di Baitul Mal. Karena itu, ini menjadi instrumen untuk memecahkan masalah yang dihadapi negara, yang dibebankan hanya kepada umat Islam. Disebut juga insidental karena tidak diambil secara tetap. Tergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara untuk mengambilnya.
Meski beban pajak menjadi kewajiban kaum Muslim, tetapi tidak semua kaum Muslim menjadi wajib pajak, apalagi non-Muslim. Pajak hanya diambil dari kaum Muslim yang mampu. Yakni dari kelebihan harta, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya yang proporsional (ma’ruf), sesuai dengan standar hidup mereka di wilayah tersebut. Karena itu, jika ada kaum Muslim yang mempunyai kelebihan, setelah dikurangi kebutuhan pokok dan sekundernya, maka dia menjadi wajib pajak. Tetapi, jika tidak mempunyai kelebihan, maka dia tidak menjadi wajib pajak, dan pajak tidak akan diambil darinya.
Begitulah Islam memberikan keadilan dan kemakmuran kepada umat dalam kepemilikan hartanya. Pajak bukanlah sumber pendapatan negara, namun ia diambil semata-mata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan oleh syara’. Maka, sudah saatnya syariat Islam diterapkan secara kaffah di negeri ini agar kemaslahatan dan kemakmuran umat akan dapat dicapai.
Wallahua'lam bishowab