Proyek BRI, Buaian Palsu Sarat Ambisi



Oleh : Rini Hapsa
(Pegiat Literasi)

Ambisi cina untuk menguasai Ekonomi dunia nampaknya memang cukup serius. Pemerintah Cina kembali menyelenggarakan Belt and Road Initiative (BRI) Summit pada 17—18 Oktober 2023 sekaligus memperingati 10 tahun sejak BRI pertama kali diperkenalkan pada 2013 lalu yang dihadiri sekitar 130 negara dan 30 organisasi internasional.

Dalam proyek BRI, Presiden Xi Jinping menjanjikan tambahan suntikan dana sebesar lebih dari US$100 miliar atau sekitar Rp1.576,99 triliun (asumsi kurs Rp15.769 per dolar AS). Negara-negara yang terlibat BRI dapat mencairkan dana tersebut melalui pinjaman dari China Development Bank dan Bank Ekspor-Impor. Hal ini diisampaikannya di sela-sela pertemuan BRI, yang juga dihadiri Presiden Jokowi di Cina.

Indonesia pun sebagai salah satu pengguna pinjaman program BRI, sudah cukup panjang menjalin kerjasama dengan negara tirai bambu ini. Tak sedikit proyek-proyek besar yang melibatkan Cina semisal proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Bendungan Jatigede, dan Tol Medan-Kualanamu. Dan hingga saat ini jumlah investasi Cina ke Indonesia sebesar US$ 15,1 miliar. (CNBC Indonesia, 19-10-2023).

Tak habis disitu, Jokowi juga meminta Cina menanamkan investasinya pada kerja sama pengembangan koridor ekonomi TWo Countries, Twin Parks dan pembangunan IKN, serta kerja sama pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). (CNBC Indonesia, 20-10-2023).

Klaim Cina kepada negara-negara yang melakukan pinjaman, adalah bahwa program BRI adalah bentuk mitra untuk membantu mereka keluar dari perangkap kemiskinan, membantu negara-negara mitra dalam mengurangi utang mereka dengan mempromosikan lapangan kerja, pendapatan pajak, dan investasi seolah angin segar di tanah gersang bagi negara-negara peminjam. 
Apakah benar demikian? 

Faktanya, banyak negara terkait justru mengalami kesulitan dan terlilit utang. Bahkan, lebih parahnya lagi, ada negara yang gagal bayar utang, seperti Zambia dan Sri Lanka. Negara lain seperti Argentina, Etiopia, Kenya, Malaysia, Montenegro, Pakistan, Tanzania, dan Afrika Sub Sahara merupakan negara-negara yang terjerat utang hingga perlu keputusan yang dapat melumpuhkan negara tersebut. 

Maraknya proyek kawasan industri, baik Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) maupun Proyek Strategis Nasional (PSN), seperti di Jateng, Sumut, Morowali Sulawesi, Halmahera Maluku, Banten, dan Kaltara di Indonesia tetap saja tidak mengurangi kemiskinan, malah makin meningkatkan kesenjangan ekonomi. Maka ucapan manis Cina hanya akan jadi sekedar ucapan manis belaka. Indonesia tidak ubahnya hanyalah tumbal imperialisme kapitalis dunia belaka. 

Sejatinya, persoalan infrastruktur dan memenuhi kebutuhan rakyat adalah pure tugas negara.  Negara berkewajiban mengurusinya secara mandiri. Islam adalah solusi bagi persoalan kehidupan manusia, menjadi senjata kuat untuk mewujudkan negara yang mandiri dalam hal ekonomi. 

Islam memiliki sikap tegas dalam menentukan hubungan luar negeri antara negara berbasis Islam dan yang bukan. Islam juga tidak akan menerima investasi yang berasal dari jalan yang haram, seperti investasi tentang pemanfaatan SDA dengan semena-mena. 

Berkaitan dengan pembangunan, pemanfaatan SDA yang dikelola langsung oleh negara, akan menjadikan negara memiliki dana cukup untuk membangun infrastruktur.  Dari sini, negara tidak akan kesulitan dalam membangun infrastruktur. 

Maka negara yang kuat tidak akan mau menggantungkan hidup pada negara Cina. Sampai kapan pun, Cina tidak akan membiarkan negara lain lebih unggul darinya, terlebih Indonesia. Cina akan berusaha keras melakukan berbagai cara untuk menguasai ekonomi dunia. Indonesia haruslah menjadi lebih mandiri. Maka satu- satunya sistem yang layak berlaku demi masa depan kedaulatan umat Islam adalah sistem penerap aturan Allah secara kafah. Wallahu alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak