Program ”Food Estate”, Benarkah Mensejahterakan Rakyat ?




Elvita Rosalina, S.Pd.
(Aktivis Muslimah Lubuklinggau)



Harga pangan berupa beras Indonesia tidak pernah stabil dan cenderung terus meningkat tidak ada yang bisa membantahnya. Jangankan lembaga riset, masyarakat awam pun mengetahui dengan cermat kenaikan setiap rupiahnya. Maka dari itu masyarakat Provinsi Sumatera Selatan diimbau stop boros pangan khususnya beras dengan cara makan tidak banyak dan tidak membuang makanan serta mencari makanan alternatif. Imbauan tersebut disampaikan Penjabat (Pj) Gubernur Sumatera Selatan, Dr Drs Agus Fatoni MSi ketika menghadiri HUT Kota Prabumulih ke 22 di gedung DPRD Prabumulih pada Selasa, 17 Oktober 2023 lalu.

Secara umum inflasi di Sumsel stabil, sama dengan inflasi nasional bahkan ditahun-tahun sebelumnya kita lebih rendah, ini suatu capaian yang sangat bagus atas kerjasama kita bersama.(Tribunsumsel, 18/10/23).

Sebagaimana diketahui, Sumsel adalah salah satu wilayah yang melaksanakan program ”Food Estate” atau lumbung pangan nasional di lima kabupaten dengan luas lahan mencapai 92.279 hektar. Lima kabupaten tersebut ialah Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, dan OKU Timur. Kondisi yang sangat kontradiktif  antara mahalnya harga beras premium di sejumlah pasar tradisional di Provinsi Sumatra Selatan per 30 Agustus masih berada di kisaran Rp14.000-Rp14.500 per kilogram atau berada diatas harga eceran tertinggi (HET) beras yang ditetapkan sebesar Rp13.900 per kilogram. (Sumatra.bisnis.com, 10/08/23).

Lalu bagaimana program food estate yang digagas Presiden Jokowi sejak awal periode keduanya, bahwa food estate atau lumbung pangan merupakan salah satu Program Strategis Nasional 2020-2024. Bahkan program ini, berada dibawah kendali Menteri Pertanian, dalam praktiknya banyak pula petinggi kementerian lain yang terlibat, termasuk Menteri Pertahanan. Namun  setelah sekian tahun berjalan program ini faktanya justru harga beras semakin mahal. Padahal menurut  Pimpinan Perum Bulog Kantor Wilayah Sumsel Babel Mohamad Alexander bahwa stok beras existing di gudang 23 ribu ton yang diasumsikan cukup hingga Maret 2024.

Miris rakyat yang tinggal wilayah lumbung pangan terpaksa membeli beras dengan harga mahal. Seharusnya program lumbung pangan bisa dinikmati oleh rakyat karena kewajiban pemerintah memberikan pelayanan terbaik untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat, menjaga kestabilan stok beras dan distribusi yang merata dengan harga yang terjangkau. Namun sayangnya pemerintah hari ini sering kali memberikan saran yang melukai hati rakyat karena  seolah-olah stok beras habis  akibat rakyat boros makan hingga disuruh mencari pangan alternatif lain dalam memenuhi kebutuhan pokok. Adapun dampak harga beras mahal, tidak dipungkiri menggembirakan bagi para petani dan menyebabkan rakyat tidak bisa membeli beras, sehingga akan terjadi krisis pangan.
Ada beberapa pemicu mahalnya harga beras, di antaranya: Pertama, gagal panen akibat kondisi alam seperti kekeringan (elnino) selama musim kemarau atau bencana alam. Kedua, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan tingginya biaya operasional mulai dari traktor, bibir, pupuk, pestisida, sampai pada pendistribusian. Ketiga, adanya mafia beras yang memainkan stok beras, dimana para mafia ini membeli beras dari petani maupun bulog dalam jumlah besar lalu ditimbun dan mereka jual kembali dengan harga yang mahal.

Mahalnya harga beras  bukan hal baru,  merupakan hasil penumpukan berbagai problematika yang sebenarnya preventif. Namun semuanya terlewat oleh negara karena tidak ada solusi hakiki, yang kemudian berimbas pada rakyat. Inilah dampak diterapkannya sistem kapitalisme yang belum mampu mensejahterakan rayat dan miskin solusi.
Hanya sistem Islam memiliki mekanisme yang jelas soal pangan. Pangan merupakan kebutuhan mendasar (hajat al-asasiyah) yang pengadaannya baik secara kuantitas maupun kualitas sepenuhnya ada pada tanggung jawab negara. 

Negara menjamin ketersediaan dan distribusinya kepada masing-masing individu dalam masyarakat. Semuanya disediakan secara gratis oleh Negara, sebab Negara berfungsi sebagai ra'in (pelayan). 
Rosulullah SAW bersabda:
 “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Imam (waliyul amri) yang memerintah manusia adalah pemimpin dan ia akan ditanya tentang rakyatnya.” (HR. Bukhari)

Rasulullah SAW dan para Khulafâur Râsyidîn sebagai pemimpin telah memberikan teladan yang baik dalam menyejahterakan rakyat. Amîrul Mukminîn Umar bin al-Khattab  Ra pada masa paceklik dan kelaparan, ia hanya makan roti dan minyak sehingga kulitnya berubah menjadi hitam. Khalifah Umar Ra berkata: “Akulah sejelek-jelek kepala negara apabila aku kenyang sementara rakyatku kelaparan.” 

Saat kekhalifahan dilanda kekeringan hebat pada 18 H, Khalifah Umar Ra memberlakukan kupon makanan bagi masyarakat yang dapat ditukar dengan gandum dan tepung secara gratis. Khalifah  meminta bantuan logistik pangan kepada para walinya. Salah satunya adalah Abu Ubaidah Ra yang pernah datang ke Madinah membawa 4000 hewan tunggangan yang dipenuhi makanan. Khalifah  memerintahkannya untuk membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah. Artinya jika harga pangan mahal akibat dari faktor alam seperti gagal panen karena kekeringan (elnino) atau bencana alam, maka umat wajib bersabar. Islam mewajibkan negara untuk mengatasinya dengan cara mencari supply ke daerah lain. Apabila seluruh wilayah dalam negeri stok kosong, maka baru ambil kebijakan impor dari negara lain. Jadi, keputusannya tidak serta merta langsung impor tanpa memikirkan petani dalam negeri. Impor adalah pilihan terakhir. 

Jika harga pangan mahal akibat dari pelanggaran hukum syara, seperti penimbunan dan permainan harga. Maka, negara wajib menindaklanjuti, memberikan sanksi tegas yang memberi efek jera kepada pelaku pelanggaran. Selain itu pemerintah wajib memberikan perhatian kepada petani  menyediakan sarana dan prasarana untuk menunjang hasil bumi serta memantau jalannya distribusi. Dengan demikian, dapat diantisipasi, sehingga harga-harga tetap stabil. Inilah cara negara islam mensejahterakan rakyatnya tidak saling melempar tanggung jawab dan kesalahan namun saling menanggung beban amanah kenegaraan yang dipimpinnya.

Wallahu a'lam bish-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak