Oleh: Kemala
(Relawan Opini)
Lagi dan lagi, bagaimana buah watak keras perilaku generasi kembali dituai layaknya episode yang kejar tayang dalam masyarakat. Kian hari semakin meninggi. Angka tindak kekerasan di lingkungan remaja nyatanya tak kunjung meredup. Tanpa memandang kasta, tiada melihat gender, pelaku maupun korban bullying tidak sama sekali mengenal perempuan pun laki-laki.
Benar saja, laporan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), mengenai persentase data siswa yang mengalami perundungan atau bullying di Indonesia untuk kategori kelas 5 SD mencapai 31,6% untuk laki-laki dan 21,64% untuk perempuan dan menyentuh angka nasional 26,8%. Sementara untuk kategori kelas 8 SMP mencapai 32,22% (laki-laki), sebesar 19,97 persen (perempuan), dan mencapai 26,32% untuk nasional.
Lain kesempatan, terhitung Agustus 2023 diperoleh laporan dari KPAI mengenai pelanggaran terhadap perlindungan anak yabg mencapai 2.355 kasus dengan anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI.
Fenomena kekerasan di kalangan anak bukanlah masalah remeh temeh yang bisa dianggap biasa saja. Kondisi yang terjadi di lapangan bukan hanya sekali dua kali melainkan telah berulang kali dengan beragam motif. Berbagai kiat yang dirilis oleh pemerintah hingga saat ini seolah tidak memberikan efek penanggulangan yang menonjol, hanya sebagai bentuk gertakan sambal saja, tidak sampai menimbulkan efek jera secara total sehingga terus berlanjut sampai saat ini.
Apa yang kemudian tengah terjadi memberikan potret umum bagaimana mengerikannya kemunduran perilaku dan taraf berpikir generasi. Lantas, siapakah yang bertanggung jawab atas fenomena ini?
Jelas adanya, problematika yang tengah menyeruak saat ini bukan hanya sekedar tanggung jawab individu itu sendiri melainkan keluarga, masyarakat serta negara turut memegang andil. Pola pergaulan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari baik dalam lingkup akademis, keluarga serta masyarakat hingga pengaturan negara yang tanpa melibatkan agama di dalamnya pada akhirnya menjadi bumerang bagi individu secara khusus dan masyarakat itu sendiri secara umum.
Kondisi serupa akan berlangsung secara berkesinambungan baik dalam wujud yang serupa maupun melalui bentuk perilaku lainnya. Sebab, pengambilan tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya belum sampai menyentuh titik vital permasalahannya. Solusi yang diambil hanya mengatasi apa yang ada pada lapisan teratas saja. Ditambah lagi dengan terkikisnya ketakwaan individu semakin menjadi-jadi karena tidak dilibatkannya agama dalam setiap perilaku, kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hawa nafsu menjadi yang terdepan dalam bertindak hingga dipegangnya pendapat kebebasan untuk memutuskan tiap perkara. Bertindak semau hati, selama memberikan manfaat sekalipun terlepas dari batasan agama akan dilumrahkan. Lingkup keluarga yang menjadi gerbang generasi sebelum terjun dalam kehidupan bermasyarakat belum mampu memberikan bekal yang solid. Belum lagi minimnya kontrol masyarakat terhadap pergaulan individu yang berkonspirasi dengan ketiadaan penjagaan negara, semakin memupuk berlangsungnya kondisi bullying yang ada.
Sampai kapan kondisi ini akan berlangsung? Bagaimana untuk memastikan generasi pembangun bangsa dapat berdiri kokoh ketika kualitas individunya rapuh?
Sejatinya, dalam islam telah diberikan perhatian terhadap pembentukan generasi sedari awal mungkin. Tentunya dari lingkup terkecil yaitu keluarga, bahkan sejak awak sebelum memutuskan berumah tangga, individu sudah semestinya mempersiapkan diri dalam tujuan membangun pondasi keluarga yang kokoh dari berbagai arah. Peranan orang tua akan berdampak pada pembentukan sikap takwa bagi anak. Sehingga penanaman akidah begitu penting sebagai tameng dan rambu-rambu dalam bertindak dalam berbagai situasi dan sebagai tindak pencegahan pada kemungkaran.
Kondisi keluarga yang kondusif akan semakin baik jika didukung dengan masyarakat yang juga memiliki visi kehidupan yang sama berporos pada islam, yang mempunyai kontrol terhadap amar makruf nahi mungkar diharapkan mampu memberikan fungsu penjagaan serta pemantauan terhadap berkembangnya generasi. Maka, ketika terdapat kelonggaran dari penjagaan keluarga, masyarakatlah yang menjadi kontrol sosial, mencegah serta menasehati apabila menemukan individu yang berbuat kemungkaran. Kemudian selepasnya, akan terlihat pula peranan negara yang bertugas memenuhi hak-hak warga negara dalam berbagai aspek kehidupan sebagaimana yang ada dalam sistem islam.
Negara juga akan mendukung pemenuhan kebutuhan pokok bagi warga yang tidak mampu, menjamin keselamatan, memberikan fasilitas pendidikanl berbasis islam yang mampu mendukung terbentuknya generasi cemerlang. Juga termasuk diantaranya memberikan kontrol terhadap media massa dan media online agar dapat secara baik memfilter hal-hal yang berpotensi merusak akidah. Dalam tindakannya mengatasi kemungkinan munculnya tindak kriminal, islam juga memberlakukan sistem sanksi yang tentu akan memberikan efek jera bagi pelakunya. Kesemuanya akan terlaksana secara optimal dan menyeluruh ketika diterapkan dalam negara yang menjadikan islam sebagai aturan hidup, tanpa memilah-memilah aturan mana yang sesuai dan mana yang tidak berdasarkan hawa nafsu manusia.
Wallahu'alam.