Oleh : Hasna Hanan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menyampaikan, peluang penggunaan fasilitas negara dalam Pemilu 2024 akan selalu terbuka, apalagi jika kontestan merupakan seseorang yang masih menjabat. Penyalahgunaan ini berpotensi karena bisa saja peserta pemilu memanfaatkan sumber daya yang ada untuk kepentingan kampanye. “Misalnya program-program pemerintah digunakan sebagai alat kampanye,” kata Nisa, sapaanya, dihubungi reporter Tirto, Selasa (24/10/2023)
kata Nisa, penyelenggara negara memang telah diperbolehkan misalnya mengambil cuti atau dalam kontestasi pilkada, mereka tidak boleh melakukan mutasi jabatan selama 6 bulan sebelum pencalonan. Adapun untuk kontestasi pilpres, termaktub dalam PKPU Nomor 19 Tahun 2023, pejabat setingkat menteri, DPR RI, dan kepala daerah tidak harus mengundurkan diri dari jabatannya dan bisa mengajukan cuti kepada presiden.
“Tapi tantangan pada pemilu kali ini adalah masa kampanye yang baru akan dimulai pada 28 November 2023, tapi kita tahu bahwa sosialisasi atau kampanye sudah dimulai sebelum itu, sehingga pengawasannya sulit dilakukan,” sambung Nisa.
Sementara itu Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita menyatakan, anggaran negara merupakan salah satu sasaran empuk dalam penyalahgunaan fasilitas negara. Anggaran negara bisa disalahgunakan pihak-pihak tertentu untuk menduplikasi kegiatan. “Artinya seakan-akan dana yang seharusnya diberikan kepada masyarakat sesuai skema yang ditentukan boleh jadi karena berkaitan dengan kewenangan tentu semua upaya dimaksimalkan,” kata Paramita dihubungi reporter Tirto, Selasa (24/10/2023).
Di sisi lain, Komisioner KPU RI, Idham Holik menyatakan, pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada kontestan pemilu agar menaati peraturan yang berlaku. Termasuk, kata Idham, peraturan PKPU No 15 Tahun 2023 yang berisi teknis kampanye dan pelarangan penggunaan fasilitas negara. “KPU telah mendiseminasi aturan teknis pelaksanaan kampanye dalam hal ini Peraturan KPU No. 15 Tahun 2023 khususnya Pasal 62,”
Didalamnya menyatakan soal pejabat negara yang melaksanakan kampanye pemilu, serta pejabat negara yang berstatus sebagai anggota partai politik atau bukan anggota partai politik, wajib memperhatikan tugas penyelenggaraan negara dan/atau pemerintahan, dan dilarang menggunakan fasilitas negara dan fasilitas yang melekat pada jabatan.
Jika kita menilik ketentuan KPU terkait bacapres dan bacawapres maka Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Saat ini ada 575 kursi di parlemen sehingga pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pilpres 2024 harus memiliki dukungan minimal 115 kursi di DPR RI. Bisa juga pasangan calon diusung oleh parpol atau gabungan parpol peserta Pemilu 2019 dengan total perolehan suara sah minimal 34.992.703 suara.
Dari fakta diatas ketetapan dan ketentuan untuk capres-cawapres sebenarnya telah termaktub dalam banyak peraturan yang dibuat oleh KPU, akan tetapi masih sering terus berulang-ulang dan kerap terjadi yaitu penyalahgunaan fasilitas negara, termasuk penggunaanya untuk keperluan kampanye, sehingga tanpa pengawasan dan pencegahan, kontestan Pilpres dan juga cawapres 2024 mungkin saja berkompetisi tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.
Demokrasi Meniscayakan Kecurangan Terjadi
Bukan suatu hal yang asing terjadi tetapi sudah menjadi berita umum sekarang ini ditambah dengan fakta disetiap pesta rakyat pemilu akan ada saja kecurangan yang dilakukan oleh para peserta pemilu dengan para tim sukses atau sukarelawan yang ada dibelakang mereka, bahkan yang memulai start kampanye pun sudah lama dilakukan, mendekati pemilu semakin massive dan intensif mereka untuk memakai segala cara dan sarana memikat rakyat agar mendapatkan banyak suara untuk partainya, memberikan kemenangan bacapres dan bacawapres yang berkoalisi dengannya.
Inilah wajah asli demokrasi tipu-tipu tidak akan benar- benar berpihak pada rakyat, rakyat diperdaya dengan hadiah-hadiah atau bantuan yang sifatnya hanya sesaat begitu juga dengan janji-janji kesejahteraan dan pengaturan kehidupan yang lebih baik lewat kampanye itu semua hanya lips service yang manis di bibir tapi realisasinya nol.
Demokrasi sebagai alat untuk memilih penguasa telah menghalalkan kedaulatan itu ditangan rakyat dan kekuasaan juga ditangan rakyat korporasi, sehingga aturan mereka yang buat, mana mungkin akan menghasilkan sebuah bangsa yang berdaulat, maju dan sejahtera bila dasar aturan hukum yang ditegakkan di tengah-tengah masyarakat bukan berasal dari sang Kholiq pencipta manusia, tetapi pada manusia yang lemah, serba terbatas hidupnya dan dipenuhi hawa nafsu duniawi yang bebas tanpa batas. Inilah demokrasi sekuler kapitalisme yang menjadi dasar pemikiran diseluruh dunia ketika memilih penguasa.
Demokrasi sekuler dalam meraih kekuasaan akan mengambil resiko apapun meski harus mengorbankan nyawa rakyatnya, maka tidaklah heran pemilu 4 tahun yang lalu diduga terdapat kecurangan hasil survei pemilu dalam perhitungan suara, dan rakyat banyak mengetahui fakta tersebut, sehingga untuk menutupi terbongkarnya kecurangan maka penghilangan nyawa menjadi suatu yang cepat dilakukan, astaghfirullah haladzim
Islam mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin dan menghindarkan adanya konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang
Ketegasan Islam akan adanya pertanggungjawaban di akherat dapat menjaga setiap orang termasuk calon pejabat untukk taat pada aturan Allah dan rasulNya
Hanya dengan diterapkan aturan Islam disetiap lini kehidupan dalam institusi khilafah yang akan menjadi perisai umat terhadap segala hal yang mengarah kepada kemaksiatan terhadap aturan Allah SWT dan penyalahgunaan kekuasaan.
Wallahu'alam bisshawab