Oleh: Riza Maries Rachmawati
Aji mungpung, itulah jurus yang dilakukan oleh para penguasa yang sedang menjabat untuk melanjutkan kekuasaannya di pemerintahan. Seperti yang dilakukan oleh dua menteri kabinet pemerintaha Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpartisipasi dalam Pilpres 2024. Pertama, Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang menjadi cawapres Ganjar Pranowo. Kedua, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan yang jadi capres berpasangan dengan Gibran Rekabuming Raka. Menanggapi hal tersebut, Ari Junaedi yang merupakan Pakar Komunikasi Politik berharap para menteri yang bersinggungan dengan pusaran koalisi Pilpres 2024 untuk segera mundur dari jabatannya. Berlawanan dengan Ari Juanedi, justru Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Idham Holik mengatakan selama mendapat izin dari presiden untuk cuti bakal calon presiden maupun calon wakil presiden yang masih berstatus sebagai menteri tidak perlu mundur.
Aturan KPU yang memperbolehkan bacapres dan bacawapres bisa mengambil cuti tanpa harus mundur jelas memberikan peluang penyelahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingn pribadi atau golongan, bahkan fasilitas negara dan anggaran negara. Kebijakan ini juga berpotensi pada pengabaian tanggung jawab para pejabat atau penguasa sebagai pengurus urusan rakyat. Tentu hal ini semakin mempertegas bentuk bentuk ketidakadilan yang dilegitimasi oleh negara apalagi didukung regulasi yang ada.
Kebijakan yang menghasilkan ketidakadilan ini merupakan salah satu dampak peraturan yang dibuat manusia, buah kedaulatan di tangan rakyat ala demokrasi. Peraturan yang dibuat oleh akal manusia yang lemah tentu tidak akan mampu mencapai kebenaran mutlak, justru cenderung menimbulkan perselisihan dan pertentangan. Suara rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi menjadi tidak berarti. Karena sebenarnya suara rakyat ini hanya mewakili segelintir orang saja yaitu orang-orang yang ada ditapuk kekuasaan yang sebelumnya terpilih dalam proses pemilu. Penguasa yang terpilih sudah dipastikan akan tunduk pada partai pengusungnya maupun korporasi yang menyokongnya dalam proses pemilu yang mahal.
Bila ditilik lebih dalam sesungguhnya sistem demokrasi ini dijadikan alat oleh Barat untuk menguasai negeri-negeri Muslim. Melalui demokrasi terbentuklah negara yang dengan mudah dikontrol oleh korporasi. Barat memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan ideologi dari penerapan sistem demokrasi di negeri-negeri muslim. Cengkraman korporasi terhadap negara semakin kuat sehingga korporasi multinasional semakin mendominasi. Alhasil dengan demokrasi bukan kedaulatan rakyat yang diraih, tetapi kedaulatan pemilik modal. Semakin lama negera-negara demokrasi semakin dalam ketundukannya kepada pemilik modal.
Sistem demokrasi berbeda jauh dengan sistem Islam yaitu Khilafah. Secara konsep Islam menetapkan kedaulatan tertinggi ada di tangan syariat, bukan ditangan manusia dalam hal ini penguasa. Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma sahabat, dan qiyas menjadi sumber dalam menentukan UUD, UU dan peraturan turunannya. Adapun manusia tidak memiliki peran sama sekali kecuali menggali hukum dari dalil-dalil dan mengaitkannya dengan fakta yang terjadi. Dengan demikian maka secara otomatis manusia tidak memiliki peran dalam mempengaruhi regulasi yang bias pada kepentingan mereka. Kekuasaan tertinggi memang diberikan kepada penguasa (Khalifah), namun ia wajib taat pada aturan Islam sebagai aturan yang dilegitimasi dalam negara Islam (Khilafah).
Khalifah dan para pejabat pemerintah hanya berperan untuk melaksanakan hukum syariah. Berdasarkan masukan Majelis Umat di tiap wilayah Khalifah menunjuk langsung pejabat daerah, contohnya seperti wali. Tidak seperti model pemilihan sistem demokrasi yang mahal, dengan penujukan langsung para pejabat daerah oleh Khalifah dapat menghindari masuknya pengaruh oligarki atau pemilik modal. Partai politik dan umat secara konsisten diwajibkan untuk mengawasi pemerintahan sehingga kebijakan yang bertentangan dengan syariah Islam dapat segera diidentifikasi dan dihilangkan. Termasuk penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi atau segelintir orang.
Adapun dalam pengangkatan Khalifah terdapat metode baku yaitu bai’at. Metode ini merupakan satu-satunya metode yang diguanakan dalam mengangkat Khalifah. Bai’at ini adalah istilah lain akad (kontrak) politik di antara dua pihak. Pihak pertama adalah umat Islam atau para wakil umat yang sering disebut Ahlul Halli wa aqdi atau Majelis Umat. Adapun pihak kedua adalah seorang kandidat Khalifah di pihak lain. Bai’at mengandung komitmen umat untuk menaati Khalifah yang di bai’at. Adapun Khalifah berkomitmen untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rosul-Nya ditengah-tengah umat.
Adapun teknis pemilihan Khalifah sebelum pembai’atan tidak bersifat baku dan memang tidak tunggal tetapi mengambil cara yang berbeda-beda. Perbedaan teknis pemilihan Khalifah pra-bai’at tersebut diketahui secara luas oleh para sahabat Rosulullah saw. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengingkari perkara ini. Dengan demikian, telah terwujud Ijma Sahabat mengenai kebolehan berbagai macam cara pemilihan Khalifah sebelum pembai’atan Khalifah. Jika pra-pembai’atan dilakukan proses pemilihan sebagaimana dimasa pemilihan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhuma, maka proses pemilihan berlangsung sangat singkat, maksimal tiga hari. Setelah itu, Khalifah yang terpiih langsung menjalankan tanggung jawabnya mengurusi kemaslahatan rakyat. Jika Calon Khalifah berasal dari pejabat pemerintahan sebelumnya, maka tugasnya akan digantikan oleh pihak lain di masa kekosongan Khalifah tersebut.
Proses pengangkatan Khalifah yang tidak berlangsung lama dan menutup celah terjadiny penyalahgunaan kekuasaan oleh calon Khalifah. Selain itu, ketegasan Islam akan adanya pertanggungjawaban di akhirat dapat menjaga setiap orang termasuk calon pemimpin untuk taat aturan Allah dan rasul-Nya. Termasuk mengutamakan kejujuran dalam proses pemilihan pemimpin. Sungguh hanya Khalifah yang mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan
Wallahu’alam bi shawab
Tags
Opini