Oleh : Khaziyah Naflah
(Pegiat Literasi)
Proyek pembangunan infrastruktur jalan di Jalan Banteng, Kelurahan Rohandouna, Kecamatan Poasia, Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) mendapat sorotan warga sekitar. Pasalnya, proyek pengaspalan jalan, yang baru berjalan tahap satu tersebut menimbulkan dampak buruk bagi warga sekitar, yakni adanya debu yang bertebaran di sepanjang ruas jalan.
Salah satu warga Kelurahan Rohandouna, menuturkan sejak pengerjaan jalan diambil alih pihak ketiga atau kontraktor pemenang tender, pengerjaan jalan terkesan mengabaikan tanggung jawabnya. Padahal, seharusnya pihak kontraktor pada saat melakukan pengerjaan jalan, mulai dari tahap pengerasan hingga tahap pengaspalan setidaknya bisa melakukan penyiraman untuk mengurangi debu di jalan. Namun faktanya tidak demikian, warga sekitar justru terpaksa menghirup debu jalan tersebut.
Di sisi lain, Ketua Komisi III DPRD Kota Kendari La Ode Muhamad Rajab Jinik mengungkapkan bahwa masalah ini menjadi tanggung jawab perusahan dan dia sangat menyesalkan sikap kontraktor yang seakan lari dari tanggung jawabnya (detik.com, 25/09/2023).
Pembangunan Jalan dalam Perspektif Kapitalis
Jalan merupakan salah satu infrastruktur umum untuk menunjang berbagai aktivitas masyarakat, mulai dari perekonomian, kesehatan, pendidikan, dan aktivitas lainnya. Pembangunan jalan pun seyogianya menjadi tanggung jawab penguasa untuk mengadakannya. Namun, hal ini tidak terjadi pada negara yang menerapkan sistem kapitalisme, salah satunya Indonesia. Sebab, penguasa dijauhkan dari tanggung jawabnya untuk mengurus urusan rakyatnya, termasuk tanggung jawab pembangunan infrastruktur umum, seperti jalan tersebut.
Penguasa lebih menyerahkan pembangunan infrastruktur kepada para pemilik modal atau swasta. Alhasil, jika pembangunan dipegang oleh swasta, sudah pasti yang menjadi prioritas bukanlah kesejahteraan rakyat, melainkan cuan dengan penerapan prinsip untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.
Pembangunan-pembangunan infrastruktur di negeri ini yang justru merugikan rakyat bukan kali ini saja terjadi, namun telah banyak pembangunan infrastruktur lainnya yang juga membuat rakyat lebih sengsara. Rakyat senantiasa dipaksa untuk menyukseskan berbagai proyek strategi nasional (PSN) yang katanya demi kesejahteraan rakyat, namun nyatanya semua itu hanya omong kosong belaka. Pembangunan infrastruktur justru lebih dinikmatin oleh para penguasa dan pengusaha.
Selain itu, pernyataan salah satu wakil rakyat di atas juga menjadi bukti bahwa negara mengabaikan tanggung jawabnya untuk menjadi pengurus urusan rakyatnya. Penguasa hanya difungsikan sebagai regulator. Sedangkan pelaksananya yakni para swasta atau oligarki. Inilah paradigma pembangunan dalam kapitalisme. Rakyat akan senantiasa menjadi korban pembangunan-pembangunan ala kapitalisme.
Pembangunan Jalan dalam Perspektif Islam
Islam memandang bahwa jalan merupakan salah satu kepemilikan umum (milkiyah ummat), kedudukannya sama dengan pengelolaan sumber daya alam. Dia wajib dipenuhi oleh negara itu sendiri. Tidak boleh negara menyerahkan pembangunan dan pengelolaanya kepada swasta atau asing. Negara juga tidak boleh mengkomersilkan infrastruktur tersebut. Sebab, pembangunan jalan merupakan bentuk tanggung jawab penguasa untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya.
Prinsip pembangunan infrastruktur dalam Islam pun demi kesejahteraan rakyat, bukan keuntungan segelintir orang. Oleh karena itu, setiap melakukan pembangunan, seorang khalifah senantiasa menerjunkan para ahli dalam bidangnya masing-masing. Hal ini dilakukan untuk mengetahui dampak panjang apa saja yang akan terjadi, baik bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar saat pembangunan berlangsung.
Seorang khalifah sangat berhati-hati dalam mengemban tanggung jawabnya, salah satunya masalah pembangunan infrastruktur. Mereka tidak ingin pembangunan infrastruktur yang dilakukan justru membawa petaka dan merugikan rakyat. Prinsip kehati-hatian tersebut telah tercermin pada pemimpin-pemimpin pada masa kejayaan Islam silam. Salah satunya pada masa kepemimpinan Umar bin Al-Khatab. Beliau sangat mengkhawatirkan jika ada jalan yang berlubang akibat penanganan pembangunan yang tidak tepat hingga menyebabkan jalan berlubang atau rusak. Khalifah Umar berkata, "demi Allah jika ada seekor keledai jatuh terperosok dari negeri Irak aku khawatir keledai itu akan menuntut hisab aku di hari kiamat". Saat itu pembangunan jalan berada di Irak, sedangkan Khalifah Umar di Madinah. Sungguh khalifah/pemimpin pada masa Islam sangat memperhatikan rakyatnya, bahkan lingkungan di sekitarnya juga tak luput dari perhatiannya. Wallahu A'alam Bissawab