Oleh: Julia Ummu Adiva
Anak merupakan amanah yang Allah titipkan kepada kita sebagai orang tuanya.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini sesungguhnya hanya titipan, termasuk anak. Sebagaimana titipan, kelak ketika Allah mengambil nya maka pasti akan ada pertanggung jawaban yang semestinya orangtua menyadari akan hal ini. Sehingga dalam
mendidiknya harus dipenuhi hati yang ikhlas, menjadikan ridha Allah sebagai tujuan dalam tugas mendidik.
Sebagaimana titipan pada umumnya, artinya anak bukanlah milik kita seutuhnya. Maka sudah sepatutnya dan seharusnya kita sebagai orangtuanya memberikan yang terbaik apa yang ia butuhkan, merupakan kewajiban akan haknya. Dimulai dari mengandung, melahirkan, mengasuh, menjaga, merawatnya dan mendidik nya hingga ia besar dengan cara islam, karena sesungguhnya anak lahir dalam keadaan fitrahnya yakni islam, maka tentu Islam menjadi standar baku.
Didalam taklif syariah memang belum dibebankan kepada anak-anak sebelum ia dikatakan tamyiz, Ia hanya dibebankan kepada orang-orang yang telah dewasa atau baligh. Rasulullah saw, “Diangkat pena (taklif hukum) dari tiga golongan; orang tidur hingga bangun, anak-anak hingga baligh dan orang gila hingga sadar.” (HR. al-Baihaqi).
Hanya saja Islam memerintahkan kita untuk melatih anak-anak kita sejak dini. Dengan itu, kelak saat mereka baligh, mereka sudah paham dengan hukum-hukum Islam dan siap serta istiqamah dalam menjalankannya.
Ibnu Abbas berkata: Suatu hari aku membonceng Nabi saw. Beliau bersabda kepadaku, “Nak, sungguh aku akan mengajari kamu beberapa kalimat: Jagalah (syariah) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (syariah) Allah, niscaya engkau akan mendapatkan (pertolongan/perlindungan) Allah senantiasa di hadapanmu. Bila engkau meminta (sesuatu) maka mintalah kepada Allah. Bila engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi).
Betapa besar dan betapa dalam pendidikan yang diberikan oleh Rasulullah saw. kepada anak pamannya, Abdullah bin ‘Abbas, yang saat itu belum baligh.
Demikian halnya dengan cucu beliau, Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Ia dilahirkan pada tahun 3 hijriah (ketika Rasul saw. meninggal, ia berumur 7 tahun). Hasan bin Ali ra. mengambil sebiji kurma dari kurma shadaqah (zakat). Kemudian ia memasukkan kurma itu ke dalam mulutnya (hendak memakannya). Nabi saw. lalu bersabda kepada dia, “Kakh, kakh,” agar ia mencampakkannya. Lalu beliau bersabda kepada dia, “Tidakkah engkau sadar bahwa kita tidak (halal) memakan shadaqah?” (Muttafaqun ‘alaih).
Hadist ini menjadi dasar kuat bagi prinsip pendidikan anak, yaitu sejak dini diajarkan untuk tidak memakan harta haram, menjauhi segala makanan yang tidak boleh dimakan yang bukan haknya, juga menjauhi segala perbuatan yang tidak dibenarkan Islam.
Secara khusus yang berkenaan dengan shalat, Nabi saw. telah bersabda, “Perintahlah anak-anak kalian agar mendirikan shalat tatkala mereka telah berumur tujuh tahun dan pukullah (jika tak mau shalat) tatkala mereka telah berumur sepuluh tahun.”
Dari beberapa hadist ini, telah sangat jelas bahwa kita diperintahkan untuk mendidik anak sejak dini, terkait akidah ataupun syariah, termasuk adab, karena adab merupakan bagian dari hukum syariah.
Lalu apa upaya yang kita bisa lakukan untuk mewujudkan anak-anak yang taat syariah? tentu dengan mengikuti suri tauladan kita yang terbaik, Nabi Muhammad saw.
Pertama: Tanamkan akidah dan sifat-sifat Allah sejak dini. Menanamkan akidah yang kokoh adalah tugas utama orangtua. Orangtualah yang akan sangat mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama dalam diri anak. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. al-Bukhari).
Kedua: Tanamkan kecintaan kepada Rasulullah sejak dini. Menanamkan kecintaan kepada Rasulullah tentu dimulai dengan mengenalkan siapa Muhammad saw, bahwa Allah mengutus beliau sebagai panutan terbaik untuk umat Islam dalam menyampaikan syariah Allah.
Ketiga: Mengasah akal anak untuk berpikir yang benar.
Orangtua haruslah memberikan informasi yang benar, yang bersumber dari ajaran Islam, al-Qur'an dan as-Sunnah, yang pada akhirnya informasi ini dijadikan pijakan dalam menilai berbagai informasi yang ia dapatkan.
Keempat: Kenalkan syariah Islam, termasuk adab dan akhlak mulia. Anak harus dikenalkan dengan syariah Islam sejak dini, sebagaimana Hadist Rasulullah saw, “Perintahlah anak-anakmu agar mendirikan shalat tatkala mereka telah berumur tujuh tahun, dan pukullah karenanya tatkala mereka telah berumur sepuluh tahun.”
Demikian juga dengan hukum-hukum yang lain, seperti kewajiban memakai khimar dan jilbab (bagi Muslimah), larangan mencuri, berzina, riba, dan sebagainya.
Kelima: Memberikan teladan bagi anak. Bagaimanapun anak-anak membutuhkan qudwah dan teladan yang baik, bahkan hingga ia dewasa. Karena itu sudah seharusnya orangtua selalu memberi contoh yang baik kepada anak, agar tertanam dalam jiwa mereka, benih-benih kebaikan yang akan menghunjam dalam sanubari mereka, terbawa dalam setiap sikap dan perilaku mereka. Karena anak merupakan peniru ulung.
Keenam: Menanamkan sikap tanggung-jawab dan sebuah konsekuensi atas perbuatan yang dilakukan. Ketika anak sudah tamyiz, kita sudah bisa menumbuhkan kesadaran pada anak-anak kita bahwa segala perbuatan yang mereka kerjakan akan ada pertanggung-jawabannya.
Ketujuh: Senantiasa memanjatkan do'a tanpa henti untuk keluarga dan anak-anak.
Demikian yang orangtua bisa ikhtiar kan, agar kelak anak-anak yang Allah amanah kan bisa menjadi jalan menuju Syurga bagi kita para orangtuanya dengan memaksimalkan proses tersebut.
WalLahu a’lam bi ash-shawwab.
Tags
nafsiyah