Krisis Air di Tengah Melimpahnya Sumber Daya Air




Oleh : Wahyuni Mulya 
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)


Meski sudah di akhir tahun, musim kemarau tahun masih berlangsung. Kekeringan pun terjadi di berbagai daerah. Pemanfaatan air tanah pun menjadi tumpukan masyarakat namun tentu hal ini juga harus melalui berbagai pertimbangan yang matang. Menurut Doktor Bidang Geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, pengaturan pemanfaatan air tanah diperlukan agar tidak terjadi penurunan kualitas air tanah. Pemompaan secara berlebihan akan memicu dampak negatif terhadap kondisi dan lingkungan air tanah. Ia menganggap masyarakat harus memahami bahwa meskipun air tanah termasuk sumber daya alam yang terbarukan namun pemulihannya memerlukan waktu lama serta membutuhkan konservasi jika terjadi gangguan.Degradasi kondisi dan lingkungan air tanah karena aktivitas manusia dapat dihentikan jika ada intervensi manusia yang bersifat positif, salah satunya melalui rekayasa teknis penanggulangan dampak pengambilan air tanah yang bertujuan untuk merestorasi kondisi dan lingkungan air tanah.
Dalam beberapa tahun belakangan, banyak pakar sudah menyoroti betapa penting pengaturan pengambilan air tanah demi mencegah penurunan tanah dan menjaga ketersediaan air. Sejumlah warga mengaku kaget dengan aturan baru dari Kementerian ESDM karena muncul ketika kekeringan melanda sejumlah daerah.  Warga Bekasi, Bangun Parulian juga merasa kaget karena di masa kekeringan seperti sekarang namun justru ada aturan yang dirasa menyulitkan masyarakat.  
 
Bagaimana Pengawasan Kementerian ESDM?
 
Meski menyambut baik aturan ini, sejumlah warga mengaku masih belum mengetahui detail pengawasan Kementerian ESDM dan sanksi yang bakal dijatuhkan terhadap pelanggar. Kementrian ESDM mengakui bahwa hingga kini, memang belum ada detail aturan mengenai sistem pengawasan dan sanksi. Ia mengatakan aturan itu sedang digodok.Keputusan menteri itu nantinya juga bakal mengatur detail ketentuan pengawasan hingga sanksi untuk penggunaan air tanah oleh perusahaan.
 
Aturan untuk pengusahaan air tanah sebenarnya sudah ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 259 Tahun 2022 Tentang Standar Penyelenggaraan Izin Pengusahaan Air. Dipaparkan bahwa Kepmen itu juga belum memiliki aturan turunan. Ke depan aturan turunan itu akan digabung dengan Kepmen mengenai persetujuan pemakaian air tanah bukan untuk pengusahaan yang dikeluarkan September lalu.
 
Sungguh memprihatinkan melihat kondisi krisis air saat ini, padahal ketika kita lihat dan kita renungkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan sumber daya air kelima di dunia dengan potensi air hujan yang turun mencapai 7 triliun meter kubik. Itu pun kebanyakannya masih terbuang ke laut, yang dipakai hanya 20 persen untuk kebutuhan pertanian, kebutuhan domestik, dan industri. Dampaknya, banyak masyarakat yang tidak bisa merasakan air bersih. Dan akhirnya masyarakat harus membeli air bersih dengan harga yang mahal. Kemungkinan besar pada tahun 2025, Jakarta diperkirakan akan mengalami defisit air hingga mencapai 23.720 liter/ detik. 
 
Tata Kelola Liberal
 
Kondisi krisis air ini sungguh menyedihkan, padahal Indonesia memiliki kekayaan sumber daya air kelima di dunia dengan potensi air hujan yang turun mencapai 7 triliun meter kubik (pu[dot]go[dot]id, 5-6-2012). Sebagian besar masih terbuang ke laut, hanya 20% yang dikelola untuk pertanian, kebutuhan domestik, dan industri. Akibatnya banyak masyarakat yang tidak bisa menikmati air bersih. Rakyat harus membeli air dengan mahal. Bahkan, pada 2025, Jakarta diprediksi akan defisit air hingga mencapai 23.720 liter/detik. 
Penyebab krisis air ini adalah tata kelola yang liberal. Air diposisikan sebagai komoditas ekonomi sehingga boleh dikomersialkan. Tata kelola air diprivatisasi sehingga membolehkan perusahaan-perusahaan swasta menguasai sumber-sumber air. Korporasi-korporasi bermodal besar bisa membeli teknologi yang canggih sehingga bisa menyedot air tanah jauh ke dalam bumi.

Sementara itu, rakyat yang tinggal di sekitar sumber air justru kesulitan mendapatkan air karena kedalaman sumur mereka tidak sebanding dengan milik perusahaan air. Dahulunya mereka bisa memperoleh air tanpa harus mengebor karena langsung mengambil dari air permukaan. Kini, mereka kesulitan mendapatkan air meski sudah mengebor.
 
Di sisi lain, negara juga membiarkan deforestasi terjadi masif hingga merusak sumber air. Perusahaan-perusahaan pemilik HPH leluasa menggunduli hutan hingga merusak ekosistem, padahal ketersediaan air tergantung pada terjaganya ekosistem tersebut. Adapun di perkotaan, tata kelola limbah yang buruk mengakibatkan limbah dibuang begitu saja ke sungai dan saluran air sehingga air tercemar dan tidak layak digunakan meski sekadar untuk mencuci. Akhirnya, masyarakat tergantung pada perusahaan-perusahaan penyedia air. Air yang sejatinya milik umum, kini menjadi komoditas yang diperjualbelikan untuk memperoleh cuan. Kapitalisasi air inilah yang menjadi pangkal krisis air bersih di Indonesia yang kaya air.
 
Data BPS 2021 menunjukkan masih ada 83.843 desa belum mendapatkan layanan air minum bersih, bahkan 47.915 desa/kelurahan di antaranya belum memiliki akses air minum bersih. (Harian Jogja, 29-8-2022). Eksploitasi SDA juga berjalan masif disertai kerusakan lingkungan dan berdampak pada penurunan ketersediaan air. Diperkirakan, pada 2035, ketersediaan air per kapita per tahun di Indonesia hanya akan tersisa 181.498 meter kubik yang berkurang jauh dibanding 2010 yang berada pada 265.420 meter kubik. (indonesiabaik[dot]id). Akibat ke depannya bisa diduga akan menambah jumlah penduduk yang kesulitan mengaksesnya.
 
Begitu pula kelalaian negara dalam menjaga keamanan air yang dikonsumsi masyarakat. Nyata terlihat negara membiarkan pencemaran dan praktik-praktik perusakan sumber air, baik karena kurangnya pengetahuan dan kesadaran maupun karena kesengajaan.  
 
Kapitalisme Pangkal Masalah

Pangkal semua persoalan ini adalah kegagalan ideologi kapitalisme liberal dalam mewujudkan sistem kehidupan masyarakat yang bersih dan sehat akibat tata kelola yang rusak. Ideologi kapitalisme liberal yang berasaskan sekularisme dan menyanjung nilai-nilai kebebasan telah melahirkan manusia egois, abai pada lingkungan sekitar dan bebas melakukan apa saja yang diinginkannya. 
 
Pada praktiknya, ideologi ini melahirkan sistem ekonomi liberalistik yang mengizinkan praktik privatisasi/kapitalisasi aset milik publik, termasuk air dan SDA yang berlimpah. Dalam aspek politik, lahir sistem politik demokrasi yang meminimalkan peran negara, yaitu sebagai regulator atau fasilitator. Negara dicukupkan sebatas penyusun aturan atau UU, tetapi dilarang untuk terjun langsung mengurusi kebutuhan rakyat. Sebaliknya, fungsi operasional dari pengurusan rakyat diserahkan kepada perusahaan atau korporasi, baik swasta maupun BUMN.
 
Dengan paradigma dan konsep pengelolaan seperti ini, lahirlah komersialisasi air bersih dan minum. Rakyat harus membayar untuk bisa mendapatkan layanan air bersih, layak, dan aman. Masyarakat yang tidak mampu, dibiarkan untuk “menikmati” kehidupan dalam kondisi yang tidak layak walaupun mengancam kesehatan. Dampak lainnya, perilaku perusakan lingkungan sangat sulit diatasi tersebab berlandaskan kebebasan tadi. 
 
Islam Menyelesaikan Persoalan

Air dalam Islam diposisikan  sebagai kebutuhan publik hingga menjadi milik umum. Konsekuensinya, pihak swasta tidak boleh menguasai sumber air sampai tingkat menyusahkan rakyat untuk mendapatkan air bersih. Seseorang dilarang untuk mengunakan alat pengeboran yang membuat sumur-sumur warga yang ada di dekatnya mati. Sesuai dengan hadits Rasulullah, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad).
 
Sistem Islam mampu mengatasi krisis air yang terjadi sekarang. Sistem Islam akan menggunakan perspektif dalam memposisikan air, bukan perspektif pemilik modal. Dalam Islam, tidak boleh ada kapitalisasi air untuk meraup keuntungan. Karena benefit dari sumber daya air di alam semata-mata hanya diperuntukkan bagi umat.

Pengelolaan dan penyediaan air bersih dan air minum yang berkualitas akan dilakukan oleh negara untuk rakyat secara gratis. Selain itu, negara juga akan membuat bendungan, embung (penampungan air) dan juga danau dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan rakyat. Untuk yang sudah ada, tentu negara akan merevitalisasi dan mengoptimalkannya.
 
Selain itu, negara akan menjaga ekosistem dengan melakukan tata kelola hutan dengan baik. Adapun hutan yang terkategori kepemilikan umum tidak boleh diberikan pengelolaannya pada swasta untuk mencegah masifnya laju penebangan. Dan negara juga akan melakukan penghijauan sehingga dapat mengembalikan ekosistem yang rusak dengan tujuan sumber air yang mati bisa hidup kembali. Negara juga bertanggungjwab untuk melakukan berbagai kebijakan untuk mitigasi ataupun mengatasi kesulitan air. Mulai dari membiayai riset-risetnya, pengembangan teknologi, hingga pengimplementasiannya untuk mengatasi masalah. 

Tanggung jawab ini harus dijalankan langsung oleh pemerintah, tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, apalagi korporasi. 
Adapun di daerah industri, negara akan tegas mengatur masalah limbah sehingga tidak mencemari lingkungan. Limbah diolah terlebih dahulu hingga level aman untuk dibuang dan tidak mengotori air. Perusahaan yang melanggar akan diberi sanksi tegas. Untuk daerah pesisir yang airnya cenderung asin, negara bisa menyediakan teknologi penyulingan air sehingga bisa menghasilkan air tawar yang layak dikonsumsi.
 
Untuk itu, pemerintahlah yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan dasar rakyat dan menyelesaikan seluruh kesulitan yang dihadapinya. Negaralah yang berperan sentral untuk mengelola sumber daya air dan SDA sehingga terwujud pemerataan pemenuhan pada seluruh rakyat. Dengan penerapan sistem kehidupan Islam kaffah, pengelolaan sumber daya air dan lingkungan akan memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa menimbulkan efek kerusakan yang lebih besar. 

Lebih dari itu, sistem Islam juga akan mewujudkan kehidupan yang bersih dan sehat sehingga kualitas hidup seluruh rakyat pun juga meningkat. Wallahualam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak