Oleh: Hamnah B. Lin
Dilansir oleh CNBC Indonesia tanggal 01/10/2023 bahwa Presiden Joko Widodo berujar dampak perubahan iklim saat ini semakin nyata. Dampak itu dapat dirasakan seantero bumi, termasuk Indonesia.
"Hati-hati, hati-hati, ancaman perubahan iklim sudah nyata dan sudah kita rasakan, dirasakan semua negara di dunia," kata Jokowi dalam Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan dan Energi Baru Terbarukan (LIKE) di Gelora Bung Karno, Jakarta, beberapa waktu lalu dikutip pada Minggu (1/10/2023).
Jokowi mengatakan perubahan Iklim menyebabkan suhu bumi semakin panas. Akibatnya, kekeringan terjadi di mana-mana. "Suhu bumi semakin panas cuaca juga semakin panas kekeringan ada di mana-mana bukan hanya di Indonesia saja," ujar dia.
Kekeringan itu, kata Jokowi, telah memicu berbagai krisis, salah satunya pangan. Banyak negara, kata dia, kini kesulitan memperoleh makanan yang berasal dari produksi dalam negeri ataupun impor. Beberapa komoditas yang disebut Jokowi mengalami kelangkaan diantaranya gandum dan beras.
Pengamat kebijakan publik Dr. Erwin Permana menilai krisis pangan yang terjadi di dunia menunjukkan kegagalan kapitalisme global. Menurutnya, krisis pangan dunia, bukan karena kurangnya persediaan makanan tetapi karena buruknya distribusi makanan. Ia memaparkan data bahwa produk sereal di seluruh penjuru dunia dibanding jumlah populasi manusia selalu lebih besar. “Lahan tidak bertambah besar, tetapi manusia punya kemampuan berkreasi, memiliki kemampuan memproduksi dari satu menjadi sepuluh, sehingga dengan lahan yang sama manusia bisa memproduksi pangan jauh lebih besar,” terangnya.
Meski demikian, Erwin memaparkan data yang mencengangkan, yakni jumlah makanan yang terbuang sekitar 1,3 miliar ton per tahun dengan nilai sekitar US$ 1 triliun.
Sebagai penanggung jawab atas seluruh rakyat, seharusnya negara punya penyelesaian terhadap masalah krisis pangan. Bukan secara parsial, melainkan harus menyeluruh. Kalau dilihat, saat ini impor dianggap sebagai penyelesaian atas krisis pangan. Alhasil, negara terus menyandarkan kebutuhan pangannya dari impor, padahal impor terus-terusan justru memperlihatkan kelemahan negara dalam mencukupi kebutuhan rakyat. Juga menunjukkan kalau kebijakan politik pertanian yang ada tidak mendukung kebutuhan rakyat, tetapi justru mendukung para konglomerat.
Saat ini, hanya ada satu negara (Kamboja) yang mau mengekspor beras, sedangkan 19 negara pengekspor lainnya sudah membatasi diri. Meskipun saat ini Indonesia memiliki 2 juta ton stok beras dan 400 ribu ton masih perjalanan, jumlah ini dinilai masih kurang untuk menghadapi krisis pangan mendatang. Akhirnya, impor beras sebanyak 250 ribu ton pun akan dilakukan. (Tempo, 15-9-2023).
Sungguh, selama kebijakan yang diambil berlandaskan materi (keuntungan) sebagaimana pandangan kapitalisme, negara tidak akan mampu menyelesaikan masalah secara tuntas. Butuh negara yang memiliki visi misi jelas dalam menyelesaikan krisis dengan tidak menimbulkan masalah baru. Negara seperti ini hanya ada pada negara yang berlandaskan Islam, bukan kapitalisme.
Dalam negara Islam, tujuan kebijakan yang diambil semata untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini negara wajib menjamin ketersediaan pangan melalui program Intensifikasi (pemberian modal bantuan berupa bibit unggul, pupuk, dan alat pertanian) dan ekstensifikasi (pemberian lahan, perluasan lahan, dan sebagainya).
Negara juga akan mengembangkan iklim yang kondusif bagi kegiatan penelitian dan pengembangan. Sains dan teknologi di antaranya. Khususnya di bidang pertanian. Sektor pasca panen dan perdagangan hasil produksi tidak kalah pentingnya. Antara lain dalam hal mengantisipasi harga di pasar, Islam mewajibkan negara melakukannya dengan cara :
Pertama, menjaga stok dan permintaan dan jasa tetap seimbang.
Kedua, menyuplai barang dan jasa jika terjadi permintaan yang tinggi.
Ketiga, jika terjadi permintaan yang tinggi karena penimbunan dan penipuan jenis lainnya maka pemerintah akan memberikan sanksi kepada pelaku diantaranya menjual kembali barang penimbunan tersebut dan tidak memperpanjang akad kerjasama dengan pelaku.
Keempat, jika kenaikan harga terjadi karena inflasi (jumlah mata uang bertambah karena daya beli masyarakat rendah), maka pemerintah dapat menjaga mata uangnya dengan standar emas dan perak (dirham dan dinar) yang nilainya tetap.
Perlu diingat bahwa kenaikan harga terjadi karena stok terbatas dan permintaan meningkat. Maka keseimbangan antara stok dan permintaan haruslah terjaga.
Selain itu Islam juga mengharamkan untuk mematok harga. Sebaliknya harga dibiarkan mengikuti mekanisme pasar karena pematokan harga akan menyebabkan terjadinya inflasi. Konsekuensinya saat stok berkurang, pemerintah akan berupaya agar stok kembali normal.
Langkah ini bisa terwujud hanya dalam negara yang menerapkan Islam sebagai sistem negaranya, sistem yang berasal dari Allah SWT. Dengannya pangan akan tercukupi bahkan melimpah untuk kesejahteraan rakyat.
Wallahu a'lam.