Oleh: Yullianti Rahmi (Aktivis Dakwah)
Jokowi mendorong seluruh negara menciptakan stabilitas dan menghentikan perang.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan, saat ini dunia membutuhkan rumah yang aman. Indonesia terus mendorong ASEAN untuk menjadi jangkar stabilitas kawasan di Indo-Pasifik.
Hal ini disampaikan Jokowi saat mengikuti sesi kedua Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 India yang mengangkat tema 'One Family' di Bharat Mandapam, IECC, Pragati Maidan, New Delhi, India, pada Sabtu (9/9/2023) seperti dilansir di laman republika.com.
“Sebagai Ketua ASEAN, Indonesia terus mendorong ASEAN untuk jadi jangkar stabilitas kawasan yang miliki habit of dialogue dan habit of cooperation di Indo-Pasifik karena dunia butuh penetral, butuh safe house,” tutur Jokowi, dikutip dari siaran pers Istana, Ahad (10/9/2023).
"Falsafah ‘Satu Keluarga’ ini semestinya bukan semata jargon. Melainkan sebuah pola pikir untuk menentukan arah pembangunan dunia. Kita semua harus bertanggung jawab dan pastikan seluruh masyarakat dunia tanpa terkecuali hidup dalam damai, stabil, dan sejahtera," kata
Presiden Jokowi melalui keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (10/9/2023).
Ia menyerukan untuk menghentikan perang dan mengakhiri permusuhan dengan berpegang teguh pada hukum internasional dan semangat kerja sama dan multilateralisme yang inklusif. Sebagai forum premier kerja sama ekonomi, G20 diarahkan untuk menjadikan solidaritas sebagai ruh kerja sama antar anggota.
"Dengan kondisi global yang semakin terpolarisasi, G20 harus bergerak untuk mengakhiri dikotomi utara-selatan, maju-berkembang, maupun timur-barat. Pintu dialog dan kerja sama harus terbuka bagi seluruh negara,” ungkap Jokowi
Pada sesi kedua tersebut, Presiden Jokowi juga menyambut bergabungnya Uni Afrika dalam G20. Indonesia terus mendorong representasi kawasan yang lebih luas
untuk tata kelola global.
Menurutnya, G20 harus mendukung penguatan partisipasi negara berkembang dalam rantai pasok global. Ekosistem kerja sama yang setara, inklusif, dan adil perlu diwujudkan untuk pemenuhan hak pembangunan bagi semua.
Akan tetapi, bisakah semua ungkapan di atas terwujud bagi masyarakat Indonesia yang mana kita sedang berada dalam cengkraman kapitalisme sekuler, “damai” itu siapa yang bisa menikmatinya? ”stabil” itu siapa yang bisa memilikinya? “sejahtera” itu siapa yang bisa merasakannya? Kalau tidak orang yang memegang uang (modal), tidak mungkin semua itu dirasakan apalagi rakyat kecil yang tidak punya apa-apa untuk dijadikan jaminan memperoleh ketiganya, bahkan akan tambah sengsara dan menderita.
Di ungkapkan juga bahwa presiden menyuarakan agar menghentikan perang dan mengakhiri permusuhan, akan tetapi ungkapan beliau itu berbanding terbalik dengan realita yang ada, bahkan ketika saudara-saudara kita meminta dengan sangat untuk bantuan yang mana mereka sudah sangat terintimidasi baik dari segi politik bahkan nyawa mereka terancam, apakah ada tindakan dari kita untuk membantu saudara kita yang terkena perang tersebut, jawabannya tidak!
Bahkan ungkapan yang diterima dan itu juga menjalar ke khalayak masyarakat “yang penting negara kita tidak ikut perang, kita disini masih bisa makan, kenapa harus pusing memikirkan negara lain?”, miris bukan pemikiran yang demikian. Semua itu terjadi tidak lain bahwa kita hidup dalam kondisi tidak ingin repot memikirkan orang lain buah dari kapitalis itu sendiri yang mana tidak ada uang untuk apa bersusah-susah, jika ada uang barulah bertindak, itu pun tidak maksimal.
Kalau kita menilik lebih lagi, tidak ada rasa aman yang bisa dirasakan saat ini, mungkin sebagian orang bisa mengatakan diri dan keluarganya sudah aman karena punya rumah, pekerjaan, harta yang cukup, tapi apakah sudah benar-benar merasa aman, karena disebalik itu mereka harus bekerja lebih giat lagi untuk membayar berbagai tagihan, baik itu berupa pajak atau asuransi yang dibebankan pada individu/rakyat. Mereka tetap diperas tenaga dan hartanya oleh pemerintah padahal rakyat tersebut mendapatkan hartanya dengan susah payah.
Bagaimana lagi dengan rakyat yang miskin, bisakah merasa aman? Yang kaya saja tidak “aman”. Pertukaran apa yang bisa mereka jadikan supaya mereka bisa aman? Bahkan untuk bertahan hidup sehari-hari saja mereka kepayahan, dan seharusnya usaha dari pemerintah kita untuk memberi rasa aman itu untuk rakyat kecil ini tadi. Apakah ada pada saat ini? Jawabannya pasti kita tahu, jadi tidak ada pada saat ini yang bisa merasakan aman yang sebenarnya.
Berbeda dengan adanya negara yang betul-betul memberi rasa aman oleh pemimpin kepada rakyatnya atas dasar rasa takut kepada Allah, yang merasa bahwa ia diawasi. Ia akan dimintai pertanggung jawaban kelak di yaumil mahsyar. Ia yang memimpin atas akidah yang benar yaitu seorang yang disebut Khalifah.
Sejarah telah membuktikan bahwa ketika negara Islam itu ada, semua rakyat merasa aman baik dari segi jiwa, raga, dan harta. Mereka benar-benar dijaga bahkan ketika tidak punya harta diberi harta, tidak punya pekerjaan diberi pekerjaan, bahkan hal terkecil jika seorang laki-laki yang sudah patut beristri akan tetapi tidak ada calon perempuannya maka dicarikan calon tersebut, jiwa mereka terancam lansung ditangani oleh negara, wanita dilecehkan langsung turun pasukan untuk memberi rasa aman.
Bisa kita baca sejarahnya ketika islam dipimpin oleh Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Mu'tasim, Harun Arrasyid, Muhammad al-Fatih, dan banyak lagi yang lainnya itu semua ada saat Khilafah ada di tengah-tengah umat. Yang mana mereka memberi rasa aman untuk rakyatnya karena dorongan keimanan bukan karena ada timbal balik berupa harta atau tahta.
Rasa aman yang digaungkan oleh
Presiden kita tidak akan pernah terwujud kecuali sistem yang di emban kembali pada sistem islam yaitu Khilafah. Kalau sistem yang masih diemban itu masih kapitalis sekuler maka yakinlah tidak akan hadir rasa aman di tengah-tengah umat bahkan yang ada umat akan makin sengsara dan menderita. Wallahu a’lam.