Oleh Asma Sulistiawati
(Pegiat Literasi)
Kasus perundungan (bullying) pada anak usia sekolah masih menjadi masalah serius di Indonesia. Kasus bullying di Cilacap, Jawa Tengah, yang telah menarik perhatian nasional, hanyalah salah satu contoh dari masalah ini yang mencuat ke permukaan publik.
Dilansir dari Republika (21/10/2023 ), menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas siswa yang mengalami perundungan, atau yang sering disebut sebagai bullying, di Indonesia adalah laki-laki. Persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 5 SD pada siswa laki-laki mencapai 31,6 persen, sementara siswa perempuan mencapai 21,64 persen dan secara nasional sebesar 26,8 persen.
Persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 8 SMP pada siswa laki-laki mencapai 32,22 persen, yang merupakan angka tertinggi di antara semua kategori kelas dan jenis kelamin. Sementara siswa perempuan mencapai 19,97 persen, dan secara nasional mencapai 26,32 persen.
Bullying masih saja terus terjadi, padahal sudah ada banyak aturan yang ditetapkan negara. Inilah yang menimbulkan tanda tanya, kira-kira apa yang menjadi penyebab bullying terus terjadi? Apakah kampanye anti bullying tidak cukup untuk menuntaskan masalah ini?
Pakar Psikolog dari RS Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro, mengatakan bullying kerap terjadi karena sifat anak-anak yang cenderung ingin eksis dan diakui oleh lingkungan sosialnya. Selain itu, perkembangan teknologi juga memengaruhi pola pikir dan pengambilan tindakan oleh para remaja.
Lantas yang menjadi acuan pemuda saat ini tentu peran media yang sangat berperan besar dan pengoperasiannya. Tentu ini tak lepas dari peran negara, namun lagi-lagi upaya ini terkadang lepas dari pandangan penguasa. Bahwa, dampak bagi generasi apalagi dominasi media yang tidak terfilter menjadikan pemuda saat ini menjadi brutal. Dari segi sikap ataupun ucapan yang sulit terkontrol.
Terus bertambahnya korban bullying menunjukkan bahwa penguasa dalam sistem kapitalis ini belum memiliki solusi yang pasti untuk mengatasi masalah bullying. Mengapa demikian? Pertama adalah karena sistem pendidikan yang kita pakai masih sekuler, kedua adalah media, tontonan yang cenderung sekuler yang bebas di tonton anak-anak; ketiga adalah tidak adanya ketaqwaan individu, masyarakat dan negara.
Lain halnya dengan sistem Islam, yang memiliki solusi sempurna untuk mengatasi masalah perundungan. Islam memandang bahwa menjaga generasi bukan hanya tugas orang tua maupun guru akan tetapi butuh peran negara dan masyarakat. Negara memiliki andil yang sangat besar dalam menyaring tontonan di media, negara juga memiliki tanggungjawab untuk melindungi generasi dari segala ancaman yang hendak terjadi.
Begitupun dengan masyarakat, juga memiliki andil yang besar untuk menasehati, mengajak pada kebaikan dan mencegah pada tindakan yang buruk. Pun dengan peran orang tua sangatlah penting dalam membentuk generasi yang baik. Hal ini tentu tak lepas dari penerapan Islam secara sempurna yang akan melahirkan individu yang bertakwa serta mencetak generasi yang memiliki visi hidup yang jelas yang akan menjadi tonggak bagi peradaban bangsa.
Wallahu a'lam bishawab