Oleh : Wahyuni Mulya
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Perbincangan media sosial hingga saat ini masih ramai membahas konflik Palestina-Israel yang menyebabkan tragedi kemanusiaan di Gaza. Serangan entitas Yahudi terhadap Palestina makin membabi buta. Hingga Selasa (14-11-2023), warga Palestina yang syahid mencapai 11.180 orang, termasuk di dalamnya 4.609 anak-anak dan 3.100 wanita. Bahkan belakangan ramai seruan boikot produk terafiliasi Israel di media sosial. Gerakan boikot produk Israel ini juga menggema berujung pada ajakan untuk menggantinya dengan menggunakan produk dalam negeri. Akademisi dan peneliti ekonomi dari FEB Universitas Indonesia (UI) Yusuf Wibisono mengatakan, boikot produk Israel terbenarkan karena lebih tujuh dekade Israel secara konsisten menunjukkan kejahatan dan kebijakan apartheidnya atas Palestina.
MUI mengeluarkan fatwa bernomor 83 Tahun 2023 yang menyatakan mendukung agresi Israel ke Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung haram. "Mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram," bunyi poin 4 dokumen fatwa MUI, dikutip Jumat (10/11).
Fatwa ini di keluarkan lantaran ada pihak yang berusaha memberikan empati dan dukungan pada Israel, baik langsung maupun tidak langsung, termasuk upaya sebagian pihak yang mendeskreditkan pihak yang memberikan dukungan kemerdekaan Palestina.Sebagian besar konsumen Muslim melakukan boikot sebagai wujud kontribusi karena tidak bisa membantu secara langsung melawan kekejaman Israel. Sehingga aksi boikot menjadi pengganti senjata untuk memberikan dukungan koneksi emosional.
Partisipasi konsumen dalam gerakan boikot ditentukan dua hal utama. Pertama adalah persepsi publik akan probabilitas keberhasilan boikot. Kedua adalah biaya yang konsumen tanggung akibat boikot. Namun, mekanisme boikot adalah dilema yang dialami negara atau perusahaan terkait penurunan kinerja ekonomi dan finansial akibat boikot.
Tidak Berdampak Signifikan
Pengamat politik dari Geopolitical Institute Adi Victoria mengapresiasi seruan boikot ini sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajahan Yahudi. Namun demikian, menurutnya, boikot ini tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian Zionis Yahudi. “Boikot terhadap produk Yahudi tidak akan berdampak secara signifikan terhadap perekonomiannya karena perekonomian Yahudi didukung oleh negara-negara Barat, oleh Amerika, oleh dunia, oleh Eropa,” tuturnya di Kabar Petang: “Boikot Produk Israel Bikin Jerusalem Bangkrut?” melalui kanal Khilafah News, Senin (23-10-2023).
Ia mencontohkan, banyak sekali produk-produk Yahudi dikonsumsi oleh penduduk dunia termasuk di negeri-negeri muslim. “Tidak perlu jauh-jauh, Google yang ada di handphone kita, Facebook, Dunkin’ Donuts, itu dikonsumsi dunia,” ujarnya. Alasan lain, ucapnya, dari sisi perdagangan, ekonomi zionis Yahudi lebih banyak bergantung kepada negara-negara nonmuslim.
Rakyat Geram, Pemerintah Tetap Bungkam
Gerakan boikot produk pro Yahudi menunjukkan adanya semangat perjuangan pada diri umat Islam. Meski jauh di mata, sejatinya Palestina dekat di hati umat. Umat tengah mengamalkan perintah Allah dalam QS Al-Hujurat: 10, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” Semua itu memang ranah yang bisa dilakukan oleh umat Islam yang berisi individu-individu sipil tanpa kekuasaan maupun kekuatan. Apalagi umat melihat bahwa penguasa di negeri mereka tidak melakukan pembelaan yang nyata terhadap umat Islam di Palestina. Gerakan akar rumput ini demikian masif hingga memengaruhi ormas yang ada di tengah masyarakat untuk menyerukan boikot secara massal.
Sebenarnya, gerakan boikot akan efektif jika dilakukan secara total oleh negara. Pemerintah Indonesia bisa melarang produk-produk pro Yahudi untuk beredar di Indonesia, juga memutus hubungan dagang dengan entitas Yahudi tersebut dan negara-negara pendukungnya, seperti Amerika Serikat.
Tidak hanya itu, Indonesia bisa memutus hubungan diplomatik dengan semua negara yang mendukung Yahudi.
Inilah bentuk boikot yang konkret. Sayangnya, pemerintah seolah telah mati hati. Memang para pejabat tampak hadir pada aksi bela Palestina, tetapi mereka tidak menggunakan kekuasaannya untuk membela Palestina. Pembelaan mereka berhenti pada memberikan doa dan donasi, tindakan yang hanya menunjukkan kapasitas rakyat, bukan pejabat.
Bungkamnya para penguasa muslim ini terjadi karena mereka telah terjajah oleh nasionalisme. Ide ini diembuskan oleh penjajah barat ke dunia Islam untuk mengerat wilayah Khilafah Utsmaniyah menjadi lebih dari 50 negara bangsa pada awal abad ke-20. Nasionalisme juga yang kini membelenggu negeri-negeri muslim sehingga tidak acuh pada penderitaan umat Islam di negeri yang lainnya, seperti penderitaan muslim Palestina, Uighur, Rohingya, dan sebagainya.
Akibat nasionalisme pula, umat Islam centang perenang laksana buih di lautan. Umat Islam juga menjadi santapan Barat tanpa ada pelindung. Kondisi ini tidak pernah terjadi ketika umat Islam masih bersatu di bawah institusi negara yang menerapkan aturan Islam. Sekaligus merupakan satu-satunya institusi yang akan menggelorakan jihad membebaskan Palestina.
Tags
Opini