BASMI KORUPSI? ILUSI DI NEGERI DEMOKRASI



 
 
Oleh ; Ummu Aqeela
 
Mimpi menggenjot budaya antikorupsi di masyarakat dan birokrasi pemerintah terbukti masih perlu upaya ekstra. Berdasarkan rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023, mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022, menjadi sebesar 3,92. Tahun lalu, nilai IPAK yang dirilis BPS mencatat angka 3,93. IPAK merupakan indeks yang mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan skala 0-5 pada level nasional. Semakin tinggi nilai IPAK atau mendekati 5, maka semakin tinggi budaya antikorupsi. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK, maka semakin menunjukkan budaya permisif korupsi di masyarakat.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman menilai, hasil IPAK 2023 menunjukkan secara keseluruhan perilaku antikorupsi di Indonesia mengalami penurunan. Artinya, kata dia, upaya untuk mewujudkan Indonesia yang semakin bersih dari korupsi belum menunjukkan hasil. “Jadi kalo dilihat dari penyusunnya, ada dua yaitu indeks pengalaman dan indeks persepsi. Persepsi berbasis pemahaman masyarakat, jadi masyarakat sebetulnya sudah antikorupsi ditunjukan dengan naiknya indeks persepsi tetapi di sisi lain, pelayanan publiknya semakin korup,” kata Zaenur dihubungi reporter Tirto, Selasa (7/11/2023).

Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini masih sekadar ilusi. Pembentukan KPK nyatanya tak mampu menghentikan laju korupsi. Meskipun masih menjadi dugaan tetapi kasus ini sudah mencederai nama baik lembaga anti korupsi di tanah air ini. Korupsi di tengah sistem demokrasi kapitalis ini menjadi sebuah keniscayaan yang akan terus kembali terjadi. Karena sedari awal sistem ini memberikan ruang yang terbuka untuk aparaturnya melakukan tindak korupsi. Karena pada dasarnya sistem kapitalisme adalah sistem yang menjunjung tinggi kebebasan individu terlepas dari melanggar aturan maupun norma-norma yang berlaku.
 
Fakta demokrasi yang menjadi sarang tikus berdasi harusnya membuat kita merasa muak dan meninggalkan sistem ini. Nyatanya, demokrasi terus saja dipakai. Perkawinan antara demokrasi dan kapitalisme menghasilkan individu kapitalistik. Sistem sekuler yang menopang keduanya tidak membentuk pemimpin dan pejabat bertakwa. Justru melahirkan pemimpin khianat dan zalim. Korupsi menjadi satu bukti betapa rusaknya sistem pemerintahan demokrasi.
 
Tidak seperti demokrasi yang cacat di segala sisi, sistem pemerintahan Islam terbingkai dalam daulah khilafah memiliki cara ampuh menangkal dan membasmi korupsi. Khilafah menyiapkan langkah pencegahan dan penindakan bila ada pejabatnya yang terindikasi melakukan korupsi. Di antara pencegahan tersebut, khilafah akan memberlakukan:
 
Pertama, pendidikan keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu muslim. Khilafah memiliki kewajiban mendidik rakyatnya agar memiliki rasa takut kepada Allah dan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi Allah). Sistem pendidikan berbasis akidah Islam akan menghasilkan manusia bersyaksiyah Islam. Didorong lingkungan keluarga yang memahami syariat, terciptalah kerharmonisan visi mendidik generasi.
 
Kedua, pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka, dengan demikian akan memininalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan.
 
Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak mempunyai rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).” (HR Abu Dawud)

Ketiga, larangan menerima suap dan hadiah. Para pejabat dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima. Rasulullah bersabda, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad)

Keempat, penghitungan kekayaan. Hal ini pernah berlaku di masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat di awal dan di akhir masa jabatan. Jika ditemukan gelembung harta yang tidak wajar, maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa kekayaan yang diterimanya didapatkan dengan cara halal. Cara ini efektif untuk mencegah korupsi.
 
Jika pejabat negara masih saja melakukan korupsi, maka penindakan hukum Islam akan diberlakukan. Yaitu, hukuman setimpal yang akan memberi efek jera bagi pelakunya sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi masyarakat.
Pelaku korupsi dikenai hukuman ta’zir. Bisa berupa tasyhir atau pewartaan (dulu dengan diarak keliling kota, sekarang mungkin bisa ditayangkan di televisi seperti yang pernah dilakukan), hukuman cambuk, penyitaan harta, pengasingan, hukuman kurungan, bahkan sampai hukuman mati.
Keadilan ditegakkan secara tegas tanpa pandang bulu. Karena hukum yang diterapkan adalah syariat Islam. Bukan hukum demokrasi buatan manusia yang lemah dan sarat kepentingan.
 
Itulah cara ampuh negara khilafah memberantas korupsi. Masih percaya demokrasi yang menjadi sarang korupsi? atau mencoba cara islam dalam membasmi korupsi sampai akarnya? Ganti dulu sistem demokrasi dengan sistem Islam kaffah. Maka harapan kita sebagai kaum muslim hanya pada sistem islam yang menerapkan hukum Allah Swt. Sebagai hukum yang terbaik dan dapat melahirkan pemimpin yang amanah.

Wallahua’lam bishshawab.
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak