Bantuan Bansos Berkurang Rakyat Makin Meradang




Oleh: Tri S, S.Si

Pemerintah mengurangi 690 ribu keluarga penerima bantuan sosial (bansos) beras 10 kg per bulan dari 21,35 juta ke 20,66 juta. Jumlah tersebut dikurangi berdasarkan hasil evaluasi Badan Pangan Nasional (Bapanas) bersama pihak-pihak terkait. Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas Rachmi Widiriani mengatakan koreksi data penerima berdasarkan validasi dari Kementerian Sosial. Ia menyebut ada beberapa penerima manfaat sebelumnya yang kini sudah meninggal dunia, pindah lokasi, maupun dianggap sudah mampu (CNN Indonesia, 30/10/2023).


Alasan-alasan ini sepatutnya dipertanyakan. Kalaupun pindah, tentunya masih dalam wilayah Indonesia. Dan kondisinya pasti tetap sama. Sementara jika menjadi mampu, rasanya kecil kemungkinannya, apalagi dalam masa ekonomi melambat paska Covid, juga mahalnya bahan pangan yang semakin mempersulit kehidupan saat ini. Penyaluran bansos sejak lama sudah banyak masalah, mulai dari tidak tepat sasaran, adanya penyunatan dana bantuan bahkan korupsi dan lain-lain. Dugaan manipulasi data juga tidak bisa dihindarkan. Hal ini membuktikan abainya pemerintahan saat ini dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.


Hal ini disebabkan karena diterapkannya sistem demokrasi kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Aturan Penciptanya, Allah SWT, untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, diabaikan. Kekuasaan hanya untuk mendapatkan keuntungan, bukan untuk mengurusi urusan-urusan rakyatnya. Kebijakan yang lahir berpihak kepada para pengusaha dan pemilik modal saja, rakyat tidak diperhatikan.


Berbeda dengan sistem Islam. Islam mewajibkan negara peduli nasib rakyat bahkan menjamin kebutuhan pokok rakyat individu per individu dengan berbagai mekanismenya. Negara juga diwajibkan menjamin kualitas terbaik dan kuantitas memadai. Jaminan negara berlaku untuk seluruh warga negara Khilafah tanpa kecuali. Karena pangan merupakan kebutuhan pokok masyarakat.


Manusia sangat membutuhkannya. Oleh karenanya, negara wajib menyediakannya bagi rakyat sebagai bagian dari tugasnya meriayah (mengurusi) rakyat. Menyediakan lapangan pekerjaan bagi para laki-laki untuk mencari nafkah untuk kebutuhan keluarganya. Negara tidak akan membiarkan rakyatnya sampai kelaparan. Ada kontroling yang ditugaskan negara yaitu muawin at-Tafwidh bahkan Khalifah langsung turun tangan dari pengontrolan kepada seluruh warganya.


Ini semua tidak akan terjadi dalam sistem hari ini pengurusan kepada rakyat secara maksimal. Bahkan bansos hanya parsial tidak merata diberikan kepada warganya. Banyak kecemburuan sosial ditengah-tengah masyarakat. Akibat bansos yang tidak tepat sasaran dan penyalahgunaan data. Maka sudah semestinya mengganti sistem kapitalisme sekuler saat ini yang cacat dan tidak amanah dalam melayani rakyat.


Setiap individu rakyat pasti menginginkan pengelolaan ekonomi oleh negara yang berkeadilan dan mensejahterakan. Hal tersebut tak akan pernah didapatkan apabila negara menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Karena sudah dari akarnya, kapitalisme menumbuhkan bibit kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi sistemik.


Sunatullah adanya perbedaan kemampuan fisik dan akal level individu dalam akses ekonomi. Perbedaan ini tentu saja akan menyebabkan adanya ketimpangan ekonomi dalam masyarakat. Sehingga syari’at Islam mewajibkan negara melakukan distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat (QS. Al Hasyr ayat 7). Dengan kebijakan ini dapat mempersempit bahkan mengatasi ketimpangan ekonomi antara si kaya dan miskin.


Mekanisme distribusi kekayaan ini dilakukan melalui beberapa instrumen. Pertama, adanya filantropi Islam berupa zakat, infaq, sedekah dan wakaf oleh individu yang mampu, yang bernilai ibadah. Sasaran pemberiannya pun sudah ditentukan dalam Al Quran dan hadits yaitu fakir, miskin, orang yang berhutang, memerdekakan hamba sahaya dan lain sebagainya.

Kedua, adanya diwaanu al ‘athaai (seksi santunan) dalam baitul mal. Seksi ini mengurusi santunan negara kepada rakyat yang membutuhkan. Baik untuk pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari (seperti fakir, miskin, orang yang berhutang, orang yang lemah fisik dan sebagainya) atau modal pengembangan ekonomi (seperti para petani, peternak, pemilik industri, dan sebagainya). Santunan ini diberikan secara cuma-cuma tanpa kompensansi balik kepada negara.


Ketiga, adanya diwaanu ath-thawaari (seksi urusan darurat/bencana alam) dalam baitul mal. Seksi ini mengurusi bantuan negara kepada rakyat khusus kondisi darurat/bencana alam mendadak. Seperti gempa bumi, banjir, angin topan, tsunami, dll. Karena dalam kondisi darurat/bencana alam yang diperhatikan adalah keselamatan jiwa rakyat. Bantuan ini tak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat selama bencana tapi juga untuk rekonstruksi pasca bencana.


Instrumen-instrumen ini tak hanya potensial bagi negara dalam mengatasi kemiskinan, tapi juga untuk pemberdayaan ekonomi rakyat. Adanya ketiga instrumen ini menunjukkan bahwa negara memiliki instrumen pokok yang siginifikan menjamin pemerataan ekonomi rakyat. Karena pemenuhan kebutuhan setiap rakyat adalah kewajiban negara. Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari yang artinya:
" Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. "

Sudah selayaknya memperjuangkan kembali sistem yang layak buat mengurusi urusan manusia. Yaitu sistem Islam dalam naungan khilafah. InsyaaAllah keadilan dan kesejahteraan dapat dirasakan oleh seluruh warganya baik muslim maupun non muslim.

Wallahu a'lam bish-shawwab.[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak