Oleh : Ummu Aqeela
Menteri Kesehatan (2004-2009), Siti Fadilah Supari kembali membongkar adanya praktik ujicoba kesehatan di Indonesia yang dilakukan oleh sebuah lembaga asing bernama World Mosquito Program. Program tersebut berdalih untuk menekan angka kematian akibat gigitan nyamuk Aedes Aegypti penyebab demam berdarah (DBD).
Siti mengatakan jika percobaan tersebut dilakukan dengan penyebaran nyamuk DBD yang telah disuntikan sebuah bakteri. Sayangnya bakteri Wolbachia itu sudah dilakukan rekayasa genetika yang ini membahayakan masyarakat suatu negara.
“Negara kita adalah salah satu negara yang akan dijadikan percobaan penyebaran nyamuk Walbochia (Wolbachia-red),” kata Siti dalam sebuah forum yang dihadiri oleh para pemerhati kesehatan dilansir dari Channel youtube MRohmanofficial ‘Ngeri! Ilmuwan: RI Jadi Kelinci Percobaan Pemberantasan DBD dengan Walbochia, edisi Ahad 12 November 2023.
Ada udang dibalik batu, mungkin peribahasa ini yang bisa menggambarkan tentang wacana program yang disebutkan pada fakta diatas. Ditambah lagi dengan lemahnya pemerintah dalam melihat bahwa saat ini Indonesia menjadi sasaran empuk para kapitalis. Jika ujicoba ini tetap dilanjutkan dengan persetujuan pemerintah, maka makin mengegaskan betapa lemahnya negara melindungi rakyatnya bahkan pada sektor yang urgen yaitu masalah kesehatan.
Peran negara dalam sistem kapitalisme hanya sebagai regulator untuk kepentingan para kapitalis, seperti wacana tersebut diatas. Karena kesehatan masuk dalam kategori sektor jasa, dan liberalisasi dalam kesehatan sukar sekali ditolak ataupun dihindari. Akibatnya negara sebagai tampuk tertinggi tak lagi menjadi pemain tunggal. Dan sebetulnya konsep inilah yang menjadi penyakit bagi sistem kesehatan itu sendiri. Karena gratis tidak ada dalam kamus kapitalis.
Berbeda dengan sistem kapitalis, sistem Islam memandang penyediaan kesehatan kepada warga negaranya dari perspektif manusia dan bukan aspek ekonomi. Ini berarti bahwa pemimpin Negara Islam terlibat untuk menyediakan sarana kesehatan yang memadai dan berkualitas baik kepada rakyat, bukan untuk coba-coba apalagi merauk keuntungan dibaliknya.
Ketika Islam diterapkan sebagai sebuah sistem lengkap, Islam menyediakan sarana untuk berprestasi di segala bidang seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Di masa lalu, individu di bawah Khilafah membuat kontribusi yang luar biasa untuk bidang medis.
Dalam model kesehatan Islam, intelektual para ahli di bidang kesehatan difungsikan untuk menginovasi produk-produk kesehatan termasuk obat agar negara mampu melayani seluruh rakyatnya dengan baik. Sekali lagi, ilmu terdedikasi bukan untuk bisnis industri global. Negara punya peran untuk mengurus kemaslahatan rakyat. Tidak semua hal harus dianggap berdasar kacamata bisnis.
Para ilmuwan Islam seperti al-Biruni, Ibnu Sina, dsb mendedikasikan ilmunya untuk kemaslahatan umat. Dedikasi tersebut benar-benar sampai aplikasinya kepada umat karena penguasa punya perhatian penuh terhadap kemaslahatan umat.
Dalam dunia kedokteran, ilmuwan Persia yang dikenal dengan nama Ibnu Sina atau Avicenna, menulis buku terkenal The Canon of Medicine. Ini merupakan buku teks standar yang diajarkan di berbagai universitas di seluruh dunia hingga abad ke-18. Melalui buku tersebut, Ibnu Sina memperkenalkan; sifat menular dari penyakit menular; penggunaan karantina untuk mencegah penyebaran infeksi; kondisi neuropsikiatri seperti epilepsy, stroke, dan dementia; gejala dan komplikasi diabetes; dan penggunaan uji klinis dalam obat eksperimental.
Kemajuan yang dicapai dalam dunia kedokteran adalah karena umat Islam mengikuti perintah Allah seperti yang tercantum dalam al-Quran dan as-Sunnah dalam menjaga urusan rakyat.
Misalnya, daripada membiarkan perusahaan asing mendapat insentif dari meneliti obat-obatan yang akan menghasilan keuntungan mereka, Daulah Islam dapat menyediakan dana penelitian yang akan dipersaingkan perusahaan-perusahaan swasta. Dengan cara ini, Khilafah mempunyai otoritas penuh dan dapat mengarahkan jenis investasi yang diperlukan. Dana dapat diambil dari Baitul Mal.
Hal ini akan menjadi proses yang jauh efisien daripada sistem saat ini, yang memberi peluang perusahaan-perusahaan asing atau swasta memutuskan apa yang harus dikembangkan berdasarkan keuntungan finansial mereka. Pada akhirnya, biaya riset dan pengembaangan masih diteruskan kepada para pembayar pajak dan uang pajak tersebut digunakan Pemerintah untuk membayar harga pengobatan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta.
Dan untuk menerapkan sistem tersebut tentu dibutuhkan Penguasa yang benar-benar menerapkan aturan Allah SWT, barulah saat itu masyarakat akan benar-benar berkembang dan berhasil. Karena bagi Penguasa dalam sistem islam hal tersebut bukan hanya tentang bagaimana menyediakan pelayanan medis, melainkan bagaimana dia, memenuhi kebutuhan warga yang dirinya dipercayakan untuk bertanggung jawab atas mereka, tanpa campur tangan dari pihak-pihak yang berorientasi mengambil keuntungan belaka.
Wallahu’alam bishowab