Oleh ; Ummu Aqeela
Kementerian Agama mengusulkan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1445 H/2024 M dengan rata-rata sebesar Rp105 juta. Usulan sesuai mekanisme pembahasan biaya haji.
Adapun, usulan ini disampaikan oleh Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas kepada DPR dalam Rapat Kerja bersama Komisi VIII di Jakarta, 13 November 2023. Menag menuturkan siklusnya memang pemerintah mengajukan usulan biaya haji. Kemenag, kata Yaqut, usulkan BPIH sebesar Rp 105 juta per jemaah.
"Usulan ini yang akan dijadikan bahan pembahasan oleh Panja untuk nantinya disepakati berapa biaya haji tahun 2024," jelas Menag Yaqut Cholil Qoumas di Jakarta, dikutip Rabu (14/11/2023).
Menurut Menag, ada yang berbeda dalam skema pengusulan biaya haji 2024 dengan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah dalam Raker DPR kemarin hanya mengusulkan besaran BPIH-nya saja. Pemerintah tidak lagi menghitung komposisi besaran Bipih yang akan dibayar jemaah dan Nilai Manfaat.
"BPIH yang diusulkan pemerintah ini selanjutnya akan dibahas secara lebih detil setiap komponennya oleh Panja BPIH. Setelah BPIH disepakati, baru akan dihitung komposisi berapa besaran Bipih yang dibayar jemaah dan berapa yang bersumber dari Nilai Manfaat," papar Menag Yaqut.
Fakta diatas tentu bukan hal yang mencengangkan karena mahalnya biaya haji di Indonesia tidak terlepas dari sistem hidup atau ideologi yang diterapkan hari ini, yakni kapitalisme sekularisme. Dampaknya, akan memengaruhi pola pikir dan pola sikap penguasa negeri-negeri muslim. Asasnya adalah materi, standar kebahagiaannya adalah materi. Maka, pelayanan publik juga dikomersilkan, seperti pendidikan, kesehatan, bahkan ibadah haji.
Penguasa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, berubah menjadi pengusaha yang pertimbangannya untung rugi. Mahalnya biaya haji, misalnya, hanyalah dampak dari rantai kepentingan kapitalis dalam urusan haji.
Ibadah haji dalam pandangan kapitalisme adalah peluang bisnis dan peluang pasar yang kemudian dieksploitasi, mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, katering, sampai jasa perizinan, termasuk jasa pembimbingan, dan lainnya yang serba komersil.
Sungguh hal tersebut berbanding terbalik dengan sejarah penyelenggaraan haji dalam sistem Islam. Betapa besar perhatian dan pelayanan antara kepala negara kepada jemaah haji dari berbagai negara. Mereka dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis. Hanya untuk melayani, jauh dari konteks investasi atau mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua merupakan kewajiban yang harus dijalankan negara.
Semua aktivitas itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari jamaah. Berbeda dengan hari ini. Pengurusan haji diurus oleh negara masing-masing tanpa ada kesatuan pelayanan karena tiada kesatuan kepemimpinan. Akibatnya, sering muncul konflik kepentingan seperti pembagian kuota, komersialisasi hotel, tiket, katering, dan lainnya.
Sistem Islam akan mengikat negeri-negeri muslim dalam satu kesatuan, sehingga otomatis bisa memangkas biaya berhaji karena masih dalam satu wilayah. Negara mengatur pelaksanaan ibadah haji sesuai panduan Islam, melayani para jemaah dengan maksimal dan optimal, membangun dan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan sebagai wujud kepengurusan atas umat. Tidak akan ada kapitalisasi dalam penyelenggaraan haji karena haram hukumnya.
Darimana negara beroleh sumber dana untuk keperluan membiayai penyelenggaraan ibadah haji? Allah SWT telah menganugerahi negeri-negeri muslim kaya akan SDA yang jika dikelola dengan prinsip syariat akan lebih dari cukup untuk mendanai apa pun kebutuhan umat baik muslim maupun non-muslim termasuk dalam pelaksanaan ibadah haji.
Maka sudah jelas, penjagaan terhadap rukun Islam dan aturan lainnya secara sempurna akan terjadi dalam Sistem Islam yang merupakan kepemimpinan umum kaum muslim yang menerapkan syariat Islam dan mengemban dakwah ke seluruh dunia.
Wallahualam bishowab