Oleh: Ummu Diar
Buah dari ikatan kebangsaan alias nasionalisme mulai pahit terasa pada kasus yang dialami kaum muslimin di G@za, Pal35tina. Kendati dipersatukan oleh adanya ikatan akidah, yakni sebagai umat yang menyembah Allah dan meyakini Muhammad sebagai Rasulullah, nyatanya sangat sulit tragedi G@za diselesaikan dengan bantuan kaum muslimin dari negeri yang berbeda.
Sekat imajiner atas nama batas negara, nyata-nyata menjadi penghalang terjal bagi kaum muslimin untuk menolong derita saudaranya. Jangankan bantuan berupa kekuatan militer yang sepadan untuk mengusir entitas penjajah di sana, kiriman logistik untuk kebutuhan asasi korban perang saja sangat sulit sampai ke lokasi yang benar-benar membutuhkan.
Sekat nasionalisme dengan segenap aturannya seakan menjadi belenggu tak kasat mata. Bahkan aturan-aturan yang menjadi kesepakatan itu tak ubahnya penghalang yang mengatakan "urusi saja negerimu sendiri, mereka sudah punya pengurusnya masing-masing".
Maka tak heran bila dalam durasi sekian lama, kepedulian akan G@za terus menempati empati banyak jiwa. Namun seiring bergulirnya keadaan di masing-masing negeri, jumlah empati dan kepedulian tersebut tak lagi sama. Keduanya akan menguat kembali tatkala terangkat kembali kasus serupa yang terkabar melalui sosial media. Dan siklusnya bisa jadi tidak akan jauh berbeda dari masa ke masa.
Itulah mengapa, sebenarnya ikatan nasionalisme ini dikategorikan ke salah satu hubungan pengikat yang tabiatnya lemah. Mutu ikatannya kurang mampu mengikat antara manusia satu dengan lainnya untuk sampai pada kebangkitan yang hakiki.
Pun kemunculan ikatan nasionalisme ini biasanya didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri membela diri atau memberi empati bagi yang terzalimi. Muncul di saat ada ancaman, namun akan kembali melemah tatkala kondisi sudah stabil atau normal.
Pada kasus Palestina ini sendiri, tergambar bahwa korban dari nasionalisme ini sungguh memilukan. Sejak entitas penjajah memiliki akses mencaplok tanah Palestina di tahun 1948, kaum muslim di sana seakan menghadapi gempuran fisik dari penjajah sendirian. Berbekal kekuatan iman dan senjata seadanya yang mereka temukan, sepanjang generasi Palestina harus siap berhadapan dengan senapan penjajah tanpa mengenal waktu dan tempat.
Bantuan yang mampu melawan kezaliman fisik ini sulit sekali masuk dari luar. Padahal bukan rahasia lagi jika negeri sekitarnya dan negeri berpenduduk muslim di belahan wilayah lainnya memiliki alat atau bahkan personil yang mampu membantu mengusir penjajah jikalau mereka diperintahkan dan diizinkan. Namun lagi-lagi pil pahit berupa keterikatan pada 'aturan nasionalisme' ini kembali menjadi bumerang.
Padahal sebuah keniscayaan jika terkumpulnya pasukan muslim berserta kelengkapan senjatanya yang disatukan untuk membantu saudara semuslimnya di Pal35tina bisa mempercepat hengkangnya penjajah dari negeri tersebut. Namun apa daya, kekuatan dan kewenangan menggerakkan itu belum ada saat ini.
Kekuatan yang selama ini terus bergerak mendukung perjuangan kaum muslim di Pal35tina adalah kekuatan individu. Yakni kesadaran dari individu yang masih punya empati dan peduli untuk meringankan beban korban peperangan. Aneka donasi tetap berjalan, walaupun tak mampu mengusir penjajahnya, bantuan ini masih diharapkan mampu digunakan untuk sekadar menopang mereka yang terus berjuang.
Semakin hari kesadaran individu ini semakin menggerakkan kesadaran komunitas di berbagai negara. Hingga lahirlah aksi seruan boikot pada produk penjajah yang terang-terangan menyatakan keuntungan produk mereka untuk mendukung zionis. Gerakan ini pun meningkat menjadi gerakan boikot, divestasi, dan sanksi (BDS).
Dari laman ekonomi.bisnis.com, meski belum jelas seberapa besar dampak gerakan protes non-kekerasan global ini kepada negara penjajah, namun laporan Vox mengungkapkan: lembaga global Rand Corporation pada 2015 memperkirakan PDB negara tersebut kehilangan US$15 miliar karena pelanggaran hak asasi manusia di Pal35tina, termasuk BDS.
Sementara itu, Al Jazeera dalam laporannya pada tahun 2018 menyebut, gerakan BDS berpotensi merugikan hingga US$11,5 miliar per tahun.
Jikalau sebuah gerakan BDS produk yang dilakukan oleh individu atau komunitas secara spontan berdasarkan kesadaran masingmasing saja mampu memberikan kerugian bagi ekonomi penjajah, maka bagaimana jika yang berikan adalah boikot pada konsep nasionalisme nya?
Bukankah nasionalisme ini yang terlihat menjadikan persaudaraan akidah kaum muslim sulit diwujudkan? Dan bukankah ini bertentangan dengan Al Hujurat ayat 13 yang justru menjadikan kaum muslim itu bersaudara? Bukankah orang yang bersaudara itu saling mencintai, saling tidak ridho jika saudaranya dizalimi terus menerus?
Rasulullah bersabda yang artinya "Muslim itu saudara bagi muslim lainnya. Dia tidak layak menzalimi dan menyerahkan saudaranya kepada musuh...." (HR. Bukhari Muslim). Tidak membiarkan mereka ada di tangan musuh bisa dimaknai dengan mengerahkan upaya agar penjajah itu pergi dari tanah Pal35tina. Lantas mungkinkah itu terwujud jikalau sekat imajiner masih mendominasi atas nama nasionalisme tadi?
Oleh karena itu sudah sepatutnya sekat imajiner yang memisahkan persaudaraan sesama muslim ditiadakan. Sebagai gantinya kaum muslim perlu disatukan dalam satu kepemimpinan global yang berdaulat penuh untuk kaum muslim itu sendiri, yang independen, dan memiliki kekuasaan riil menghimpun dan menggerakkan kekuatan muslim dari berbagai penjuru untuk mengusir penjajah dari Pal35tina.
Kepemimpinan dibawah naungan Islam (kekhilafahan) lah yang akan memenuhi prasyarat tersebut. Kepemimpinan ini yang akan menjadi perisai bagi kaum muslim di sana dan di seluruh dunia. Yang dengan komandonya bisa merealisasikan semangat membela saudara sesama muslim di jalur juang sebenarnya. Kepemimpinan inilah yang perlu diperjuangkan kehadirannya dengan sungguh-sungguh. []
Sumber gambar: Klik Media Network