Oleh: Dyah Putri Ratnasari
TikTok Shop resmi menghentikan transaksi penjualannya per 4 Oktober 2023 pada pukul 17.00 WIB. Pada 25-9-2023 lalu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 31/2023 tentang perizinan berusaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik.
Peraturan tersebut otomatis melarang TikTok Shop sebagai sosial commerce bergabung dengan TikTok sebagai platform sosial media. Karena hal tersebut akan berpotensi menciptakan monopoli bisnis yang mampu menguasai pasar dari hulu hingga hilir. Peraturan ini diharapkan akan menciptakan persaingan pasar yang adil.
Pertanyaannya apakah peraturan ini efektif? Bak maju kena mundur kena, setelah TikTok Shop ditutup, justru masyarakat yang banyak melemparkan protes adalah dari kalangan UMKM sendiri, karena pelaku UMKM pun banyak yang sudah terjun ke dunia digital, khususnya TikTok Shop. Dikutip dari laman kemendag.go.id, saat ini sebanyak 5 juta pelaku bisnis dari masyarakat Indonesia menggunakan platform Tiktok. "Dari jumlah tersebut, mayoritas adalah UMKM dan 2 juta di antaranya berjualan melalui niaga elektronik TikTok Shop," ujar Shou Zi Chew CEO TikTok saat menyambangi Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada Rabu (14/6/2023). Tidak sedikit pula pedagang Pasar Tanah Abang protes terhadap peraturan tersebut, pasalnya, mereka sudah mulai beradaptasi dengan dunia bisnis online dan penjualan hampir kembali normal, pemerintah malah menerbitkan aturan tersebut.
Setelah TikTok Shop ditutup, apakah masalahnya selesai? Tentu tidak, masih ada platform belanja online lain yang sama-sama menjadi pembuka keran persaingan bisnis tak masuk akal. Sebut saja Shopee, Lazada dan Blibli. Sebagian pedagang Tanah Abang yang pro penutupan TikTok Shop kemudian mendesak pemerintah juga menutup platform belanja online semisal.
Padahal jika kita telisik turunnya angka konsumen Tanah Abang bukan semata karena peralihan perilaku belanja ke platform digital, melainkan juga akibat dari menurunnya daya beli masyarakat. Pelaku usaha di daerah berhenti membeli di Pasar Tanah Abang karena penjualan di daerah juga sepi. Artinya, memang daya beli masyarakat Indonesia yang melemah sehingga banyak produk sandang di Pasar Tanah Abang dan di pasar-pasar induk lainnya, sepi. Bahkan, penurunan daya beli dianggap faktor utama dalam lesunya ekonomi rakyat. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya berfokus pada cara untuk menaikkan daya beli masyarakat sebab mayoritas pelaku usaha, baik offline maupun online, adalah UMKM.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Kondisi ekonomi yang semakin terpuruk akibat paceklik, sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan sehingga pengangguran merajalela, PHK besar-besaran, upah minimum kerja yang amat rendah, harga kebutuhan pokok seperti beras, listrik, dan bensin terus merangkak naik. Ditambah biaya sekolah dan kesehatan yang juga menguras keuangan masyarakat.
Persoalan selanjutnya adalah persaingan usaha. Dikutip dari suara.com, Dian Fiona, Co-Founder dari merek pakaian lokal Jiniso, mengungkapkan bahwa pelaku usaha dalam negeri harus membayar berbagai pajak yang turut meningkatkan harga barang. Sementara itu, penjual luar negeri yang menggunakan platform cross-border seperti TikTok Shop tidak dikenakan bea masuk, sehingga harga produk impor lebih rendah daripada produk lokal. Dian mengakui terdapat perbedaan harga hingga 30 persen antara produk lokal dan produk serupa dari luar negeri. Meskipun kualitas produk lokal lebih baik, masyarakat umum cenderung memilih produk impor karena harganya yang lebih murah.
Semua itu sudah menjadi opini umum bahwa kebijakan pemerintah dalam sistem ekonomi hari ini yang bercorak kapitalisme tidak akan pernah pro rakyat dan keadilan hukum akan sulit ditegakkan. Politik transaksional dalam sistem demokrasi melahirkan hubungan yang sangat erat antara pengusaha dan penguasa. Persaingan usaha yang adil hanya menjadi ilusi, tersebab regulasi akan mengakomodasi kepentingan pengusaha kelas kakap, bukan UMKM.
Berbeda 180° sistem ekonomi Islam yang menjadikan negara independen, bebas dari kepentingan selain kepentingan umat. Sistem politiknya yang berdasarkan akidah Islam akan melahirkan penguasa yang amanah dan taat syariat. Seluruh aturan yang ditetapkan tidak akan pernah lepas dari Al-Qur'an dan Sunah termasuk permasalahan ekonomi.
Teknologi tanpa Islam akan menghancurkan, sedangkan Islam tanpa teknologi akan hancur. Pemanfaatan teknologi akan tepat guna dan berkah jika diatur oleh Islam, karena teknologi merupakan bentuk kemajuan sebuah peradaban manusia. Islam dengan kebijakannya sangat adaptif terhadap penggunaan teknologi. Jual beli dengan cara daring adalah satu wasilah jual beli yang jika dijaga sesuai syariat akan tampak kemaslahatan di dalamnya.
Contohnya jika khalifah melihat daya beli masyarakat menurun, maka khalifah akan menyuntikkan dana secara cuma-cuma di tengah umat. Sehingga para pelaku bisnis akan tumbuh dan berkembang, pendapatan karyawan sudah pasti meningkat, otomatis daya beli masyarakat pun ikut meningkat.
Masyarakat juga tidak dibebani dengan biaya pendidikan dan kesehatan karena semua gratis dijamin perkepala oleh negara. Biayanya diambil dari pos-pos kepemilikan umum seperti SDA baik minyak bumi, batu bara, emas dan perak. Semuanya dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk umat. Negara juga akan mengutamakan barang dan jasa yang dihasilkan oleh warga negaranya sendiri, impor hanya akan menjadi opsi terakhir bila terjadi kelangkaan barang
Tags
Opini