Oleh : Zakiyatul Faikha
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Ribuan santri dari berbagai pondok pesantren di Indonesia mengikuti apel Hari Santri Nasional 2023, yang digelar di Tugu Pahlawan, Surabaya, Minggu (22/10/2023), pagi. (kompas.com/2023/10/22)
Presiden Joko Widodo mengajak semua pihak untuk dapat terus menjaga semangat hari santri dalam menghadapi situasi dan kondisi saat ini.
“Semangat hari santri ini harus terus kita pegang teguh sesuai dengan konteks saat ini, konteks kondisi saat ini, di mana juga ada krisis ekonomi akibat perang, adanya krisis pangan akibat perang, adanya krisis energi akibat juga adanya perang,” ucap Presiden. (kemenag.go.id/22/10/23)
Peringatan Hari Santri Nasional ini menjadi momen penting di Indonesia. Hari Santri yang jatuh pada 22 Oktober ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. Dengan demikian, setiap tanggal 22 Oktober senantiasa diperingati sebagai Hari Santri Nasional. Momen istimewa ini selalu dinantikan dan disambut dengan penuh suka cita oleh para santri serta umat muslim di seluruh penjuru Indonesia, terutama di lingkungan pondok pesantren.
Pada perayaan hari santri kali ini ada yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini mereka mengambil tema “Jihad Santri Jayakan Negeri”. Dikutip dari voi.id(22-10-23), ada tiga hal yang mendasari diadakannya Hari Santri Nasional, yang berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia di kalangan para ulama dan santri.
1. Peran Ulama dan Santri dalam Kemerdekaan Indonesia
Para ulama dan santri di pondok pesantren memiliki andil besar dalam perjuangan merebut serta mempertahankan kemerdekaan RI.
2. Mengenang dan Meneladani Perjuangan Ulama dan Santri
Peringatan Hari Santri bertujuan untuk mengenang dan meneladani perjuangan para ulama dan santri dalam membela dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
3. Resolusi Jihad KH Hasyim Asyari
“Berperang menolak dan melawan penjajah itu fardhu ‘ain (yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata atau tidak) bagi yang berada dalam jarak lingkaran 94 km dari tempat masuk dan kedudukan musuh. Bagi orang-orang yang berada di luar jarak lingkaran tadi, kewajiban itu jadi fardlu kifayah (yang cukup, kalau dikerjakan sebagian saja)…”
Fatwa Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari ini dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945. Fatwa yang menggelorakan ruh jihad kaum muslimin di Jawa Timur terutama di Surabaya. Menggerakkan umat Islam termasuk santri dan para kyai melakukan jihad, berperang melawan kehadiran kembali sekutu yang sudah mendapat izin dari pemerintah pusat di Jakarta. Fatwa yang dikenal dengan resolusi jihad inilah yang juga menginspirasi dijadikannya 22 Oktober sebagai Hari Santri.
Jangan Kerdilkan Makna Jihad !
Jihad yang dimaksud harusnya tidak mengalami pergeseran, karena merupakan makna syar’i. Bahkan tidak boleh bagi seorang pun dan kapan pun untuk merubah seenaknya makna jihad tersebut.
Jihad artinya adalah perang di jalan Allah. (Hasyiyah Al-Bujairimi ‘Ala Syarah Al-Khathib, 4/225). Jihad pada pokoknya adalah perang (Al-Qitaal), yaitu khususnya disini perang yang dilakukan oleh kaum muslimin melawan kaum kafir yang tidak mempunyai ikatan perjanjian dengan kaum muslimin. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 16/124).
Ditengah masifnya moderasi beragama hari ini, lafadz jihad hanya digunakan dengan makna bahasa saja, yakni bersungguh-sungguh atau mengerahkan segenap upaya. Dengan demikian, akhirnya bermunculan istilah jihad mencari ilmu; jihad menafkahi keluarga; jihad melawan korupsi; dan sebagainya.
Bersamaan dengan hal itu, jihad dengan makna perang melawan kuffar diframing sebagai tindak terorisme dan ekstrimisme. Bahkan buku dan kitab tentang jihad pun dijadikan sebagai barang bukti teroris. Lebih lagi ajaran jihad dihapus dari pelajaran agama di bidang fiqh. Dan hanya dimasukkan pada mata pelajaran sejarah. Hasilnya, jihad kehilangan makna dan konteks sejarah dalam mengusir penjajahan.
Semuanya ini adalah bagian dari desain agenda Barat yang berupa GWOT (Global War on Terrorism). Dimana dampak dari agenda tersebut adalah maraknya islamphobia di kalangan umat Islam, mematikan ruh jihad di hati umat, hingga sekularisasi pada diri umat islam. Yang termasuk umat disini juga adalah kalangan santri yang dahulunya identik dengan jihad melawan penjajah Kafir.
Jika kita menengok pada masa lalu, para santri pada saat itu berjihad melawan penjajah karena situasinya pada saat itu negeri ini sedang dijajah secara fisik oleh negara lain. Dan hal ini menjadi sebuah keniscayaan.
Akan tetapi jika kita cermati hari ini, penjajahan berubah menjadi penjajahan pemikiran berupa penerapan sekularisme yang telah melahirkan cara pandang liberal dalam pengelolaan ekonomi sehingga melahirkan kapitalisme yang mengakibatkan kemiskinan massal, termasuk juga di lingkungan pesantren.
Sekularisme juga melahirkan gaya hidup liberal sehingga tidak jarang menimpa santri seperti maraknya bullying dan kekerasan seksual di pesantren. Demikian juga sekularisme telah mengubah cara pandang keagamaan menjadi moderat karena teks-teks keagamaan ditafsirkan ulang sesuai dengan tuntutan Barat menjadi muslim moderat.
Santri juga diarahkan untuk jihad ekonomi. Dimana pesantren diminta memiliki usaha ekonomi, membuka lapangan pekerjaan. Bahkan santri diberi gelar baru, yakni santripreneur. Kata santri yang lekat dengan ilmu dan perjuangan kemuliaan Islam kemudian diidentikkan dengan hal-hal berbau ekonomi.
Peran Hakiki Santri
Sejak dulu perlawanan umat muslim adalah untuk melawan kekufuran, kezaliman, dan juga kebatilan. Maka sampai saat ini, medan perjuangan melawan penjajah kafir begitu terbuka lebar. Sebab Indonesia masih dijajah baik secara politik, ekonomi, hingga budaya oleh kapitalis Barat dan oligarki.
Sejarah telah menunjukkan bagaimana motivasi para Santri dalam Sejarah perjuangan di negeri ini. Namun hari ini, yang terjadi adalah pembajakan dan degradasi peran santri dalam kehidupan.
Para santri harus melek fakta politik bahwa musuh nusantara dan perusak dunia bukanlah sesama muslim yang senantiasa dicap radikal atau ekstrim. Yang berbahaya bagi dunia bukanlah ajaran Islam semacam jihad dan Khilafah. Maupun gerakan dakwah Islam yang dianggap merusak bumi. Akan tetapi negara-negara barat kapitalis yang telah memaksakan ideologi mereka agar diterapkan di dunia.
Senjata yang mereka gunakan untuk memuluskan penjajahan ini tidak lain adalah dengan perang pemikiran. Oleh sebab itu sangat tepat posisi santri berada di garda terdepan untuk melawannya. Sebab setiap hari santri berkutat dengan pemikiran maupun tsaqafah Islam yang merupakan senjata untuk bisa melawan pemikiran asing barat.
Inilah yang menjadi rahasia kekuatan bagi umat Islam, yakni ideologi Islam; akidah Islam dan syariatnya yang sempurna. Hal ini diketahui betul oleh para penjajah kapitalis serta anteknya, sehingga mereka mati-matian dalam melakukan liberalisasi Islam.
Para penjajah ini pun senantiasa menggencarkan kriminalisasi terhadap ulama dan ormas Islam, serta membajak perjuangan santri. Hal itu dilakukannya sebagai bentuk reaksi ketakutan akan eksistensi mereka punah jika Islam berkuasa di negeri ini.
Jihad santri dan juga seluruh umat muslim hari ini harus dikembalikan pada spirit revolusi jihad yang dikobarkan untuk melawan penjajahan dengan implementasi saat ini, yakni perang pemikiran melawan sekularisme maupun turunannya. Dan terus berusaha dalam menegakkan kekuatan politik Islam, yakni Khilafah.
Di tengah berbagai problem kehidupan yang terjadi pada tingkat global, regional maupun nasional, sangat relevan mengembalikan kembali spirit resolusi jihad dalam makna yang sebenarnya sebagaimana awalnya
Islam mendorong setiap muslim terlebih para santri untuk berperan dalam kehidupan sesuai tuntunan syar'i. Akidah Islam digunakan sebagai asas dalam kehidupan sekaligus panduan dalam menyelesaikan segala problematika. Menerapkan Islam dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara juga merupakan bentuk meneladani Rasulullah sebagai utusan Allah di muka bumi.
Wallahu a’lam bish shawab.
Tags
Opini