Oleh: Heni Lestari
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Sejenak kita mengingat, ketika kita masih kecil. Saat kita masih memakai seragam merah putih. Kehidupan yang penuh dengan keceriaan. Usia Sekolah Dasar, kita sibuk dengan banyak permainan seperti gobak sodor, enggran, benteng bentengan, lompat tali. Sesekali juga masih terngiang ditelinga kita olok-olokan sesama tema. Dengan bingkai kebercandaan, keceriaan dan kegembiraan di sela sela kegiatan bermain tradisional anak-anak.
Memasuki abad ke 21, terjadi lompatan teknologi. Dimana kita mengenal yang namanya gadget.
Adanya loncatan teknologi ini kita yang telah berubah menjadi orang tua mau tidak mau harus mengikuti tren teknologi ini untuk menyeimbangkan kehidupan sosial media.
Anak-anak menjelang remaja menjadi poros sasaran empuk market media sosial untuk memviralkan berbagai macam konten. Tanpa melihat apakah konten tersebut baik atau sebaliknya. Menjadi sosok yang terkenal di seantero jagat dunia maya menjadi keinginan sebagian anak remaja. Termasuk tindakan
bullying yang seakan menjadi biasa.
Menurut terjemahan bahasa Indonesia, kosa kata bullying mempunyai arti yaitu
'tindakan penindasan yang sering kali dilakukan secara berkelompok. Pada lingkungan sekolah, kelompok yang melakukan bullying cenderung merasa berkuasa dan menganggap anak lain lebih lemah dari mereka. Hal yang sama juga dapat ditemukan di lingkungan kerja dan sosial lainnya (Jurnal Tim Medis Siloam Hospital).
Sebulan ke belakang, terjadi beberapa kasus kekerasan terhadap anak yang membuat ramai jagat maya. Menjadi sorotan karena kasus kekerasan ini tidak terjadi sekali tapi berulang kali di berbagai tempat yang berbeda. Mirisnya, pelaku kekerasan juga merupakan teman sebaya dan bahkan terjadi di lingkup satuan pendidikan. Seperti kasus perundungan yang terjadi pada siswa SMP di Cilacap. Kasus ini hangat diperbincangkan sebab video yang mempertontonkan korban tengah disiksa beredar luas. Dalam video tampak seorang siswa dianiaya oleh siswa lain dengan cara dipukul dan ditendang. Adegan ini disaksikan beberapa siswa lain dan tidak ada yang melerai.
(tirto.id, 22 Oktober 2023)
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan berdasarkan hasil Asesmen Nasional pada 2022, terdapat 36,31 persen atau satu dari tiga peserta didik (siswa) di Indonesia berpotensi mengalami bullying atau perundungan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas siswa yang mengalami perundungan, atau yang sering disebut sebagai bullying, di Indonesia adalah laki-laki. Persentase kasus bullying di kategori siswa kelas 5 SD pada siswa laki-laki mencapai 31,6 persen, sementara siswa perempuan mencapai 21,64 persen dan secara nasional sebesar 26,8 persen. (Republika.co.id, 20 Oktober 2023 )
Banyaknya kasus bullying atau perundungan yang terjadi di element sekolah menjadi potret buruknya sistem pendidikan yang dijalankan di negeri ini. Pendidikan ala hukum sekuler, liberal buatan manusia yang berkiblat pada barat ini nyatanya tidak mampu menjawab, menyelesaikan problematika, permasalahan dan persoalan yang terjadi. Banyak aturan yang telah dibuat oleh negara bahkan Gerakan Pelopor Anti Bullying namun tetap tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Hal ini karena penyebabnya sangat kompleks maka tidak akan cukup dengan Gerakan Pelopor Anti Bullying saja.
Untuk menyelesaikan bullying secara tuntas membutuhkan peran serta semua pihak dan juga solusi komprehensif. Khilafah, sebagai sistem pemerintahan Islam mampu memberikan solusi komprehensif untuk memberantas bullying secara tuntas.
Adanya peran Khalifah sebagai pemimpin negara akan mampu menterjemahkankan hukum syara untuk bisa di implementasikan oleh seluruh element masyarakat. Mulai dari peran Khalifah, orang tua, guru, aparat pemerintah Daulah Islam dan peran sosial masyarakat. Orang tua maupun guru yang paham Islam akan mendidik anak dengan kasih sayang sehingga tak ada contoh kekerasan yang terjadi di rumah maupun di sekolah. Pembekalan akidah yang kuat juga membuat anak tak bertindak menuruti hawa nafsunya. Negara akan membatasi media yang boleh ditonton sehingga tak ada akses bagi anak mendapat tayangan yang tidak seharusnya.
Keterlibatan secara menyeluruh dengan landasan Islam akan mampu secara komprehensif bersinergi untuk menyelesaikan kasus bullying sampai ke akar akarnya.
Tags
Opini