Oleh: Arin RM
Berbagai persoalan tak kunjung berhenti membelit berbagai masyarakat, tak luput juga dalam ranah kehidupan rumah tangga. Mirisnya, tidak semua mampu menyikapi persoalan dengan kepala dingin. Justru emosi tak terkendali yang dominan menguasai, hingga muncullah jelmaan individu sadis yang tega melalukan kekerasan kepada orang terdekatnya. Nyawa pun terkorbankan dengan alasan beratnya menghadapi problematika kehidupan.
Seorang suami dikabarkan tega menganiaya istrinya. Korban seorang ibu rumah tangga bernama Arisa Ariani (22), Warga Sendangguwo, Tembalang, Semarang, Senin (28/08) pagi ditemukan meninggal dunia di kamarnya usia terjadi pertengkaran dengan suaminya. Korban yang diketahui memiliki dua orang anak ini, sering terdengar cekcok dengan suaminya Yuda Bagus Zakaria yang berusia 34 tahun. Menurut Ketua RT setempat, pelaku sering melakukan penganiayaan kepada istrinya. Saat menganiaya istrinya, pelaku sebelumnya mengkonsumsi minuman keras. [1]
Kasus KDRT yang ditemukan di atas, rupanya bukan satu-satunya peristiwa yang terjadi di kota tersebut. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang, Jawa Tengah, mencatat kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di wilayah tersebut mencapai 142 kasus dari Januari hingga Agustus 2023. Kepala DP3A Kota Semarang, Ulfi Imran Basuki, mengatakan pada tahun 2021 tercatat ada 156 kasus KDRT. Kemudian, pada 2022 ada 228 kasus KDRT dan pada Januari-Agustus 2023 sudah ada 142 kasus. Ia menjelaskan, ada berbagai faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Mulai dari faktor ekonomi, pernikahan usia dini, dan sebagainya . Faktor-faktor itu kemudian memicu pertengkaran antara suami dan istri, hingga puncaknya bisa berakhir dengan tindakan kekerasan. [2]
Sangat disayangkan, jumlah korban kekerasan dalam rumah tangga tak juga berkurang, meskipun sejak tahun 2004 pemerintah Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Beberapa survei dan kajian antara 2021 hingga 2023 mendukung temuan ini. Survei Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) pada 2022 yang mendapati bahwa sepanjang awal tahun 2022 hingga Juni 2023, ada 15.921 kasus KDRT yang dilaporkan. Data ini mencakup kekerasan fisik terhadap perempuan dewasa atau kasus KDRT 7.940 kasus, kasus KDRT dengan kekerasan seksual mencapai 2.948 kasus, dan kasus penelantaran mencapai 2.199 kasus. Survei ini juga mencatat kekerasan terhadap anak, yang mencapai 25.802 kasus. [3]
Uraian data ini menampakkan bahwa problematika rumah tangga tengah banyak mendera. Namun, mengapa sampai kekerasan yang dipilih? Apakah sedemikian dahsyatnya level problematikanya? Ataukah dari personalnya ada sesuatu yang ‘hilang’ sehingga sisi humanis terbalik menjadi sadis? Untuk menjawab ini semua memang perlu dicari asal muasal perkaranya secara mendasar.
Banyaknya kasus mengindikasikan bahwa latar belakang yang memicunya KDRT juga luas, yakni ada iklim yang tidak kondusif untuk membentuk kehidupan keluarga harmonis. Sebagaimana diketahui, diakui atau tidak, kehidupan masyarakat saat ini terkungkung dalam atmosfer sekuler nan kapitalis. Hidup memang berjalan dari sisi biologis dan ekonomi, namun hidup tak sedikit yang hanya sekedar bertahan melalui hari. Hidup dengan suasana jauh dari pengamalan ajaran Ilahi, yang seharusnya justru dijadikan sebagai pedoman hidup secara menyeluruh.
Keberhasilan ajaran sekuler memisahkan agama dari urusan kehidupan, menjadikan individu begitu awam dengan urusan agama. Kontrol hidup seolah hanya distandarkan pada batas materi dan kecukupan ekonomi. Akibatnya ketika masalah mendera dan menjadi semakin berat, maka emosilah yang meningkat. Tak terkecuali dalam ranah rumah tangga. Dan KDRT lah yang pada akhirnya merajai. Pada akhirnya tak heran jika ada opini bahwa sekuler kapitalis ini berduet memicu lahirnya suami sadis.
Padahal kekerasan tidak selalu menyelesaikan persoalan. Justru kerap kali kekerasan menyimpan imbas lanjutan yang menimbulkan persoalan baru. Maka sesungguhnya memilih menyelesaikan persoalan dengan apa, itu yang harus dipikirkan. Sebab sesungguhnya setiap perbuatan taat atau maksiat adalah pilihan yang memang harus diperhatikan. Sebab Allah sebagai zat yang Maha mengenai, Allah memerintahkan setiap diri memperhatikan apa yang diperbuat untuk hari akhirat (lihat QS Al-Hasyr: 18).
Memperhatikan apa yang diperbuat tentu tidak bisa dilepaskan dengan upaya mengumpulkan bekal takwa untuk kehidupan nati. Dan proses ini tidaklah mudah, apalagi kalau sendirian. Maka dari itu diperlukan saling dukung, minimal dari dalam keluarga sendiri (antara suami dan istri yang bersinergi). Mengapa keluarga? Karena tabiat mereka yang paling dekat dan paling sering berinteraksi dengan diri kita. Betapa indahnya jika satu keluarga sama-sama fokus pada akhirat, saling mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.
Itulah mengapa sangat relevan jika dalam kepala keluarga diperintahkan menjaga setiap pasukannya dari api neraka. Sebab memang tujuannya bukan kesana. Dan untuk kepentingan itu, setiap anggota keluarga penting menyadari peran dan tugasnya masing-masing. Bukan sebatas beres dunia, melainkan sesuai tugas dari Sang pengatur kehidupan, Allah SWT.
Relasi suami istri didudukkan sebagai sahabat satu sama lain dalam menjalankan bahtera rumah tangga. Suami nahkoda yang memimpin, istri ahli yang memastikan setiap anak dapat menumpang kapal dengan etika yang benar. Menjadikan keluarga sama-sama berazzam taat sembari meninggalkan maksiat. Mengutaman kewajiban sebelum mengejar kemubahan yang kadang justru melelahkan.
Setiap anggota keluarga tak berhenti meningkatkan ketakwaan dan kesabaran dengan rutin belajar Islam untuk diamalkan. Saling menyampaikan satu sama lain agar sama-sama tahu dan sama-sama benar. Menumbuhkan budaya mengingatkan atas kesalahan, saling memotivasi untuk melakukan banyak amal kebaikan. Sebab sejatinya perbekalan yang disiapkan akan dibatasi oleh deadline ajal yang entah kapan datang. Sehingga keluarga yang mempersiapkan bekal perjalanan pulang selazimnya membudayakan bersegera dalam ketaatan di sana. Berlomba dalam kebaikan, mengingatkan agar tidak terlena dengan panjangnya angan-angan berupa penundaan.
Dan sebagai kuncinya aqidah Islam yang telah dikokohkan harus diikat dengan ikhlasnya taat kepada syariat Allah. Di ruang habluminallaah, habluminannafsi, dan hablumminannaas tanpa terkecuali. Dan tentunya upaya persiapan bekal perjalanan keluarga ini akan lebih baik bila lingkungan sekitar (masyarakat ataupun negara) juga mengarah pada visi yang sama. Pun dari sisi negara juga memberikan dukungan, minimal menyuasanakan ekonomi kondusif sehingga kepala keluarga bisa mumpuni dari sisi kesejahteraan sekaligus mengayomi keluarga tanpa harus menjadi sadis. []
Referensi:
1. https://www.kompas.tv/regional/438520/cekcok-suami-tega-aniaya-istri-hingga-tewas
2. https://jateng.solopos.com/angka-kdrt-di-kota-semarang-masih-tinggi-tahun-ini-ada-142-kasus-1726094
3. https://www.voaindonesia.com/a/hampir-dua-dekade-uu-penghapusan-kdrt-mengapa-kdrt-tetap-tinggi-/7291238.html
Sumber gambar: its.ac.id