REMPANG MASIH BERGEJOLAK, ISLAM SOLUSI TELAK




Oleh : Ummu Aqeela

Masyarakat Melayu Pulau Rempang berkumpul di Lapangan Sepakbola Dataran Muhammad Musa, Kampung Sembulang, Kelurahan Sembulang, Kecamatan Galang pada Rabu, 11 Oktober 2023. Mereka berpantun, berorasi, menyatakan sikap menolak penggusuran dan relokasi.
Mereka berkumpul sejak pagi, sekitar pukul 08.00 WIB. Warga terus berduyun datang, menggunakan sepeda motor, truk dan kendaraan roda empat lain. Selawat dan doa membuka peringatan perjuangan masyarakat Melayu untuk mendukung warga Pulau Rempang saat bentrok dengan aparat 11 Septemebr lalu.

Saat itu, ada 35 warga yang ditangkap dan sampai saat ini masih ditahan di Mapolresta Barelang dan Mapolda Kepri. Mereka ditangkap akibat kerusuhan yang terjadi saat aksi demonstrasi di kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam kala itu. Cuaca panas tidak menghentikan warga yang terus ingin tetap bertahan di tanah yang diwariskan leluhur mereka sejak ratusan tahun lalu. Mereka bertahan sampai acara selesai sekitar pukul 10.30 WIB.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, dan tim dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional turut hadir dalam acara. Dalam kesempatan ini, Isnur juga memastikan aksi solidaritas warga ini secara langsung membantah klaim Menteri Investasi/Kepala BKPM, Bahlil Lahadalia yang menyatakan bahwa ada 70 persen warga yang setuju untuk direlokasi.  Dalam pertemuan ini, warga justru menolak dan menyatakan sikap untuk tetap mempertahankan kampung-kampung mereka. ( https://m.metrotvnews.com/read/NleCpLEe-tolak-relokasi-warga-pulau-rempang-gelar-doa-dan-selawat )

Di negeri ini, konflik lahan terus saja terjadi, pembangunan yang diyakini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi sering kali berbanding lurus dengan penggusuran rumah warga. Walhasil, pertumbuhan ekonomi yang konon akan bermuara pada “kesejahteraan rakyat” sering kali harus diawali dengan tangisan warga setempat. 

Ada beberapa hal mendasar yang menyebabkan terus berulangnya konflik lahan di negeri ini. 
Pertama, tidak ada kejelasan tentang penentuan status kepemilikan tanah. Artinya, tidak ada pengaturan yang jelas tentang mana lahan yang boleh dimiliki oleh individu dan mana yang tidak. Sebagaimana diketahui, dalam sistem ekonomi kapitalisme, status kepemilikan tanah harus berdasarkan legalitas formal seperti sertifikat. Oleh karena itu, semua lahan yang tidak memiliki sertifikat akan diklaim menjadi milik negara. Dengan klaim tersebut, maka negara merasa bebas saja mengalihkan pengelolaannya kepada swasta.
 
Kedua, negara yang menerapkan tata kelola ekonomi kapitalisme-neoliberalisme telah mengaborsi peran pemerintah. Peran tersebut hanya tersisa sebatas regulator dan fasilitator semata. Selain itu, perselingkuhan penguasa dan korporasi dalam kontestasi politik menyebabkan keberpihakan penguasa yang luar biasa pada korporasi. Sedangkan perhatian pada rakyatnya hanya setengah hati. 

Sebagai sebuah ideologi yang sempurna, Islam memiliki pandangan khusus tentang lahan. Hukum kepemilikan lahan mengikuti status kepemilikan secara umum dalam syariat Islam; yakni kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan oleh negara (daulah). Titik krusial persoalan lahan adalah mengenai status kepemilikannya; kapan dan bagaimana cara seseorang diakui sebagai pemilik lahan serta. Di negeri ini, kepemilikan lahan ditentukan oleh bukti surat kepemilikan tanah berupa girik atau sertifikat tanah. Tanpa itu, meskipun seorang warga telah tinggal dan menggarap lahan itu puluhan tahun tidak punya kekuatan hukum. Inilah yang sering menjadi titik konflik lahan antar warga, termasuk warga dengan korporasi bahkan dengan negara.

Syariat Islam mengizinkan individu muslim atau orang kafir untuk memiliki lahan. Baik untuk keperluan tempat tinggal, usaha, atau pertanian. Kepemilikan lahan dalam syariat tidak ditentukan oleh surat kepemilikan tanah, tapi cara menghidupkannya seperti mematoknya atau mengelolanya di atas lahan yang memang tidak ada pemiliknya. 
Sabda Nabi Saw:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ

Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain). (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Juga sabdanya:

مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ

Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya (HR ath-Thabrani).

Karenanya, negara tidak berhak merampas tanah milik warga muslim maupun kafir sekalipun mereka tidak memiliki surat kepemilikan lahan, selama ia bisa membuktikan bahwa tanah itu telah dipatok atau dikelolanya, serta tidak ditelantarkan lebih dari tiga tahun.

Perampasan terhadap tanah rakyat walaupun atas nama pembangunan, apalagi faktanya disetorkan kepada investor, adalah kezaliman yang terkategori dosa besar. 
Sabda Nabi Saw:

 مَنْ ظَلَمَ قِيدَ شِبْرٍ مِنْ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ

Siapa yang pernah berbuat aniaya sejengkal saja (dalam perkara tanah) maka nanti dia akan dibebani (dikalungkan pada lehernya) tanah dari tujuh petala bumi. (HR. Bukhari)
 
Selanjutnya syariat Islam menetapkan ambang batas penelantaran lahan. Bila lahan yang telah dimiliki dengan cara dipagari misalnya, tidak dikelola seperti tidak ada bangunan di atasnya, tidak dijadikan lahan pertanian, atau hal-hal yang menunjukkan tanda pengelolaan lahan, maka negara akan menyita lahan tersebut dan memberikannya pada individu atau korporasi yang sanggup mengelolanya. Ketetapan ini berdasarkan ijma sahabat yang terjadi di masa Khalifah Umar bin Khattab ra.
 
Limit penelantaran tanah sampai akhirnya nanti akan ditarik oleh Negara Khilafah untuk diberikan pada pihak lain adalah setelah tiga tahun. Amirul Mukminin Umar ra juga mengatakan kepada kaum muslimin, “Tidak ada hak (kepemilikan) bagi orang yang memagari (lahan) setelah tiga tahun.”

Andaikan memang tanah warga dibutuhkan untuk kepentingan negara dan publik yang urgen dan mendesak, maka wajib bagi negara untuk memberikan ganti, baik dengan harga yakni membeli tanah dan seluruh bangunan atau tanaman yang ada padanya dengan harga yang layak, atau melakukan tukar guling dengan tanah yang sepadan dan keridhoan pemiliknya. Haram hukumnya negara memaksa warga menjual tanahnya dengan harga murah.
 
Demikian penyelesaian yang benar sesuai syari’at yang diturunkan. Karena apa yang terjadi hari ini begitu jelas adalah pengingkaran terhadap  kesempurnaan islam sebagai agama. Dengan sombong sebagian manusia menerapkan kehidupan sekular ala barat yang memisahkan agama dengan kehidupan . Sistem ekonomi yang dijalankan adalah sistem ekonomi kapitalis, apalagi ditambah dengan penerapan sistem politik demokrasi yang menapikan hukum selain hukum Allah. Hal ini jelas sebuah pengingkaran terhadap apa yang diperintahkan oleh Allah. Sehingga sebagai seorang muslim adalah sebuah keterpurukan yang mendalam jika terus membiarkan hal ini terjadi. Terlebih ini adalah sebuah kemungkaran yang besar. Maka sudah keharusan hakiki, jika memperjuangkan Syari’at Islam untuk ditegakkan kembali.
 
Wallahu’alam bishowab 
 
 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak