Oleh: Siti Maisaroh (pegiat literasi)
Rempang Eco- City merupakan salah satu proyek yang terdaftar dalam PSN 2023, proyek tersebut rencananya digarap oleh PT MEG yang merupakan rekan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan pemerintah kota Batam. Guna menggarap Rempang Eco-City, PT MEG diberi lahan sekitar 17.000 hektar yang mencakup seluruh pulau Rempang dan pulau Subang Mas (www.republika.id/29/9/2023).
Pengosongan lahan dari penduduk dengan menurunkan aparat tentu membuat kita bertanya, dimanakah kedaulatan rakyat yang katanya diterapkan di negeri ini?
Sebelumnya, mungkin kita perlu mengingat kembali bahwa kedaulatan rakyat adalah konsep politik yang menggambarkan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara harus berasal dari rakyat. Artinya, negara bukanlah entitas yang berdaulat, melainkan rakyat yang berdaulat. Konsep ini menekankan bahwa kebijakan politik harus didasarkan pada kehendak rakyat dan kepentingan umum. Dalam konteks Indonesia, kedaulatan rakyat merupakan prinsip yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Prinsip ini menjelaskan bahwa kekuasaan negara berada ditangan rakyat dan dijalankan secara demokratis melalui perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, negara Indonesia dijuluki sebagai negara demokrasi.
Namun sayang, kedaulatan itu telah hilang, atau bahkan tak pernah ada? Rakyat yang berharap penuh perlindungan dari para penguasa, ibarat jauh panggang dari api.
Sangat tidak menggambarkan jiwa pemimpin, ketika para penguasa negeri ini justru memberikan Rempang kepada pengusaha. Dimana sudah jelas tujuannya yaitu untuk kepentingan pribadi dan kelompok.
Kita semua pun tahu, jika sebenarnya rakyat Rempang tidak ingin beranjak dari tanah kelahirannya. Namun karena semua dibawah kendali penguasa, merekapun terpaksa meninggalkan Rempang dengan segala ketidakberdayaannya.
Konflik lahan atau konflik agraria nyatanya tidak hanya terjadi di Rempang. Ada daftar panjang kasus konflik lahan di Indonesia yang hingga sekarang minus penyelesaian. Bahkan tidak sedikit pula rakyat yang jadi tumbal. Oleh karenanya, seperti api dalam sekam, kasus-kasus seperti itu, kapan pun bisa menyeruak ke permukaan, bahkan menyulut konflik yang lebih besar.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, selama dua periode pemerintahan Jokowi (2015—2022) saja, ada 69 korban tewas di wilayah konflik agraria. Sementara itu, Komnas HAM menyebut, jumlah kasus konflik agraria mengalami eskalasi masif selama delapan bulan terakhir. Jumlah laporan yang masuk ke Komnas HAM pada periode tersebut mencapai 692 kasus atau setara dengan empat kasus per hari.
Tentu penting diingat bahwa di luar angka tersebut, kasus-kasus lama masih banyak yang belum tuntas terselesaikan. Sementara itu, kasus-kasus baru pun ternyata terus bermunculan. Semua ini menunjukkan, ada problem besar dan sistemis di balik munculnya kasus-kasus konflik lahan. Bukan semata ada janji kepada warga yang dilanggar perusahaan, tetapi akar problemnya terkait penerapan sistem hidup rusak yang memproduksi banyak persoalan, sekaligus mereduksi fungsi hakiki kepemimpinan.
Tidak dimungkiri bahwa sistem yang berlaku hari ini adalah sistem kapitalisme neoliberal. Sistem ini lahir dari rahim sekularisme yang mengakomodir kerakusan para pemilik modal. Wajar jika dari sistem ini muncul berbagai kezaliman yang dilegitimasi kekuasaan alias legal. Maklum, sistem in lantaran tidak kenal moral, apalagi halal haram.
Dalam sistem ini, siapa kuat, ia yang menang. Para pemilik modal yang jumlahnya minoritas diberi ruang sangat besar untuk menguasai berbagai lini kehidupan, termasuk menguasai sebagian besar sumber daya alam.
Berbeda dengan sistem kapitalisme neoliberal, sistem Islam benar-benar menutup celah pintu kezaliman. Betapa tidak? Bangunan negaranya tegak di atas landasan iman, di mana penguasanya berperan sebagai pengurus dan penjaga. Sementara itu, penopangnya adalah aturan Islam yang bersumber dari wahyu Allah Taala, yang jauh dari konflik kepentingan manusia.
Dalam penegakkan aturan Islam, penguasa bertindak sebagai sebaik-baik pelaksana, sedangkan rakyatnya sami’na wa atha’na. Keduanya saling menjaga agar suasana taat senantiasa ada hingga jaminan masyarakat adil sejahtera akan muncul dengan sendirinya.
Hal ini terkait fungsi ajaran Islam yang sejatinya datang sebagai solusi problem manusia. Semua aspek kehidupan diatur dengan pengaturan yang harmonis dan sempurna, mulai dari aspek politik, ekonomi, pergaulan, hukum, hankam, dan sebagainya.
Sistem politik Islam memastikan negara punya wibawa dan kemandirian. Sistem ekonomi Islam, memastikan negara memenuhi kebutuhan masyarakat dengan level kesejahteraan yang tiada tara. Bahkan dengan strategi politik ekonomi Islam, negara wajib menjamin kesejahteraan hingga orang per orang.
Di dalam sistem ekonomi Islam, ada pengaturan soal kepemilikan, pengelolaan dan distribusi harta, termasuk aturan tentang lahan. Bahwa lahan ada yang milik individu, milik negara, dan milik umum. Negara tidak boleh menyerahkan harta milik individu atau milik umum kepada seseorang dengan alasan apa pun. Jika itu terjadi, penguasa wajib diingatkan karena hak tersebut berbahaya dan berimplikasi dosa.
Selain itu, diatur pula sistem moneter dan keuangan negara yang memungkinkan negara punya modal besar untuk menyejahterakan rakyatnya. Adapun untuk menjamin penegakan semua aturan, Islam pun mengatur sistem hukum dan persanksian yang dipastikan memberi rasa adil untuk semua.
Kasus-kasus semacam konflik Rempang, Seruyan, dan lainnya, tidak akan terjadi dalam sistem Islam karena penguasanya akan takut jika menjadi sumber kezaliman bagi rakyatnya. Mereka tidak akan berbuat culas hanya demi menyenangkan pemilik cuan karena bayang-bayang siksa neraka begitu lekat pada pandangannya.
Betul bahwa kepemimpinan Islam tidak akan bebas dari cacat dan cela. Namun, kecacatan itu tidak akan datang dari sistemnya, melainkan datang dari manusia sebagai pelaksananya. Hanya saja, kepurnaan aturan Islam yang ditopang budaya amar makruf nahi munkar dan sanksi yang tegas akan meminimalisir kasus-kasus penyimpangan aturan. Wajar jika sejarah peradaban Islam, begitu sarat dengan kisah sukses dan kebaikan yang tiada bandingan. Waallahu alam.