Oleh:Khusnul
Meski Pulau Rempang batal dikosongkan pada Kamis (28/09) seperti rencana awal pemerintah, masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang, mengaku masih cemas dan waspada. Sebab sampai saat ini, pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada Senin (25/09) lalu menyatakan bahwa rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City tetap berjalan, namun pemerintah "memberi waktu lebih" untuk sosialisasi. (bbc.com, 28/9/2023)
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan membantah temuan Ombudsman yang menyebut adanya potensi maladministrasi dalam proses relokasi warga Pulau Rempang. Luhut menekankan bahwa perkara tersebut selesai seiring dengan pengalaman pemerintah dalam menangani konflik lain di berbagai daerah. "Tidak juga, kita sudah pengalaman menyelesaikan konflik di Mandalika yang sudah puluhan tahun jadi selesai, juga Bandung Kertajati. Asal pendekatan baik, kita meneruskan aturan dengan baik, tidak ada yang boleh menang sendiri," papar Luhut, dikutip Jumat (29/9/2023).
Adapun Ombudsman menemukan potensi maladministrasi dalam upaya relokasi warga Pulau Rempang, yang terdampak rencana investasi pabrik kaca senilai Rp176 triliun. Sekadar informasi, pemerintah telah mencadangkan alokasi lahan di Pulau Rempang kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) seluas 17.000 hektar. Selain pabrik kaca yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2023, pulau tersebut akan dikembangkan sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata. "Terhadap pencadangan alokasi lahan ini tidak sesuai ketentuan, karena belum ada sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam," kata Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro di Batam, Selasa (19/9/2023). Berdasarkan temuan Ombdudsman di Pulau Rempang, menemukan sejumlah unsur penetapan kampung tua, yakni patok perkampungan tua, makam-makam tua, pohon-pohon budidaya lama berusia ratusan tahun, serta dokumen lama yang menandakan masyarakat telah lama bermukim di Rempang, bahkan sebelum Indonesia merdeka tahun 1945. (news.harianjogja.com, 29/9/2023)
Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan kasus Rempang Eco City sudah ditangani secara baik. Maka dari itu, ia meminta tidak perlu lagi dibesar-besarkan apabila ada kesalahan dalam penanganan di daerah Rempang, Kepulauan Riau.
Diawal mungkin kita membuat sedikit tidak pas, tapi niatnya semua baik. Sekarang tim yang ada di lapangan sudah menangani dengan baik,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah sudah berpengalaman menyelesaikan konflik lahan. Misalnya, kata dia, penanganan di Mandalika maupun di Kertajati, Bandung, Jawa Barat. “Asal pendekatan baik semua kita meneruskan aturan, jadi posisikan aturan dengan baik, tidak ada yang boleh menang sendiri, ya jalan tol, Bandung Kertajati itu puluhan tahun tidak selesai jadi selesai,” jelas dia. (VIVA.co.id, 29/9/2023)
Dari informasi di atas bisa kita cermati meski rencana relokasi sebagian warga Pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis (28/9/2023) urung dilaksanakan. Namun ternyata hal itu belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua. Hal ini makin membuat rakyat rempang semakin resah, pasalnya Proyek Rempang Eco City adalah salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang akan menjadikan seluruh wilayah Pulau Rempang dan sebagian Pulau Galang dan Subangmas sebagai kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi. Proyek ini dimaksudkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara. Bahkan dalam UU Ciptaker yang telah disahkan pemerintah beberapa waktu lalu semakin memudahkan penggunaan lahan untuk Proyek Strategis Nasional dalam rangka mendukung pembangunan infrastruktur.
Satrio Manggala yang merupakan Manager Kajian Hukum dan Kebijakan WALHI berpendapat bahwa aturan tersebut telah memberikan keistimewaan atas nama kepentingan umum untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat. Dan menurut dia, pemerintah belum melakukan evaluasi terhadap pendayagunaan uang ganti rugi atas tanah milik warga yang digunakan untuk kepentingan umum dalam aturan tersebut. Pasalnya, hal tersebut membuat masyarakat kerap kali kehilangan pekerjaan dan sumber pencahariannya, karena tanah yang biasanya digunakan untuk menghidupi kehidupannya sudah tak ada lagi. Kondisi ini ah yng sangat meresahkan bagi masyarakat Rempang.
Kasus ini merupakan Ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini, siapa sejatinya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa tanah atau kasus agraria. Bahkan cara-cara yang digunakan pemerintah dalam mengambil alih lahan warga seringkali tidak manusiawi. Sikap pemerintah ini semakin menunjukkan jati dirinya yang hakiki, yakni sebagai regulator yang hanya berpihak kepada kepentingan korporasi, bukan melayani rakyat. Inilah ketidakadilan penguasa yang menerapkan sistem kapitalisme. Dimana sistem kapitalisme hanya menjadikan rakyat sebagai korban proyek oligarki. Sebab pembangunan yang berlangsung lebih berpihak kepada oligarki, bukan melayani rakyat.
Akibat dari konflik agraria seperti ini banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri. Sehingga hal ini jelas sangat merugikan rakyat. Sebab rakyat hanya menerima ganti rugi dari pihak perusahaan atau negara, yang hal itu tidak sepadan dengan harga yang seharusnya. Akibatnya tanah yang sudah menjadi sumber penghidupan rakyat selama bertahun-tahun hilang dan tidak ada penggantinya. Dalam hal ini nampaklah bahwa negara sendiri abai terhadap penderitaan yang ditimbulkan oleh konflik agraria yang terjadi antara masyarakat yang lemah terhadap para kapitalis. Pasalnya, pihak investorlah yang sering dimenangkan pada konflik tersebut.
Kalau kita melihat dalam Islam, bagaimana islam menetapkan kedaulatan di tangan syara dan umat sebagai pemiliki kekuasaan. Dalam kasus sengketa lahan ini, sistem ekonomi kapitalisme di bawah sistem politik demokrasi telah melegalkan kebebasan kepemilikan. Artinya, siapa saja berhak memiliki tanah selama mereka mampu membelinya, sekalipun tanah tersebut mengandung kepemilikan umum yang harusnya bisa dimanfaatkan oleh seluruh rakyat. Hanya saja kebebasan tersebut pada faktanya tidak berlaku bagi orang miskin dan lemah. Inilah bukti bahwa demokrasi sejatinya telah membuka jalan bagi segelintir orang (pemilik modal) untuk mempengaruhi aturan-aturan negara. Pemimpin yang terpilih dalam sistem demokrasi dipilih untuk membuat hukum.
Alhasil, penguasa tersebut dipastikan akan condong kepada pihak yang memberikan modal untuk berkuasa. Pasalnya, untuk menjadi pemimpin membutuhkan dana yang tidak sedikit. Di sinilah muncul hutang budi politik yang meniscayakan para penguasa terpilih untuk membuat aturan yang pro terhadap para kapitalis. Sedangkan islam telah menetapkan kedaulatan di tangan syara, bukan di tangan umat. Sedangkan kekuasaan dalam Islam berada di tangan umat. Rakyat tidak memiliki wewenang sama sekali membuat hukum, meskipun dia adalah pemimpin. Siapa pun pemimpin yang terpilih dalam Khilafah wajib menerapkan syariat Islam, bukan yang lain. Sebab sejatinya, pemimpin dalam Islam dibaiat oleh umat untuk mengurusi urusan umat dengan syariat Islam saja.
Islam juga menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk mengatur pengelolaan tanah sesuai syariat Islam hingga tidak terjadi sengketa lahan. Negara tidak boleh hanya bertindak sebagai regulator yang menyebabkan terjadinya penguasaan lahan oleh segelintir pihak.
Dan dalam Syariat Islam memiliki konsep pertanahan yang khas yang sangat berbeda dengan konsep pertanahan dalam sistem kapitalisme. Konsep ini akan menghilangkan kezaliman antara satu pihak dengan pihak lain, sekalipun pihak lain itu adalah pihak yang lemah. Sebagaimana dalam hadis berikut :“Imam (Khalifah) adalah raaín (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al-Bukhari). Berdasarkan hadits tersebut, negara dalam Islam yakni Khilafah, harus hadir secara benar di tengah masyarakat yang sesuai dengan aturan Allah Subhanahu wa ta'ala. Negara harus hadir sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyatnya melalui penerapan syariat Islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan.
Sehingga dalam masalah Rempang ini harus didudukkan kembali sesuai dengan aturan Allah.
Islam menegaskan bahwa setiap lahan atau tanah sudah memiliki status kepemilikan yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Ada tiga jenis kepemilikan tanah: Pertama, tanah yang boleh dimiliki oleh individu, yaitu tanah pertanian atau ladang perkebunan. Kedua, tanah yang merupakan kepemilikan umum, yaitu tanah yang di dalamnya terdapat harta milik umum, seperti tanah hutan, tambang, dan berbagai infrastruktur umum. Islam melarang penguasaan atau privatisasi yang diberikan kepada korporasi atas tanah milik umum. Sebab hal tersebut akan menghalangi akses bagi orang lain untuk memanfaatkan tanah tersebut yang memicu terjadinya konflik. Ketiga adalah tanah milik negara, yakni tanah yang tidak berpemilik, atau tanah yang yang di atasnya terdapat bangunan milik negara. Tanah ini wajib dikelola oleh negara sepenuhnya. Kepemilikan tanah di dalam Islam harus sejalan dengan pengelolaannya. Islam menetapkan bahwa ketika ditemukan suatu tanah yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang terhadapnya, maka siapa pun boleh memiliki tanah tersebut selama dia mau mengelolanya. Sebaliknya, ketika suatu tanah yang sah dimiliki seseorang namun sudah ditelantarkan hingga 3 tahun, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut otomatis akan hilang dan menjadi milik negara.
Syariat Islam juga menetapkan bahwa negara boleh saja mengambil tanah rakyat untuk kepentingan umum (publik) dengan keridhaan pemilik tanah dan dengan memberikan ganti untung yang tidak membuat rakyat kesusahan. Sungguh, hanya Islam yang memiliki solusi atas segala konflik agraria dalam sistem kapitalisme dan aturan Islam ini hanya bisa berlaku dalam negara yang menerapkan Islam kaffah. Keadilan Islam dalam problem sengketa lahan sebagaimana yang terjadi di Rempang sungguh pernah terjadi sekitar 13 abad yang lalu di masa Khilafah Islam. di zaman pemerintahan Umar radhiyallahu ‘anhu. Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu selaku Gubernur (Wali) Mesir saat itu membangun sebuah masjid besar. Namun, sebagian kecil lahannya milik seorang Yahudi. Oleh Ibnu Ash, proyek pembangunan masjid itu tetap dilanjutkan. Orang Yahudi itu pun tidak terima dan mengirimkan surat kepada pemimpin besar Umar bin Khattab di Madinah. Proyek itu pun dibatalkan. Maka sungguh solusi islam bisa dijadikan sebagai sumber referensi nilai-nilai sistemik mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan mengenyahkan segala kepentingan hanya untuk kemakmuran rakyat.
Islam juga menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Islam menetapkan bahwa negara adalah pihak yang diberi tanggung jawab untuk mengatur pengelolaan tanah sesuai syariat Islam hingga tidak terjadi sengketa lahan. Negara tidak boleh hanya bertindak sebagai regulator yang menyebabkan terjadinya penguasaan lahan oleh segelintir pihak.
Dan dalam Syariat Islam memiliki konsep pertanahan yang khas yang sangat berbeda dengan konsep pertanahan dalam sistem kapitalisme. Konsep ini akan menghilangkan kezaliman antara satu pihak dengan pihak lain, sekalipun pihak lain itu adalah pihak yang lemah. Sebagaimana dalam hadis berikut :“Imam (Khalifah) adalah raaín (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al-Bukhari). Berdasarkan hadits tersebut, negara dalam Islam yakni Khilafah, harus hadir secara benar di tengah masyarakat yang sesuai dengan aturan Allah Subhanahu wa ta'ala. Negara harus hadir sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyatnya melalui penerapan syariat Islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan.
Sehingga dalam masalah Rempang ini harus didudukkan kembali sesuai dengan aturan Allah.
Islam menegaskan bahwa setiap lahan atau tanah sudah memiliki status kepemilikan yang ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta'ala. Ada tiga jenis kepemilikan tanah: Pertama, tanah yang boleh dimiliki oleh individu, yaitu tanah pertanian atau ladang perkebunan. Kedua, tanah yang merupakan kepemilikan umum, yaitu tanah yang di dalamnya terdapat harta milik umum, seperti tanah hutan, tambang, dan berbagai infrastruktur umum. Islam melarang penguasaan atau privatisasi yang diberikan kepada korporasi atas tanah milik umum. Sebab hal tersebut akan menghalangi akses bagi orang lain untuk memanfaatkan tanah tersebut yang memicu terjadinya konflik. Ketiga adalah tanah milik negara, yakni tanah yang tidak berpemilik, atau tanah yang yang di atasnya terdapat bangunan milik negara. Tanah ini wajib dikelola oleh negara sepenuhnya. Kepemilikan tanah di dalam Islam harus sejalan dengan pengelolaannya. Islam menetapkan bahwa ketika ditemukan suatu tanah yang tidak tampak ada kepemilikan seseorang terhadapnya, maka siapa pun boleh memiliki tanah tersebut selama dia mau mengelolanya. Sebaliknya, ketika suatu tanah yang sah dimiliki seseorang namun sudah ditelantarkan hingga 3 tahun, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut otomatis akan hilang dan menjadi milik negara.
Syariat Islam juga menetapkan bahwa negara boleh saja mengambil tanah rakyat untuk kepentingan umum (publik) dengan keridhaan pemilik tanah dan dengan memberikan ganti untung yang tidak membuat rakyat kesusahan. Sungguh, hanya Islam yang memiliki solusi atas segala konflik agraria dalam sistem kapitalisme dan aturan Islam ini hanya bisa berlaku dalam negara yang menerapkan Islam kaffah. Keadilan Islam dalam problem sengketa lahan sebagaimana yang terjadi di Rempang sungguh pernah terjadi sekitar 13 abad yang lalu di masa Khilafah Islam. di zaman pemerintahan Umar radhiyallahu ‘anhu. Amr bin Ash radhiyallahu ‘anhu selaku Gubernur (Wali) Mesir saat itu membangun sebuah masjid besar. Namun, sebagian kecil lahannya milik seorang Yahudi. Oleh Ibnu Ash, proyek pembangunan masjid itu tetap dilanjutkan. Orang Yahudi itu pun tidak terima dan mengirimkan surat kepada pemimpin besar Umar bin Khattab di Madinah. Proyek itu pun dibatalkan. Maka sungguh solusi islam bisa dijadikan sebagai sumber referensi nilai-nilai sistemik mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan mengenyahkan segala kepentingan hanya untuk kemakmuran rakyat.