Rempang Bergolak, Demi Kepentingan Oligarki?

Oleh : Epi Lisnawati


Rakyat Rempang menangis pilu saat tanah leluhur mereka yang sudah ditempati ratusan tahun diambil paksa. Dalam catatan sejarah masyarakat pulau Rempang sudah tinggal di sana sejak tahun 1600-an, yaitu masa kesultanan Johor. Masyarakat Rempang tentu menolak maka konflik pun pecah. 

Konflik pulau Rempang ini berawal saat otoritas Batam menunjuk PT Makmur Elok Graha ( MEG), anak perusahaan group Artha Graha milik Taipan Tomy Winata, sebagai pemilik konsesi pulau itu sebagai kawasan terpadu ekslusif pada tahun 2001. Nota kesepakatan BP Batam (wakil pemerintah) dan PT MEG pada tahun 2004 menyebut konsesi tersebut berlaku selama 80 tahun. 

Perpanjangan kawasan, izinnya harus diurus oleh PT MEG pada tahun ke-20 berarti harus diurus pada tahun 2024 , dan diperpanjang lagi pada tahun 2050. Perpanjangan izin ini bisa dilakukan jika ada aktivitas yang dilakukan, namun jika tidak ada aktivitas maka perpanjangan izin bisa ditolak. Oleh karena itu, pemilik PT MEG yaitu Tomy Winata segera mencari investor agar bisa membangun kawasan Rempang secepatnya sebelum tahun 2024.

PT MEG berhasil menggandeng Xinyi group sebagai investor untuk membangun Rempang. Rencananya akan dibangun proyek Rempang Eco City. Rempang Eco City adalah proyek kawasan ekonomi baru yang ada di kawasan Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Rencananya Rempang Eco City akan memiliki kawasan industri, kawasan perdagangan dan kawasan wisata terintegrasi. Xinyi group menggelontorkan dana senilai Rp 174 triliun.

Pada 28 Juli 2023 lalu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia disaksikan Presiden Joko Widodo menandatangani MoU rencana investasi US$11,5 miliar dari Xinyi Glass di Chengdu, Tiongkok. Rencananya Xinyi Glass akan memproduksi Panel Surya menggunakan bahan dari dalam negeri dan diekspor melalui Batam. Dalam laporan yang sama, disebutkan luasan wilayah Rempang Eco City adalah 17.000 hektar yang mencakup tiga pulau yaitu Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Sempoko dengan masa konsesi 80 tahun. (Narasi TV.com. 13 September 2023)

Menurut laporan BP Batam, nilai investasi Rempang Eco City ditaksir mencapai Rp381 triliun hingga 2080. Rempang Eco City diharapkan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Kota Batam dan kabupaten di sekitarnya. Pengembangan Rempang Eco City juga dapat menyerap 306.000 tenaga kerja. 

Untuk mempercepat realisasi proyek ini selanjutnya pemerintah pusat langsung mengintruksikan kepada Badan Pengusaha (BP) Batam agar segera mengosongkan pulau Rempang sebelum tanggal 28 September 2023. Pada saat itu belum ada persiapan sama sekali bagi relokasi warga Rempang , belum ada rumah dan juga belum ada anggaran. Maka untuk melaksanakan instruksi pemerintah ini langkah cepat yang diambil yaitu kebijakan represif mengusir paksa warga Rempang untuk keluar dari tanah kelahirannya.

BP Batam mengerahkan 1.000 pasukan gabungan dalam pengamanan rencana kegiatan pematokan tata batas di Pulau Rempang (7/9). Hal ini sontak menuai protes dari masyarakat Rempang. Warga tidak terima tanahnya diambil. Mereka berusaha untuk mempertahankan tanahnya. Masyarakat menolak direlokasi hingga terjadi bentrokan antara masyarakat dengan tim terpadu di jembatan IV Barelang. Bentrokan terjadi akibat aparat yang akan memasang tapal batas dihadang warga.

Langkah berikutnya untuk memuluskan proyek ini yaitu pemerintah yang diwakili oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartanto memasukan proyek Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional 2023. Hal ini diatur dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional yang disahkan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto 28 Agustus 2023 lalu.

Pemerintah terus berdalih agar proyek ini segera dilaksanakan. Pemerintah mengklaim tanah di Pulau Rempang seluas 17 ribu hektar adalah milik PB Batam. Penduduk Rempang tidak punya hak kepemilikan atas tanah mereka karena tidak memiliki sertifikat. Pemerintah menggunakan konsep kebijakan ala kolonialis Belanda domein verklaring yaitu "negaraisasi" lahan. Negaraisasi lahan artinya lahan yang tidak memiliki bukti kepemilikan secara otomatis beralih menjadi milik negara.

Maka terlihat jelas pemerintah sangat berpihak kepada para investor dan menzalimi rakyatnya sendiri. Inilah bukti nyata negeri ini merupakan negara korporatokrasi. Negara dan para pejabatnya telah menjadi alat perusahaan swasta atau korporat untuk kepentingan bisnis mereka. Maka sejatinya bukan rakyat yang berdaulat tapi para korporat. Dalam sistem sekuler liberal hal ini merupakan suatu keniscayaan. Para pengusaha diuntungkan sedangkan rakyat dizalimi.

Berbeda sekali dengan sistem Islam, syariat Islam melindungi semua harta masyarakat termasuk melindungi tanah atau lahan milik rakyat. Rakyat boleh memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah bersabda : "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain) (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
 
Alhasil hanya sistem Islamlah yang akan melindungi rakyat termasuk melindungi harta-harta milik rakyat. Islam memberikan perlindungan yang paripurna dan berkeadilan. Maka sudah saatnya syariat Islam diterapkan secara kafah dalam semua lini kehidupan, niscaya rakyat akan hidup tenang dan sejahtera . 

Wallahu'alam Bissawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak