Oleh: Zahrul Hayati
Ungkapan keluarga adalah benteng terakhir pertahanan, penyelamatan generasi, dan perceraian, dari gempuran-gempuran sekulerisme dan liberalisme, sudah tidak relevan lagi.
Oleh karena itu secara individual dan keluarga sudah saatnya memahami Islam secara kaffah agar pondasi keluarga kokoh dan kuat.
Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof. Dr. Kamaruddin Amin menyampaikan bahwasanya angka perceraian setiap tahun di Indonesia berjumlah 516 ribu pasangan. Dia mengatakan, kini angka perceraian mengalami peningkatan dan angka pernikahan menurun.
"Ada kenaikan angka perceraian di Indonesia, menjadi 516 ribu setiap tahunnya. Sementara angka pernikahan semakin menurun dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun," kata dia dalam agenda Rakornas Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) 2023, di Jakarta, Kamis (21/9/2023)
Kamaruddin mengatakan, jumlah itu tergolong fantastis. Sehingga untuk menanganinya membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk Baznas. Dia mengungkapkan, ini fakta yang akan menimbulkan masalah sistemik. Sehingga, dibutuhkan bimbingan atau konsultasi keluarga yang dilaksanakan oleh para penghulu di seluruh wilayah Indonesia dan juga penyuluh-penyuluh agama (Republika.co.id, 21/9/2023).
Rusaknya ketahanan keluarga begitu nyata didepan mata. Ini terlihat dari tidak berjalannya fungsi keluarga secara baik dan efektif. Ditambah lagi banyaknya persoalan yang membelit keluarga hari ini. Harus di akui memang semua ini merupakan tanda-tanda dan fakta kerusakan keluarga.
Wajar bila Indonesia disebut menempati urutan ketiga dunia sebagai faktor father less country (negara yang mengalami krisis ayah). Dampaknya tumbuh kembang anak luput dari perhatian dan bimbingan orang tua.
Ungkapan keluarga adalah benteng terakhir pertahanan, penyelamatan generasi, dan perceraian, dari gempuran-gempuran sekulerisme dan liberalisme, sudah tidak relevan lagi. Oleh karena itu secara individual dan keluarga saatnya memahami Islam secara kaffah agar pondasi keluarga kokoh dan kuat.
Adapun penyebab perceraian didominasi oleh permasalahan ekonomi, yakni sebesar 60 persen dari total kasus perceraian yang ada. Sebagian lagi oleh aktivitas di media sosial (medsos) yang mengarah hadirnya orang ketiga, dan kekerasan dalam rumah tangga.
Berbagai upaya sudah dilakukan, perangkat undang-undang pun dikeluarkan. Ada UU perkawinan, UU P-KDRT, UU T- PKS, hingga berbagai program, alih-alih menyolusi persoalan keluarga, jauh panggang dari api, yang terjadi malah angka pengajuan perceraian makin terus meningkat setiap tahunnya
Jika dilihat faktor utama gugat cerai adalah faktor kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan disebabkan aktivitas di media sosial (medsos) yang mengarah hadirnya orang ketiga, narkoba, Ini semua akibat dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang kekayaan hanya berputar pada para pemilik modal dan penguasa /pejabat sehingga rakyat sulit mengakses ekonomi untuk diri dan keluarga. PHK massal di mana-mana dan terjadilah pengangguran yang berdampak ekonomi rakyat, apa lagi pasca pandemi ekonomi rakyat nyungsep collaps. Jadi bila ditarik benang merahnya masalah perceraian adalah didominasi masalah ekonomi yang dipicu pertengkaran berujung kekerasan dalam rumah tangga.
-
Sekularisme Biang Masalahnya
-
Tingginya angka perceraian saat ini tidak terlepas dari penerapan sistem Kapitalisme Sekulerisme yang mengatur kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan hidup yang sangat tinggi menyebabkan munculnya persoalan ekonomi, gizi buruk, gaya hidup hedonis, yang mendorong terjadinya perceraian. Dan tidak berjalannya fungsi suami dan istri seperti yang diinginkan oleh Islam, pun dapat memicu terjadinya perceraian.
Akibatnya masyarakat "rawan" depresi (stress) yang berujung kekerasan dalam rumah tangga atau melarikan diri pada judi, minuman beralkohol, narkoba hingga seks bebas.
-
Solusi Islam
-
Islam memiliki aturan yang sempurna untuk mengatur kehidupan individu, masyarakat dan negara.
Kehidupan suami-istri pun diatur oleh Islam. Bagaimana suami-istri dapat menunaikan hak dan kewajibannya, bagaimana menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah (samara) seperti yang dicita-citakan setiap rumah tangga.
Siapapun memahami bahwa aktivitas kekerasan merupakan hal yang dilarang, termasuk kekerasan suami terhadap isteri. Tak sepatutnya seorang suami menyakiti istrinya.
Islam melarang seorang suami memberikan perlakuan buruk kepada istrinya, sekalipun dalam rangka ta'dib atau mendidik istri, semisal kasus istri yang nusyuz, maka seluruhnya harus mengikuti aturan yang telah ditetapkan syara'. Ulama menjelaskan dengan pukulan ringan yang tidak meninggalkan bekas, dengan menggunakan siwak.
Sudah selayaknya kepada para suami agar mereka memperlakukan istrinya dengan baik, hendaknya suami berbicara dengan bahasa yang lembut dan menghindari kata-kata kasar dan apa lagi dengan caci maki yang bisa menyakiti istri. Selain itu, agar selalu bersabar dalam menasihatinya serta tidak menyakitinya.
Sebagai junnah, negara juga mesti hadir menjaring sistem informasi. Konten konten rusak dan merusak serta nirfaedah wajib diberantas. Hal itu hanya bisa dilakukan oleh negara yang teguh menerapkan Syari'at Islam, dan tidak tersandera oleh kepentingan bisnis pihak manapun.
Negara wajib melindungi dan membentengi rakyat dari segala macam bahaya, bukan hanya bahaya berupa penjajahan fisik, tetapi juga pemikiran maupun budaya yang merusak. Terbukti ide-ide sekuler liberal dari barat yang merusak generasi.
Rasulullah Saw. selalu mengingatkan kita bahwa kehidupan rumah tangga akan selalu berhias ketika pasutri menjadikan Islam sebagai pegangan hidup. Ini resep paling penting yang harus dipahami pasutri. Kebahagiaan pernikahan bukan sekedar tercukupinya kebutuhan fisik dan materi, seperti sandang, pangan dan tempat tinggal. Perkara ini memang diperlukan, tetapi ada hal penting lainnya yang sering kali dilupakan para pasutri yaitu ketentraman hati, kedekatan emosional, dan aspek ruhiyah. Ketiga hal ini sejatinya menjadi nutrisi utama untuk menghadirkan romantisme terindah yang dibutuhkan pasutri dalam rumah tangga.
Ini bukanlah ilusi atau utopia. Karena bangunan keluarga yang sakinah mawadah warahmah pada masyarakat mudah di wujudkan ketika bangunan syariah Islam diterapkan dalam naungan Khilafah selama kurang lebih 13 abad.
Inilah harapan satu-satunya untuk keluar dari kemelut persoalan keluarga yang rapuh dan menjaga keselamatan generasi.
Wallahu a'lam Bishawwab.
Tags
Opini