Oleh : Kai Zhen
Pelanggaran Tipiring Miras di Boyolali
Penjual miras berinisial MT, telah menjalani sidang tindak pidana ringan (tipiring), di Pengadilan Negeri Boyolali. Sidang tersebut berlangsung pada Jumat (20/10/2023) sedangkan penjual miras berinisial SK menjalani sidang pada Rabu siang (25/10/2023). Sebelumnya, kedua orang tersebut berjualan miras di Desa Mojolegi, Kecamatan Teras. Mendapat laporan dari warga, Satresnarkoba Boyolali langsung bertindak.
Dari dua penjual miras tersebut, tercatat Satresnarkoba Polres Boyolali berhasil mengamankan barang bukti dari penjual inisial MT sebanyak 937 botol minuman beralkohol berbagai merek, sedangkan dari penjual miras inisial SK sebanyak 2.482 botol minuman beralkohol tanpa merek dan 5 drigen kemasan @20 Liter.
Kapolres Boyolali AKBP Petrus P Silalahi mengatakan, penjual miras tersebut telah melanggar Perda Nomor 5/2016, tentang ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dalam wilayah Kabupaten Boyolali.
“Tidak diperkenankan seorang menjual minuman beralkohol tanpa dilengkapi surat ijin yang syah dari pemerintah daerah. Karena sudah ada perda yang berlaku, dan kami ajukan MT dan SK ke Pengadilan Negeri Boyolali,” katanya dalam rilis tertulis pada Rabu (25/10/2023) malam. (joglosemarnews.com 27 Oktober 2023)
Pangkal Pelanggaran Pengedaran Miras
Peredaran miras di bumi pertiwi masih dalam fase dilematis sebab meski miras dianggap sebagai salah satu akar penyebab terjadinya tindak kriminal lainnya seperti : pencurian, perampokan, pemerkosaan, pembunuhan dan lain-lain di mana pada umumnya diawali dari kebiasaan meminum alkohol secara berlebihan namaun di sisi lain adanya produksi miras menjadi salah satu ladang pendapatan negara melalui pajaknya yang cukup menggiurkan. per 1 Januari 2019, pemerintah melakukan penyesuaian atas tarif cukai atas minuman beralkohol tersebut yang tertuang pada Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 158/PMK.010/2018 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol.
Adapun tarif-tarifnya adalah:
1. Untuk semua jenis etil alkohol dengan kadar berapapun dikenakan tarif sebesar Rp20.000/liter.
2. Sementara itu, untuk minuman mengantung etil alkohol digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
• Golongan A (kadar di bawah 5%) sebesar Rp15.000/liter untuk produksi dalam negeri maupun impor.
• Golongan B (kadar 5%-20%) sebesar Rp33.000/liter untuk produksi dalam negeri dan Rp44.000/liter untuk produksi impor.
• Golongan C (kadar di atas 20%) sebesar Rp80.000/liter untuk produksi dalam negeri dan Rp139.000/liter untuk produksi impor.
3. Untuk konsentrat yang mengantung etil alkohol dalam bentuk padat atau cair dengan kadar berapapun, dikenakan Rp1.000/gram dengan berat jenis 0,7892 kg/liter.
Inilah yang menimbulkan dilematis tersebut sehingga pelarangannya secara total menjadi tidak mungkin dilakukan. Hal yang memungkinkan hal ini terjadi adalah dorongan dalam mengukir aturan tersebut bukan sekedar untuk kebaikan seluruh warga negara melainkan tentang bagaimana sebuah produsen yang memiliki modal dapat memberikan sumbangsioh materi terhadap negara.
Sementara dalam ekonomi yang fokus pada individual right (Kapitalisme) tentunya seorang pemilik modal akan melihat peluang usaha hanya berdasarkan supply dan demand-nya saja tidak peduli apakah itu bersifat merusak terhadap tubuh manusia aau tidak selagi permintaanya tinggi maka akan tetapmenjadi peluang usaha yang diutamakan. Itulah mengapa hingga kini produksi miras masih dianggap sebagai salah satu peluang usaha oleh sebagian pemilik modal. Toh pelarangannya tidak terjadi secara total dan lagi penyidik maupun penyelidik masih mudah dihindari dengan penyelesaian diluar pengadilan menggunakan politik tutup mulut.
Politik tutup mulut (baca : suap) memang merupakan tindakan yang melanggar norma yang berlaku. Berlakunya sebuah norma di suatu tempat kini sudah mulai anggap wajar pelanggarannya salah satu sebabnya adalah karena norma agama tidak lagi dianggap sebagai suatu yang padu dengan kehidupan sehari-hari (sekulerisme). Sehingga orang tidak lagi memikirkan bahwa konsekuensi atas sebuah perbuatan adalah antara dosa dan pahala.
Penyelesaian Miras Secara Tuntas
Miras adalah induk dari kejahatan menurut pandangan Islam sehingga untuk menciptakan kehidupan yang aman, salah satu yang harus ditegakkan adalah pelarangan miras, baik pelarangan produksinya, konsumsinya, juga distribusinya.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra., Nabi saw. bersabda,
“Minuman keras itu induk dari hal-hal yang buruk, siapa yang meminumnya, maka salatnya tidak diterima selama empat puluh hari, jika ia meninggal sedangkan minuman keras berada di dalam perutnya, maka ia akan meninggal dunia dalam keadaan jahiliah.” (HR Thabrani)
Allah telah jelas melarang peredaran miras hingga yang terkena dosa bukan hanya bagi yang mengkonsumsi saja, melainkan juga produsennya dan orang-orang yang terlibat di dalam peredarannya, seperti kurir yang turut melancarkan distribusi miras, orang yang mengambil untung dari penjualan miras, kuli angkutnya, yang mengoplosnya, dan lain-lain.
“Allah melaknat khamar (minuman keras), peminumnya, penuangnya, yang mengoplos, yang minta dioploskan, penjualnya, pembelinya, pengangkutnya, yang minta diangkut, serta orang yang memakan keuntungannya.” (HR Ahmad)
Untuk menciptakan masyarakat yang bebas dari miras, bukan hanya diberlakukan larangan secara mutlak, tetapi juga harus dibangun pemahaman pada diri umat bahwa miras adalah benda yang haram karena zatnya. Dengan demikian, umat akan menjauhkan dirinya dari hal tersebut sekalipun seolah-olah mendatangkan manfaat bagi dirinya.
Begitu pun sistem sanksi dalam Islam, akan sangat menjerakan pelaku. Ali ra. berkata,
“Rasulullah saw. mencambuk peminum khamar sebanyak 40 kali. Abu bakar juga 40 kali. Sedangkan Utsman 80 kali. Kesemuanya adalah sunah. Namun, yang ini (80 kali) lebih aku sukai.” (HR Muslim)
Adapun pihak selain peminum khamar dikenai sanksi takzir, yaitu sanksi yang hukumannya diserahkan kepada khalifah atau Qadi yang akan memberikan hukuman yang menjerakan dan sesuai dengan ketentuan syariat. Sehingga kita dapati penyebab angka kriminalitas yang kian memprihatinkan juga peredaran miras yang seolah tiada habisnya adalah karena sikap keinginan memenuhi semua keinginan tanpa batas dan mencapainya dengan segala cara atau sikap hedonisme yang sudah membudaya akibat cengkeraman aturan kapitalisme yang memproduksi kebijakan yang ditakar berdasarkan jumlah keuntungan yang kelak didapatkan oleh negara melalui para stakeholder-nya. Kesemuanya ini lantaran mesin pemroses regulasi yang ada telah using dan harus segera digantikan oleh peraturan dari Yang Maha Pengatur (Syariat). Sebab agama harus senantiasa terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari dalam naungan institusi Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah.
Wallahu A’lam Bish Showwab
Tags
Opini