Oleh. Lilik Yani
Mau untung besar? Carilah dengan harta kekayaan yang benar, sesuai aturan Allah. Bukan dengan cara curang, seperti mengurangi timbangan. Muslim tetap memperhatikan cara harta didapatkan. Tetap semangat, jaga harta halal yang penuh rahmat Allah.
**
Demi meraup keuntungan besar, salah satu cara yang dilakukan pedagang adalah bermain curang dalam hal timbangan. Padahal bermain curang seperti ini, akan mendapatkan ancaman dari Allah SWT. (Merdeka.com, 17/5/17)
Anda pernah belanja ke pasar tradisional ? Ketika membeli daging, ikan, ataupun lauk yang lainnya. Penjual menghadapkan timbangan itu kearahnya. Kita bukannya berburuk sangka, terkadang banyak ulah pedagang yang kelakukannya tidak wajar. Misal, ketika kita beli ikan setengah kilo, pedagang menimbang satu ekor ikan, dan dia katakan sudah cukup setengah kilo. Tanpa melihatkan timbangan itu kepada pembeli. Kita bisa memprediksi jika berat ikan itu tidak sampai setengah kilo.
Begitu juga dengan harga yang ditawarkannya, jika ikan yang kita pilih lebih dari setengah kilo, dia malah meminta bayaran yang lebih dari harga biasa. Coba kalau ikannya tidak sampai setengah kilo, mereka hanya diam dan tetap mengambil uang kita dengan harga setengah kilonya. (Gurusiana.com, 14/4/23)
Islam dengan kesempurnaan, kemuliaan dan keluhuran ajarannya, memerintahkan umatnya untuk menjalin muamalah dengan sesama atas dasar keadilan dan keridhaan. Di antaranya, dengan menyempurnakan timbangan dan takaran.
Hindari Mengurangi Takaran
Pernahkah saat berbelanja sesuatu ternyata jumlah takarannya tidak sesuai dengan semestinya? Misalnya, membeli gas 3 kg untuk memasak, rupanya saat dipasangkan ke regulator tidak sesuai dengan jumlahnya. Atau misalnya hendak membeli terigu curah 1 kg, tapi ternyata saat ditimbang ulang di rumah kurang takarannya 2 ons. Perbuatan tersebut merupakan bentuk kecurangan.
Mengurangi takaran berarti menakar kurang dari semestinya atau menimbang/mengukur kurang dari ukuran sebenarnya. Orang-orang yang melakukan kecurangan seperti ini rupanya sangat buruk di sisi Allah Swt.
“Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (Q.S. Al-Muthafifin: 1-3).
Dari ayat di atas, melakukan kecurangan (mengurangi takaran) merupakan sifat yang tercela. Selain tercela, juga bisa mencelakakan pembeli (dengan membuat pembeli rugi dan terzalimi) serta mencelakakan dirinya (penjual) sendiri.
Penjual akan celaka karena kecurangan yang dilakukannya sejatinya akan kembali menimpanya sendiri, ia pun akan merugi. Seperti sebuah pepatah, “Apa yang ditanam, maka itulah yang akan dituai.” Jika seseorang melakukan keburukan, maka keburukan itu akan kembali pada dirinya sendiri dan mungkin dalam bentuk jenis keburukan yang lain.
Rasulullah saw. dalam hadits riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas bersabda, “Lima perkara dibalas dengan lima perkara. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah apakah lima perkara dengan lima perkara itu?’ Rasul saw. bersabda, ‘Satu kaum yang melanggar janji Allah, pasti Allah akan jadikan mereka dikuasai musuhnya, dan mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah, pasti kemelaratan tersebar di tengah-tengah mereka, dan bilamana zina telah berkembang, maka Allah pasti menurunkan bencana yang membawa kematian mereka (tha’un), dan mereka yang mengurangi timbangan, pasti akan terkurangi tanaman mereka dan ditimpa oleh bencana musim, dan mereka yang tidak mau membayar zakat, pasti hujan akan Allah tahan dari mereka.’”
Allah Swt. menyuruh kita untuk berlaku jujur, termasuk dalam hal jumlah timbangan/takaran. Di dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah, Rasulullah saw. bersabda, “Timbanglah dan sempurnakanlah timbangan dengan benar.”
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu ( ar-Rahmân / 55 : 9 )
Perhatikan Anak Yatim, Jangan Kurangi Timbangan!
QS. Al-An’am Ayat 152
وَلَا تَقۡرَبُوۡا مَالَ الۡيَتِيۡمِ اِلَّا بِالَّتِىۡ هِىَ اَحۡسَنُ حَتّٰى يَبۡلُغَ اَشُدَّهٗ ۚ وَاَوۡفُوۡا الۡكَيۡلَ وَالۡمِيۡزَانَ بِالۡقِسۡطِ ۚ لَا نُـكَلِّفُ نَفۡسًا اِلَّا وُسۡعَهَا ۚ وَاِذَا قُلۡتُمۡ فَاعۡدِلُوۡا وَلَوۡ كَانَ ذَا قُرۡبٰى ۚ وَبِعَهۡدِ اللّٰهِ اَوۡفُوۡا ؕ ذٰ لِكُمۡ وَصّٰٮكُمۡ بِهٖ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُوۡنَ
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat."
Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim seperti melakukan hal-hal yang mengarah kepada pengambilan hartanya dengan alasan yang dibuat-buat kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan seperti menginvestasikannya agar berkembang, atau menjaga agar keutuhannya terjamin, termasuk juga membayar zakatnya jika telah mencapai satu nisab sampai dia mencapai usia dewasa.
Usia dewasa ditandai ketika anak yatim telah mampu mengelola hartanya sendiri dengan baik, dengan cara mengujinya terlebih dahulu. Pada saat inilah seorang pengelola harta anak yatim diperintahkan untuk menyerahkan hartanya itu. Pada saat penyerahan, perlu disaksikan oleh saksi yang adil sebagai pertanggungjawaban administrasi.
Segala benih kecenderungan untuk mengambil harta anak yatim harus dicegah sejak awal kemunculannya.
Sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Tidak boleh merekayasa untuk mengurangi takaran atau timbangan dalam bentuk apa pun. Namun demikian, karena untuk tepat 100 % dalam menimbang adalah sesuatu yang sukar, maka Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, agar jangan sampai hal itu menyusahkan kedua belah pihak: pembeli dan penjual.
Penjual tidak diharuskan untuk menambahkan banrang yang dijual, melebihi dari kewajibannya, pembei juga perlu berlega hati jika ada sedikit kekurangan dalam timbangan karena tidak sengaja. Ayat ini menunjukkan bahwa agama Islam tidak ingin memeberatkan pemeluknya.
Apabila kamu berbicara, seperti pada saat bersaksi atau memutuskan hukum terhadap seseorang, bicaralah sejujurnya. Sebab, kejujuran dan keadilan adalah inti persoalan hukum.
Kejujuran dan keadilan harus tetap dapat kamu tegakkan sekalipun dia, yang akan menerima akibat dari hukuman tersebut, adalah kerabat-mu sendiri. keadilan hukum dan kebenaran adalah di atas segalanya. Jangan sampai keadilan hukum terpengaruh oleh rasa kasih sayang terhadap keluarga. Semua itu bertujuan agar masyarakat bisa hidup damai, tenang, dan tenteram.
Penuhilah janji Allah, yaitu janji untuk mamatuhi ketentuan yang digariskan oleh-Nya, baik dalam bidang ibadah, muamalah, maupun lainnya. Memenuhi janji ini akan mendatangkan kebaikan bagi manusia.
Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat dengan melakukan apa yang diperintahkan dan menghindari segala larangan, atau agar kamu sekalian saling membantu.
Adapun larangan mendekati harta anak yatim, maksudnya, siapapun tidak boleh mendekati, menggunakan atau memanfaatkan harta anak yatim, baik dari pihak wali maupun dari pihak lain kecuali pendekatan itu bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan harta anak yatim.
Jika anak yatim itu sudah dewasa barulah diserahkan harta tersebut kepadanya. Mengenai usia, para ulama menyatakan sekitar 15-18 tahun atau dengan melihat situasi dan kondisi anak, mengingat kedewasaan tidak hanya didasarkan pada usia tapi pada kematangan emosi dan tanggung jawab sehingga bisa memelihara dan mengembangkan hartanya dan tidak berfoya-foya atau menghamburkan warisannya.
Tentang keharusan menyempurnakan takaran dan timbangan, perintah ini berulang kali disebutkan pada beberapa surah dalam Al-Qur'an dengan bermacam cara, bentuk dan hubungannya dengan persoalan yang bermacam-macam pula, antara lain firman Allah:
Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (al-Isra'/17: 35)
Perintah Tuhan untuk menyempurnakan takaran dan timbangan adalah sekadar menurut kemampuan yang biasa dilaksanakan dalam soal ini, karena Tuhan tidak memberati hamba-Nya melainkan sekadar kemampuannya. Yang penting tidak ada unsur atau maksud penipuan.
Yang dimaksud tentang keharusan berkata dengan adil kendati pun terhadap keluarga ialah setiap perkataan terutama dalam memberikan kesaksian dan putusan hukum. Dan ini sangat penting bagi setiap pembangunan terutama di bidang akhlak dan sosial, tanpa membedakan orang lain dengan kaum kerabat. Hal ini telah diterangkan pula dalam firman
Janji Allah untuk pertumbuhan Ilmu.
Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar. (al-Fath/48: 29)
Adapun yang dimaksud dengan janji Allah, ialah semua janji baik terhadap Tuhan seperti firman Allah:
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu. (Yasin/36: 60)
Firman Allah yang lain:
Dan orang-orang yang menepati janji apabila berjanji. (al-Baqarah/2: 177)
Ayat ini diakhiri dengan ungkapan "semoga kamu ingat", sebab semua perintah atau larangan yang tersebut dalam ayat ini pada umumnya diketahui dan dilaksanakan orang-orang Arab Jahiliyah, bahkan mereka bangga karena memiliki sifat-sifat terpuji itu. Jadi ayat ini mengingatkan mereka agar tidak lupa, atau agar mereka saling ingat-mengingatkan pentingnya melaksanakan perintah Allah tersebut.
**
Banyak orang menjadi kaya dengan cara tidak halal, antara lain mengurangi timbangan. Bagaimana pemerintah mengawasi umatnya hingga masih banyak yang terus berbuat jahat seperti itu?
Seharusnya ada tindakan yang adil. Jika kenyataan masih tetap mengurangi timbangan maka harus ada sikap tegas dari pemerintah untuk menindaklanjuti.
Wallahu a'lam bish shawwab
Tags
Opini