Perampasan Tanah Rempang Menjadi Polemik Yang Mengusik




Oleh: Yaurinda


Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau memanas sejak 7 September 2023, akibat bentrokan yang terjadi antara warga setempat dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Direktorat Pengamanan Aset BP Batam. Mereka berseteru dan menolak pembangunan eco city.


Terusir di daerah sendiri, ungkapan yang cocok untuk masyarakat Rempang.  Tanah yang telah turun temurun mereka tinggali, kini harusii ditinggalkan atas nama proyek strategis nasional (PSN).  Mirisnya mereka harus meninggalkan tanah tempat tinggal mereka tanpa konpensasi yang layak seperti beberapa berita yang beredar.


Ombudsman menemukan potensi maladministrasi dalam upaya relokasi warga Pulau Rempang, yang terdampak rencana investasi pabrik kaca senilai Rp176 . Dalam hal ini pemerintah telah mencadangkan alokasi lahan di Pulau Rempang kepada PT Makmur Elok Graha (MEG) seluas 17.000 hektar. Selain pabrik kaca yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) 2023, pulau tersebut akan dikembangkan sebagai kawasan industri, perdagangan, hingga wisata.

"Terhadap pencadangan alokasi lahan ini tidak sesuai ketentuan, karena belum ada sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam," kata Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro di Batam, dikutip dari Harian jogja Selasa 19/9/2023.

Saat syarat belum terpenuhi, sangat terlihat jelas bahwa pemerintah seolah menutup mata atas penderitaan warga rempang. Saat meghimbau untuk pindah harusnya mereka menyiapkan seluruh kebutuhan warganya mulai dari tempat tinggal, kebutuhan hidup sementara, dan yang terpenting pekerjaan yang layak. Mereka yang notabene nelayan tentu sangat kesulitan saat harus pindah ke daratan.

Selain itu akan terjadi dampak alam juga atas pengalihan fungsi lahan ini. Alih fungsi lahan produktif pertanian,berkurangnya kawasan hutan, hilangnya  wilayah tangkapan air serta pencemaran akibat perluasan industri.  

Kasus yang terjadi di Rempang ini sungguh merupakan ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini, bahwa siapa yang sebenarnya berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa tanah atau agraria. Semboyan dari rakyat untuk rakyat nampaknya tidak berlaku lagi.

Hal ini tentu sangat berbeda dalam sistem Islam yang mana sistem ini ditetapkan bahwa kedaulatan terletak di tangan syara dan umat sebagai pemilik kekuasaan. Sedangkan negara adalah pihak yang bertanggungjawab atas urusan rakyat yang termasuk di dalamnya menjaga hak-hak rakyat.

Dalam Islam, pembangunan dilaksanakan untuk sebesar-besar kesejahteraan masyarakat, dengan memperhatikan segala dampak yang ditimbulkan.  Terkhusus pembanguan infrastruktur, maka pembangunan dilakukan oleh negara bukan oleh swasta asing/aseng, karena infrastruktur termasuk dalam kepemilikan umum (milkiyah ummah).

Jika pembangunan infrsatruktur tersebut berkaitan dengan lahan masyarakat, maka pemerintah akan mencari jalan terbaik tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat.  Tentunya dengan terlebih dahulu melakukan sosialisasi dan diskusi.

Rasulullah saw bersabda,”Tidaklah halal seseorang untuk mengambil tongkat milik saudaranya, kecuali atas kerelaanya,” (HR Ibnu Hibban)

Karena diterapkannya hukum syariat Islam, maka ketaatan individu kepada syariat dan pemimpin telah terbentuk.  Begitu pula pemimpin yang hadir, tentunya pemimpin yang menjalankan amanah pemerintahan sesuai syariat, sehingga kebijakan yang diterapkan semata-mata untuk mengharap ridho Allah swt, bukan demi keuntungan materi.

“Sesungguhnya, Imam/khalifah adalah perisai orang-orang berperang dibelakangnya dan menjadikannya pelindung.  Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah swt dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya” (HR Muslim)

Sehubungan dengan dana pembangunan, tentunya pemerintah Islam tidak akan melakukan pinjaman kepada asing karena adanya bunga pinjaman yang jelas itu tidak boleh dalam Islam, tetapi dana pembangunan telah tersedia di Baitul Mal atas pengelolaan segala potensi sumberdaya alam (SDA).

Begitu pula potensi sumberdaya manusia (SDM), pemerintah sistem Islam akan memanfaatkannya sebagai tenaga kerja dengah upah yang layak, sehingga para kepala keluarga mampu membiayai kebutuhan rumah tangganya.

Jika kas Baitul Mal kosong, barulah negara akan memungut pajak, itu pun dipungut bagi masyarakat mampu, bukan dipungut bagi seluruh warga negara. Dengan begitu konflik sengketa lahan juga bisa dihindari.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak