Oleh: Ummu Zayyan
Rapat paripurna DPR RI akhirnya memutuskan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang (UU) Kesehatan pada sidang paripurna DPR RI pada masa persidangan V Tahun sidang 2022-2023 pada Selasa (11/7/2023). Di sisi lain,Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan dengan disahkannya RUU Kesehatan kiranya menjadi awal yang baru untuk membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh di seluruh Indonesia, tidak terkecuali di daerah terpencil, tertinggal, di perbatasan, maupun kepulauan.
Selain itu, pimpinan Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan RUU tentang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. RUU ini menjabarkan agenda transformasi kesehatan yang bersifat reformis untuk perbaikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan primer dan sekunder melalui penguatan upaya kesehatan dalam bentuk upaya promotif, preventif, kuratif rehabilitatif, dan atau paliatif. (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230711/4643487/ketok-palu-ruu-kesehatan-sah-jadi-undang-undang/)
Sesungguhnya, pemikiran sekularisme yang terkandung dalam UU Kesehatan
Pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi UU adalah alarm Indonesia darurat kapitalisme sekularisme. Ini adalah bukti nyata bahwa rezim dan negara demokrasi hanya berdedikasi untuk kapitalisme dan sekularisme yang bahayanya dirasakan bagi kesehatan dan kehidupan insan.
Sebab, apabila menelisik ide-ide yang termaktub, baik dalam pasal-pasal RUU yang sekarang berstatus UU, maupun naskah akademiknya, keduanya hanya perangkat konsep politik kesehatan kapitalisme yang bermuatan ideologi kapitalisme sekularisme yang rusak dan merusak.
Setidaknya ada lima pemikiran sekularisme. Pertama, pandangan tentang kesehatan sebagai komoditas dan persoalan ekonomi. Pandangan ini berkonsekuensi pada keberadaan sejumlah pandangan batil yang berbahaya, seperti untung rugi finansial sebagai dasar pertimbangan kebijakan negara, bukan kesehatan itu sendiri. Hal ini terlihat antara lain dari devisa sebagai alasan izin pendirian rumah sakit asing dan dokter asing berpraktik. Di samping itu berkonsekuensi pada penegasian hak otonom dokter dan tenaga kesehatan disebabkan mereka hanyalah buruh dan pekerja bagi industri kesehatan.
Pandangan lain yang tidak kalah berbahaya adanya konsep penyelenggaraan dan akses pelayanan kesehatan dengan skema asuransi kesehatan wajib yang dinarasikan sebagai Universal Health Coverage (UHC) yang di Indonesia disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bandingkan dengan pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang pemenuhannya dijamin secara langsung oleh negara.
Pandangan Islam ini benar-benar menjadikan ide kesehatan steril dari segala unsur bisnis dan ekonomi. Bahkan, ia adalah satu-satunya kebutuhan hidup yang berdimensi spiritual yang begitu kuat karena berkedudukan sebagai sebaik-baiknya nikmat sesudah nikmat iman dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. saat yaum akhir. Pada saat yang sama, dokter dan insan kesehatan berada di puncak kebaikan dan kemuliaan.
Kedua, pandangan tentang fungsi negara. Sebagaimana konsep tata kelola kekuasaan sistem politik demokrasi, yakni good governance dan reinventing government, negara dan pemerintah adalah regulator dan korporasi sebagai operator. Pandangan ini dan konsep good governance secara keseluruhan menjadikan keberadaan rezim dan negara demokrasi sebagai pelayan kepentingan korporasi, bukan untuk kemaslahatan masyarakat.
Pada saat yang sama, urusan pemenuhan hajat hidup masyarakat, dalam hal ini kesehatan, dikuasai korporasi yang berorientasi profit. Artinya, ketika kewenangan IDI dan PDGI pindah ke Kemenkes, sesungguhnya pindah ke korporasi. Ini karena keberadaan negara, dalam hal ini Kemenkes, hanyalah sebagai pelayan korporasi.
Berbeda dengan pandangan Islam, keberadaan Khalifah dan Khilafah adalah untuk kemaslahatan publik dan pengurus kepentingan rakyat. Ini menjadikannya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap terawat dan lestarinya kesehatan individu masyarakat sepanjang hayat melalui jaminan pemenuhan hajat hidup insan bersifat fisik dan nonfisik. Ini menjadi kunci rahasia terawatnya kesehatan publik di hulu, yakni sebagai upaya preventif yang sesungguhnya.
Ketiga, model kekuasaan desentralisasi. Bandingkan dengan pandangan Islam bahwa kekuasaan bersifat sentralisasi. Hal ini meniscayakan negara memiliki kewenangan yang memadai dan seimbang dengan tanggung jawabnya. Akibatnya, berbagai persoalan yang bersifat politik dapat diatasi secara cepat dan tepat. Aspek yang lain, desentralisasi administrasi mengacu kepada tiga prinsip, yakni kesederhanaan aturan, cepat dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh individu yang kapabel.
Keempat, pandangan kebebasan berperilaku sehubungan dengan ide bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia. Sementara itu, HAM adalah pandangan yang lahir dari ideologi sekularisme dengan kebebasan berperilaku sebagai salah satu wujudnya. Ini menjadi ciri masyarakat sekularisme karena makna kebahagiaan [menurut sekularisme] adalah meraih kenikmatan materi sebanyak-banyaknya.
Di sisi lain, terbukti kebebasan berperilaku adalah faktor pemicu kerusakan kesehatan yang nyata. Bandingkan dengan pandangan Islam bahwa manusia adalah makhluk Allah Swt. dan aktivitas kehidupan manusia sepenuhnya terikat pada syariat-Nya. Hal ini meniscayakan terpenuhinya kebutuhan fisik dan naluri secara benar sebagai upaya preventif yang fundamental.
Kelima, konsep anggaran berbasis kinerja, yakni sejumlah uang yang dialokasikan negara bukan untuk kepentingan perawatan kesehatan publik, tetapi demi bisnis kesehatan. Oleh karenanya, tidak heran penetapan anggaran kesehatan minimal 5% pada UU Kesehatan harus dihapus dan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah karena bisnis kesehatan secara praktis berada dalam kewenangan dan kekuasaan daerah.
Bandingkan dengan konsep Islam bahwa pembiayaan kesehatan bersifat mutlak, berapa pun biaya yang dibutuhkan, baik ada kekayaan negara yang diperuntukkan untuk pos ini ataupun tidak.
Demikian pula, sejumlah ide kapitalisme termaktub dalam UU Kesehatan dan naskah akademik RUU Kesehatan. Pada gilirannya, ide-ide kapitalisme itu memasifkan industrialisasi sistem kesehatan yang merusak kesehatan insan serta menjadikan kehormatan dan kemuliaan dokter dan insan kesehatan di titik nadir.
Faktanya, belum dilegalkan saja, konsep-konsep kapitalisme itu dalam satu rangkaian UU yang tersistematis/omnibus law terbukti telah menimbulkan kerusakan kesehatan yang begitu hebat dan negeri sudah berada dalam jerat hegemoni kapitalisme global, khususnya di bidang kesehatan, apalagi sekarang.
Sungguh, negeri ini darurat kapitalisme sekularisme sebab kebijakan sektor kesehatan merupakan cerminan kebijakan negara secara keseluruhan sebagaimana tampak pada sistem kesehatan dan keseluruhan pilarnya. Di samping itu, politik kesehatan kapitalisme adalah bagian integral dari sistem kehidupan sekularisme kapitalisme. Artinya, betapa urgennya kehadiran politik kesehatan Islam bagi negeri ini. Ini karena sistem kehidupan Islam bersifat penyejahtera dengan politik kesehatan Islam sebagai bagian integralnya. Sementara itu, Khilafah adalah satu satunya institusi pelaksananya.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ
Pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law,
Alarm Indonesia Darurat Kapitalisme Sekularisme
Oleh Ummu Zayyan
Rapat paripurna DPR RI akhirnya memutuskan mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan menjadi undang-undang (UU) Kesehatan pada sidang paripurna DPR RI pada masa persidangan V Tahun sidang 2022-2023 pada Selasa (11/7/2023). Di sisi lain,Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan dengan disahkannya RUU Kesehatan kiranya menjadi awal yang baru untuk membangun kembali sistem kesehatan yang tangguh di seluruh Indonesia, tidak terkecuali di daerah terpencil, tertinggal, di perbatasan, maupun kepulauan.
Selain itu, pimpinan Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena mengatakan RUU tentang kesehatan bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. RUU ini menjabarkan agenda transformasi kesehatan yang bersifat reformis untuk perbaikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan primer dan sekunder melalui penguatan upaya kesehatan dalam bentuk upaya promotif, preventif, kuratif rehabilitatif, dan atau paliatif. (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20230711/4643487/ketok-palu-ruu-kesehatan-sah-jadi-undang-undang/)
Sesungguhnya, pemikiran sekularisme yang terkandung dalam UU Kesehatan
Pengesahan RUU Kesehatan Omnibus Law menjadi UU adalah alarm Indonesia darurat kapitalisme sekularisme. Ini adalah bukti nyata bahwa rezim dan negara demokrasi hanya berdedikasi untuk kapitalisme dan sekularisme yang bahayanya dirasakan bagi kesehatan dan kehidupan insan.
Sebab, apabila menelisik ide-ide yang termaktub, baik dalam pasal-pasal RUU yang sekarang berstatus UU, maupun naskah akademiknya, keduanya hanya perangkat konsep politik kesehatan kapitalisme yang bermuatan ideologi kapitalisme sekularisme yang rusak dan merusak.
Setidaknya ada lima pemikiran sekularisme. Pertama, pandangan tentang kesehatan sebagai komoditas dan persoalan ekonomi. Pandangan ini berkonsekuensi pada keberadaan sejumlah pandangan batil yang berbahaya, seperti untung rugi finansial sebagai dasar pertimbangan kebijakan negara, bukan kesehatan itu sendiri. Hal ini terlihat antara lain dari devisa sebagai alasan izin pendirian rumah sakit asing dan dokter asing berpraktik. Di samping itu berkonsekuensi pada penegasian hak otonom dokter dan tenaga kesehatan disebabkan mereka hanyalah buruh dan pekerja bagi industri kesehatan.
Pandangan lain yang tidak kalah berbahaya adanya konsep penyelenggaraan dan akses pelayanan kesehatan dengan skema asuransi kesehatan wajib yang dinarasikan sebagai Universal Health Coverage (UHC) yang di Indonesia disebut Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bandingkan dengan pandangan Islam, kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang pemenuhannya dijamin secara langsung oleh negara.
Pandangan Islam ini benar-benar menjadikan ide kesehatan steril dari segala unsur bisnis dan ekonomi. Bahkan, ia adalah satu-satunya kebutuhan hidup yang berdimensi spiritual yang begitu kuat karena berkedudukan sebagai sebaik-baiknya nikmat sesudah nikmat iman dan akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah Swt. saat yaum akhir. Pada saat yang sama, dokter dan insan kesehatan berada di puncak kebaikan dan kemuliaan.
Kedua, pandangan tentang fungsi negara. Sebagaimana konsep tata kelola kekuasaan sistem politik demokrasi, yakni good governance dan reinventing government, negara dan pemerintah adalah regulator dan korporasi sebagai operator. Pandangan ini dan konsep good governance secara keseluruhan menjadikan keberadaan rezim dan negara demokrasi sebagai pelayan kepentingan korporasi, bukan untuk kemaslahatan masyarakat.
Pada saat yang sama, urusan pemenuhan hajat hidup masyarakat, dalam hal ini kesehatan, dikuasai korporasi yang berorientasi profit. Artinya, ketika kewenangan IDI dan PDGI pindah ke Kemenkes, sesungguhnya pindah ke korporasi. Ini karena keberadaan negara, dalam hal ini Kemenkes, hanyalah sebagai pelayan korporasi.
Berbeda dengan pandangan Islam, keberadaan Khalifah dan Khilafah adalah untuk kemaslahatan publik dan pengurus kepentingan rakyat. Ini menjadikannya sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap terawat dan lestarinya kesehatan individu masyarakat sepanjang hayat melalui jaminan pemenuhan hajat hidup insan bersifat fisik dan nonfisik. Ini menjadi kunci rahasia terawatnya kesehatan publik di hulu, yakni sebagai upaya preventif yang sesungguhnya.
Ketiga, model kekuasaan desentralisasi. Bandingkan dengan pandangan Islam bahwa kekuasaan bersifat sentralisasi. Hal ini meniscayakan negara memiliki kewenangan yang memadai dan seimbang dengan tanggung jawabnya. Akibatnya, berbagai persoalan yang bersifat politik dapat diatasi secara cepat dan tepat. Aspek yang lain, desentralisasi administrasi mengacu kepada tiga prinsip, yakni kesederhanaan aturan, cepat dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh individu yang kapabel.
Keempat, pandangan kebebasan berperilaku sehubungan dengan ide bahwa kesehatan adalah hak asasi manusia. Sementara itu, HAM adalah pandangan yang lahir dari ideologi sekularisme dengan kebebasan berperilaku sebagai salah satu wujudnya. Ini menjadi ciri masyarakat sekularisme karena makna kebahagiaan [menurut sekularisme] adalah meraih kenikmatan materi sebanyak-banyaknya.
Di sisi lain, terbukti kebebasan berperilaku adalah faktor pemicu kerusakan kesehatan yang nyata. Bandingkan dengan pandangan Islam bahwa manusia adalah makhluk Allah Swt. dan aktivitas kehidupan manusia sepenuhnya terikat pada syariat-Nya. Hal ini meniscayakan terpenuhinya kebutuhan fisik dan naluri secara benar sebagai upaya preventif yang fundamental.
Kelima, konsep anggaran berbasis kinerja, yakni sejumlah uang yang dialokasikan negara bukan untuk kepentingan perawatan kesehatan publik, tetapi demi bisnis kesehatan. Oleh karenanya, tidak heran penetapan anggaran kesehatan minimal 5% pada UU Kesehatan harus dihapus dan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah karena bisnis kesehatan secara praktis berada dalam kewenangan dan kekuasaan daerah.
Bandingkan dengan konsep Islam bahwa pembiayaan kesehatan bersifat mutlak, berapa pun biaya yang dibutuhkan, baik ada kekayaan negara yang diperuntukkan untuk pos ini ataupun tidak.
Demikian pula, sejumlah ide kapitalisme termaktub dalam UU Kesehatan dan naskah akademik RUU Kesehatan. Pada gilirannya, ide-ide kapitalisme itu memasifkan industrialisasi sistem kesehatan yang merusak kesehatan insan serta menjadikan kehormatan dan kemuliaan dokter dan insan kesehatan di titik nadir.
Faktanya, belum dilegalkan saja, konsep-konsep kapitalisme itu dalam satu rangkaian UU yang tersistematis/omnibus law terbukti telah menimbulkan kerusakan kesehatan yang begitu hebat dan negeri sudah berada dalam jerat hegemoni kapitalisme global, khususnya di bidang kesehatan, apalagi sekarang.
Sungguh, negeri ini darurat kapitalisme sekularisme sebab kebijakan sektor kesehatan merupakan cerminan kebijakan negara secara keseluruhan sebagaimana tampak pada sistem kesehatan dan keseluruhan pilarnya. Di samping itu, politik kesehatan kapitalisme adalah bagian integral dari sistem kehidupan sekularisme kapitalisme. Artinya, betapa urgennya kehadiran politik kesehatan Islam bagi negeri ini. Ini karena sistem kehidupan Islam bersifat penyejahtera dengan politik kesehatan Islam sebagai bagian integralnya. Sementara itu, Khilafah adalah satu satunya institusi pelaksananya.
وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ