Oleh: Asti Marlanti
(Penulis dan Pegiat Literasi)
Kembali dugaan korupsi terjadi di jajaran Menteri. Yakni, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Ia seorang politikus dari partai NasDem yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan merupakan menteri keenam yang terjerat korupsi.
Dalam proses penyelidikan KPK telah menggeledah rumah dinas SYL dan Kantor Kementan. Ditemukan sejumlah dokumen berisi aliran uang antara lain ke parpol dan uang senilai Rp30 miliar, serta 12 pucuk senjata api. Selanjutnya rumah pribadi SYL yang di Makasar, Sulawesi Selatan, turut digeledah dan menyita satu mobil merek Audi A6 dan sejumlah dokumen. (Liputan6.com, 8/10/2023)
Sungguh miris, enam menteri Jokowi tersandung korupsi selain SYL, yakni Johnny G. Plate mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Juliari Batubara mantan Menteri Sosial, Edhy Prabowo mantan Menteri Kelautan Perikanan, Imam Nahrawi mantan Menteri Pemuda dan Olahraga. Kerugian negara akibat korupsi yang mereka lakukan mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah.
Semua menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi di negeri ini hanya ilusi. Pembentukan KPK nyatanya tak mampu menghentikan laju korupsi. Apalagi dengan adanya berbagai pelanggaran yang terjadi di lembaga anti korupsi ini. Sehingga lembaga ini pun sudah tak punya gigi.
Maka dari itu, korupsi suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi. Bukan rahasia umum bahwa biaya kontestan pemilu (pilpres, pilkada, pileg) mahal, hingga mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Di sinilah awal terjadinya kongkalikong antara para cukong pendana pencalonan dengan para kandidat. Selanjutnya akan meminta imbalan balik dari sebuah kekuasaan yang didukungnya. Begitu juga dengan para kandidat, setelah mereka berkuasa, yang dipikirkan adalah bagaimana caranya balik modal. Sehingga, korupsi menjadi jalan pintas untuk balik modal.
Selain itu, untuk menuju ke kursi kekuasaan, syaratnya diperlukan kendaraan, yakni parpol. Maka dari sini lumrah jika terjadi dil-dilan politik. Jadi, wajar jika trias politika (eksekutif, yudikatif, dan legislatif) tidak berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Sebab, mereka mempunyai kepentingan bersama. Akibatnya korupsi tidak mungkin bisa diberantas, KPK pun sudah dilemahkan. Lalu, masihkah percaya dengan sistem demokrasi untuk berantas korupsi? Lalu bagaimana pandangan Islam?
Sesungguhnya, Islam mengharamkan korupsi dalam bentuk apapun. Oleh karena itu,
Islam memiliki berbagai mekanisme yang mampu mencegah tindak korupsi secara tuntas. Karena dalam hukum syari'at Islam, terdapat solusi yang kafah, yakni dari sisi pencegahan (preventif) maupun penindakan (kuratif).
Secara preventif, minimal ada 7 langkah untuk mencegah korupsi.
Langkah-langkah tersebut di antaranya sebagai berikut:
Pertama, rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Dalam istilah Islam, mereka yang menjadi aparatur peradilan wajib memenuhi kriteria kapabilitas dan berkepribadian Islam (syakhshiyah islamiyah). Nabi saw. pernah bersabda,“Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR Bukhari). Selain itu, Umar bin Khaththab pernah berkata,“Barangsiapa mempekerjakan seseorang hanya karena faktor suka atau karena hubungan kerabat, berarti dia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum mukminin.”
Kedua, negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Khalifah Umar bin Khaththab selalu memberikan arahan dan nasehat kepada bawahannya. Umar pernah menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari,”Kekuatan dalam bekerja adalah jika kamu tidak menunda pekerjaan hari ini sampai besok. Kalau kamu menundanya, pekerjaanmu akan menumpuk …”.
Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Sabda Nabi SAW, ”Siapa saja yang bekerja untuk kami, tapi tak punya rumah, hendaklah dia mengambil rumah. Kalau tak punya istri, hendaklah dia menikah. Kalau tak punya pembantu atau kendaraan, hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan.” (HR Ahmad). Abu Ubaidah pernah berkata kepada Umar, ”Cukupilah para pegawaimu, agar mereka tidak berkhianat.”
Keempat, Islam melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Nabi saw. bersabda,“Barangsiapa yang menjadi pegawai kami dan sudah kami beri gaji, maka apa saja ia ambil di luar itu adalah harta yang curang.” (HR Abu Dawud).
Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Nabi saw. berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran.” (HR. Ahmad)
Kelima, Islam memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya.
Keenam, adanya teladan dari pimpinan. Manusia cenderung mengikuti orang terpandang dalam masyarakat, termasuk pimpinannya. Maka Islam menetapkan kalau seseorang memberi teladan yang bagus, dia juga akan mendapatkan pahala dari orang yang meneladaninya. Sebaliknya kalau memberi teladan yang buruk, dia juga akan mendapatkan dosa dari yang mengikutinya.
Ketujuh, pengawasan oleh negara dan masyarakat. Umar bin Khaththab langsung dikritik oleh masyarakat ketika akan menetapkan batas maksimal mahar sebesar 400 dirham. Pengkritik itu berkata, “Engkau tak berhak menetapkan itu, wahai Umar.”
Itulah tujuh langkah preventif pemberantasan korupsi dalam Daulah Khilafah Islam. Lalu jika memang korupsi telah terjadi, maka syariat Islam akan mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas. Yakni, memberikan hukuman yang tegas dan setimpal kepada pelakunya.
Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasihat atau teguran, lalu hingga yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Dari sini semakin jelas, bahwa hanya hukum syari'at Islam dalam bingkai Khilafah Islamiyah, yang mampu memberikan solusi yang tuntas dan menyeluruh terhadap kasus korupsi yang nyata merugikan dan membuat kerusakan negeri. Sedangkan pemberantasan korupsi dalam sistem demokrasi hanyalah ilusi.
Wallahu a'lam bisshowwab