Oleh: Sri Cahya Nurani, S.Kom.
(Aktivis Muslimah Kota Lubuklinggau)
Secara khusus pemerintah Kabupaten Muara Enim membidik UMK sebagai salah satu exit strategy untuk menangani resesi. Usaha mikro dianggap terbukti mampu bertahan dan dianggap bakal menyelamatkan ekonomi. Karenanya, Pemkab Muara Enim melalui Dinas Koperasi dan Usah Kecil Mikro (UMK) Kabupaten Muara Enim menggelar Pelatihan Kewirausahaan bagi Pelaku Usaha Mikro Kecil di Kabupaten Muara Enim Tahun Anggaran 2023 di Hotel Griya Serasan Sekundang Muara Enim.
Pemberdayaan dan pengembangan UMKM merupakan salah satu upaya percepatan penurunan angka kemiskinan, di Kabupaten Muara Enim angka kemiskinan masih diangka 11,12 persen, untuk itu diperlukan sinergi dan kerjasama dari semua pihak. (Sumeks,25/9/23).
Saat krisis terjadi di jagat kapitalisme. Sektor riil terbukti mampu menjadi andalan utama ketika sektor sektor finansial menurun. UMKM hanya ditempatkan sebagai mesin ekonomi di sektor riil, agar mampu bertahan di saat pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa dalam menghadapi krisis dan resesi ekonomi.
Benarkah Pelatihan UMKM menjadi wadah untuk membangkitkan perekonomian? Tentu menjadi tanda tanya besar yang pasti tidak akan bertahan. Sementara UMKM tidaklah semata mata berdiri mandiri, namun dibaliknya tak terlepas dari mereka yang sekadar perantara bagi sejumlah perusahaan. Tentu mereka harus dibina oleh perusahaan tertentu pastinya akan mendapatkan keuntungan dari pembinaan itu.
Hal ini negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator dengan memberikan pelatihan, pinjaman dan pendampingan. Setelahnya negara melepas dan membiarkan UMKM berjuang dan berkembang sendiri. Sedangkan rakyat menengah kebawah tidak cukup dengan hanya mengikuti pelatihan saja. Mereka butuh modal untuk berkembang dan tidak akan mudah untuk bertahan lebih lama.
Rakyat diminta mandiri artinya disuruh mencari penghasilan sendiri melalui jual beli, sedangkan SDA diserahkan kepada asing. Padahal waktu akan dibuat pertambangan, penggalian sumur minyak dan gas, rakyat tidak setuju untuk mengizinkan dibangunnya pertambangan disekitar sana karena dampak buruk yang akan diterima Masyarakat. Namun negara menjadi benteng investor dan memberikan janji bahwa nanti jika dibangun pertambangan disana, anak cucu mereka bisa bekerja disana. Namun nyatanya lapangan pekerjaan malah diserahkan kepada tenaga kerja asing.
Jadi tidak terbukti secara nyata mampu menuntaskan kemiskinan.
Maka dalam konteks ini, pelatihan tersebut bukanlah strategi tepat. UMKM hanyalah solusi sementara dari masalah ekonomi yang terjadi di negeri ini. Meski mampu menarik banyak tenaga kerja dan pendapatannya besar, mereka tetap disetir oleh produsen perusahaan aseng. Sehingga yang diuntungkan para perusahaan .
Sebagus apapun UMKM tidak akan mampu menyelamatkan krisis ekonomi negeri ini. Selama penerapan yang berlaku sistem ekonomi kapitalisme yang tetap bertahan bahkan cacat sejak lahir.
Sistem ekonomi kapitalisme juga ditopang oleh sektor non riil yang memunculkan pasar modal dan perseroan terbatas. Utang luar negeri menjadi tumpuan pembiayaan pembangunan dan Lebih parah lagi, SDA diserahkan pada swasta, bukan rakyat. Hal ini membuat sistem ekonomi kapitalisme menjadi rapuh dan rusak.
Pandangan Islam
Negara dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah) tidak akan menjadikan sektor ekonomi informal seperti UMKM sebagai pilar perekonomian dan tidak cukup sekadar pelatihan lantas skill terbangun dan terpenuhi kebutuhan ekonomi rakyatnya secara mandiri. Hanya dengan penerapan sistem islam. Khilafah mampu berpegang pada prinsip kemandirian. Prinsip ini dapat digambarkan dalam poin-poin berikut.
Pertama, Khilafah mengedepankan dua jenis industri yang membuatnya menjadi negara mandiri dan berdikari, yakni industri berat dan industri terkait pengelolaan harta milik umum. Industri berat ialah industri yang memproduksi mesin atau alat persenjataan, seperti senjata kimia, biologi, juga obat-obatan. Sedangkan industri pengelolaan harta milik umum, semisal pengolahan minyak bumi, barang tambang, listrik, logam, dan apa saja yang menjadi harta milik rakyat. Dengan kehadiran dua industri ini saja sudah cukup mampu menyerap tenaga kerja rakyat dalam jumlah yang sangat besar.
Kedua, mengatur status kepemilikan harta, seperti harta milik individu, umum, dan negara. Secara khusus, negara melarang harta milik umum dimiliki individu atau swasta. Negara lah pihak yang berhak mengelolanya dan mengembalikan hasil pengelolaan tersebut kepada rakyat.
Ketiga, negara menyediakan modal usaha dari kas Baitul mal bagi rakyat yang belum bekerja. Bisa berupa pemberian sebidang tanah mati ataupun pinjaman tanpa riba. Bagi mereka yang tidak mampu bekerja atau tidak ada keluarga yang mampu menafkahinya, semisal cacat, tua renta, atau janda, negara menafkahi kebutuhannya secara langsung.
Keempat, menghilangkan budaya konsumtif dan hedonis dengan pola hidup sehat, sederhana, dan secukupnya. Dengan pola hidup yang sesuai standar Islam, produktivitas masyarakat lebih fokus pada pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder. Mereka yang berlebih hartanya akan terdorong bersedekah dan berinfak kepada yang kurang mampu. Sehingga harta tidak beredar pada golongan orang kaya saja.
Demikianlah, pilar perekonomian dalam Islam adalah sektor riil yang ditopang oleh industri berat dan industri pengelolaan SDA. Prinsip-prinsip tersebut tidak akan berjalan tanpa penerapan sistem Islam yang komprehensif dan menyeluruh.
Wallahu a'lam bish-shawwab.
Tags
Opini