Oleh : Elly Waluyo
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Kebijakan pemerintah kapitalis kembali lagi menuai kontroversi dan semakin menambah daftar panjang kerugian yang diderita rakyat. Kebijakan yang lahir karena adanya campur tangan para kapital atau pemegang modal tak akan pernah berpihak pada rakyat, berbagai dalih pun disuguhkan untuk menutupi keberpihakan pemerintah kapitalis pada para pedagang besar yang yang serakah akan keuntungan.
Larangan fitur belanja online Tiktok resmi diluncurkan oleh pemerintah melalui Permendag No.31/2023 merupakan imbas dari aturan larangan social commerce merangkap sebagai e-commerce. Menteri perdagangan, Zulkifli Hasan atau yang akrab disapa Zulhas ini meminta agar para seller tak khawatir dan menghimbau untuk pindah ke platform e-commerce dan pedagang tetap bisa menggunakan fitur live streaming yang juga disediakan di platform e-commerce.(https://www.cnnindonesia.com : 5 Oktober 2023).
Namun meskipun demikian peraturan pemerintah tersebut memantik kontroversi berbagai pihak. Pasalnya, larangan tersebut menurut Esther Sri Astuti selaku Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) tidak berdampak signifikan karena para penjual dan konsumen dapat bertransaksi di platform e-commerce yang lain. Data Bank Indonesia pada tahun 2022 menunjukkan nilai transaksi e-commerce di Indonesia hampir Rp 500 triliun, sedangkan data statista Market Insight memperlihatkan sejumlah 221,05 juta pengguna e-commerce di Indonesia. (https://m.bisnis.com: 3 Oktober 2023).
Menurut Diki yang seorang pelaku usaha digital dan reseller Tik Tok Shop, pelarangan tersebut dapat mematikan penjual yang sudah terlanjur melakukan stok produk di gerai Tik Tok dan mereka yang menggantungkan biaya hidupnya melalui Tik Tok Shop. Hal senada diungkapkan oleh Enda Nasution, seorang pengamat media sosial, bahwa peraturan tersebut menandakan kebijakan yang hanya sekedar ada tanpa data maupun analisis ekonomi yang mendalam. Pihaknya juga mempertanyakan adanya muatan politik dibaliknya karena kementerian perdagangan (Kemendag) di pimpin oleh ketua umum partai. Bukan tanpa sebab alasan terbitnya peraturan larangan tersebut adalah untuk melindungi UMKM, namun justru tak mempedulikan UMKM yang hidupnya bergantung pada fitur Shop. (https://tirto.id : 4 Oktober 2023).
Kebijakan tersebut sejatinya hanyalah sebuah kamuflase atas adanya pedagang bermodal besar yang mendapat dukungan oligarki dalam melakukan monopoli perdagangan. Tik tok Shop merupakan salah satu media sosial yang merangkap e-commerce, dimana pembeli bisa mendapatkan barang-barang dengan harga murah bahkan hingga dibawah biaya produksi sehingga menganggu mekanisme pasar yang sehat. Politik dumping ini sengaja dilakukan oleh marketplace untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menggelontorkan subsidi besar yang bertujuan mematikan pesaing. Ketika pesaing sedikit maka harga jual dikembalikan normal yang akhirnya pembeli mau tidak mau akan membeli dari marketplace yang bersangkutan. Belum lagi pengaturan pajak yang dikenakan pada perusahaan menambah kompleks permasalahan pasar digital.
Kompleksitas persoalan tersebut tentu saja berasal dari penerapan sistem ekonomi kapitalis saat ini yang menitikberatkan sumber pendapatan dari pajak dan hutang.
Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin keadilan dalam aktivitas ekonomi bagi seluruh lapisan rakyat. Negara bertanggung jawab dalam melindungi pedagang dalam negeri dan pelaku usaha lainnya. Dalam aturan Islam, penataan pasar mikro dalam negeri berbeda dengan pasar internasional. Penentuan harga oleh kekuatan penawaran dan permintaan diatur agar tidak merusak. Negara dilarang melakukan tas’ir yaitu mengharuskan pedagang menjual dan membeli dengan harga tertentu karena bertentangan dengan nash-nash yang terdapat dalam Al Qur’an. Negara juga melarang operasi pasar dan pungutan pajak. Melalui Qodhi Muhtasib, negara mengatur penjual dan pembeli agar sesuai dengan syariat Islam.
Selain itu negara melindungi mekanisme pasar dari berbagai ancaman yang dapat merusaknya sehingga negara melarang adanya unsur judi, unsur gharar (ketidakjelasan), riba, ghabn fahisy (politik dumping), larangan menimbun barang dan harta, larangan menutupi kecacatan barang, melarang melakukan promosi barang dengan penuh kebohongan, larangan kikir, dan boros untuk barang yang diharamkan. Marketplace dalam Islam berkedudukan sebagai pasar penyedia lapak yang dilakukan secara digital oleh karenanya diberlakukan akad ijarah (sewa lapak) bukan memasarkan barang dan berhak mendapatkan kompensasi berupa komisi yang tidak diambil berdasarkan persentase penjualan.
Demikianlah Islam mengatur pasar sehat yang tidak merugikan pedagang maupun konsumen yang hanya bisa terwujud melalui bingkai khilafah.
Tags
Opini