Oleh: Ummu Salman
Komnas Perempuan menyebut bahwa kasus penganiayaan berat berujung kematian dengan korban seorang perempuan berinisial DSA, dapat dikategorikan sebagai femisida.
"Ragam kekerasan yang dilakukan dapat dikategorikan sebagai femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan dengan alasan tertentu ataupun karena dia perempuan," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu (11/10/2023).
Andy Yentriyani mengatakan terdapat relasi kuasa timpang berbasis gender terhadap pelaku, dalam hal ini relasi antara korban dan pelaku yang merupakan kekasihnya.
Komnas Perempuan telah melakukan pemantauan femisida sejak tahun 2017 melalui pemberitaan media yang dilakukan karena minim-nya pengaduan ke Komnas Perempuan.
Pihaknya menyebut terdapat anggapan bahwa korban yang telah meninggal dalam kasus serupa ini telah selesai urusannya dan selanjutnya hanya menjadi urusan aparat penegak hukum.
Indonesia sendiri belum memiliki pemilahan data pembunuhan berdasarkan statistik femisida.
Pelaku kasus femisida biasanya adalah orang-orang yang dekat dengan korban, seperti kekasih, teman kencan, dan suami.
"Dengan demikian, femisida adalah eskalasi dari kekerasan berbasis gender yang berpotensi femisida," ujar Anggota Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menambahkan.
Sebelumnya, Polrestabes Surabaya telah menetapkan Gregorius Ronald Tannur (31), anak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Edward Tannur, sebagai tersangka kasus penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian.
Korbannya adalah seorang perempuan inisial DSA (29) yang sudah menjalin hubungan dengan tersangka selama lima bulan.
Atas perbuatannya, tersangka dijerat dengan Pasal 351 Ayat 3 atau Pasal 359 KUHP, dengan ancaman maksimal 12 tahun penjara.
Kasus penganiayaan sadis berujung pembunuhan terhadap perempuan oleh pasangan intim (kekasih atau suami) sebagaimana kasus Ronald, bukanlah yang pertama terjadi. Belakangan ini bahkan banyak berita perihal kasus serupa.
Sebut saja aksi nekat MR (43) pada awal Januari 2023 yang membakar mantan istrinya, DW (38) dan SB (39), menggunakan bensin. Kasus ini terjadi di Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Juga tindakan keji Riko Arizka (23) pada Februari 2023 yang tega menghabisi nyawa mantan kekasihnya dengan cara dihantam menggunakan kloset. Kejadian ini terjadi di Pandeglang, Banten. Demikian pula kasus pembunuhan keji yang dilakukan Nando (24), suami yang membunuh istrinya, Mega Sriyani Dewi (24) di Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi (7/9/2023).
Rentetan kasus keji yang mengakibatkan nyawa korban perempuan melayang di atas hanya sedikit contoh dari banyaknya kasus yang tidak terekspos media. Terkait hal ini, perilaku keji yang dilakukan Ronald kepada korban disebut sebagai bentuk femisida. Femisida sendiri adalah pembunuhan atau percobaan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau gendernya.
Dikutip dari muslimahnews.net Rabu (18/10/2023), Ketua Komnas Perempuan Andi Yentriyani menyebut bahwa femisida atau pembunuhan terhadap perempuan adalah bentuk paling ekstrem dari kekerasan terhadap perempuan. Namun ternyata, femisida diklaim berbeda dengan pembunuhan biasa. Perbedaan femisida dengan pembunuhan lain adalah adanya latar belakang relasi kuasa yang mendorong dibunuhnya perempuan akibat identitas gendernya. Sebabnya, pada banyak kasus tampak kepuasan sadistis pihak pelaku terhadap korban. Juga adanya ketimpangan relasi kuasa, agresi, serta rasa superioritas terhadap perempuan.
Selain itu, terminologi “femisida” belum banyak dikenal di Indonesia. Akibatnya, data terpilah antara pembunuhan umum dan femisida belum tersedia sehingga penanganannya juga minim. Sedangkan hal tersebut penting untuk mencegah potensi kekerasan yang berpotensi berujung pada femisida, misalnya KDRT yang berujung pada pembunuhan.
Berdasarkan hal di atas, kategori femisida perlu ditegaskan lagi, benarkah ini dapat dijadikan solusi?
Penegasan kategorisasi femisida dianggap dapat membantu menguatkan tuntutan hukum kepada pelaku kasus penganiayaan yang berujung pembunuhan pada perempuan. Akan tetapi, sejatinya harus kita ingat bahwa karakter sistem hukum saat ini tidak bisa dilepaskan dari payung besarnya.
Kita hidup di negara demokrasi, yang mana tidak bisa kita pungkiri, bahwa demokrasi adalah anak kandungnya sistem kapitalis. Yang memisahkan agama dari kehidupan. Tidak mau menggunakan hukum Agama dalam kehidupan, hukum yang digunakan adalah hukum yang dibuat oleh manusia. Akal manusia dijadikan standar kebenaran, padahal akal manusia itu sangat terbatas, jangankan dapat mengatasi masalah masyarakat atau negara, untuk mengatasi masalahnya sendiripun belum tentu bisa.
Sistem kapitalis menjunjung kebebasan individu dan selalu berorientasi pada keuntungan. Tak heran jika di negara kapitalis yang akan berkuasa adalah mereka yang memiliki banyak uang dan bisa memberikan keuntungan. Kita sadar benar bahwa sistem hukum saat ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas, cenderung memenangkan yang kuat dan menindas yang lemah, ditambah lagi hukum saat ini dapat dibeli, siapa yang mampu membayar mahal dia lah yang akan menang di pengadilan.
Kita juga tidak bisa menampik bahwa permasalahan terkait relasi perempuan dan laki-laki dalam lingkup keluarga saat ini berlatar belakang adanya konstruksi sosiokultural di sebagian masyarakat yang patriarkat. sehingga seolah melegalkan segala bentuk superioritas dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Akibatnya, lahirlah dominansi dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.
Dominasi superioritas laki-laki terhadap perempuan, menjadikan mereka merasa memiliki posisi lebih tinggi, lebih berkuasa atas diri perempuan, dan memiliki hak untuk menentukan segala aturan bagi kehidupan perempuan. Lebih parahnya lagi pembenaran konsep ini dicari-cari dalilnya dari Al-Qur’an dalam bentuk reinterpretasi oleh sejumlah intelektual muslim kontemporer. Tujuannya agar ayat tersebut tampak lebih adil terhadap perbedaan gender, khususnya perempuan. Ayat yang dimaksud adalah QS An-Nisa ayat 34 perihal kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan.
Padahal hal itu justru akan semakin menjauhkan dari makna hakiki ayat tersebut. Karena hubungan relasi disini, dilakukan oleh pasangan non halal atau pasangan pacaran. Sehingga laki-laki merasa tidak memiliki tanggung jawab secara hukum syariat, namun mereka akan merasa memiliki dan menguasai perempuan atau pacarnya tersebut. Mereka akan banyak mengatur kehidupan pacarnya, dan ketika pacarnya berbuat tidak sesuai dengan kehendaknya, maka laki-laki tersebut akan merasa bebas melakukan perbuatan apapun yang dapat menyakiti perempuan atau pacarnya tersebut. Mulai dari berkata kasar, tindakan kekerasan bahkan sampai berujung menghilangkan nyawanya.
Sehingga jelaslah bahwa kategorisasi femisida, tidak akan mampu menjadi solusi dalam mengatasi permasalahan penganiayaan dan pembunuhan perempuan.
Dalam agama Islam peperempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama dan memiliki kesempatan yang sama dalam meraih ridho Allah Ta'ala. Tidak ada yang dianggap mulia dan superioritas. Yang menjadi pembeda dan menjadikan makhluk itu mulia bukanlah jenis kelaminnya atau gendernya, bukan pula jabatan dan kekayaannya, melainkan ketakwaannya, atau kepatuhannya terhadap hukum-hukum syara.
Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman dalam Q.S. Al-Hujurat ayat : 13 yang artinya : "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa". Ayat ini tidak memberikan keistimewaan kepada jenis kelamin tertentu atau status sosial tertentu, untuk menjadi orang yang paling mulia di sisi Allah. Artinya, baik laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi mulia di sisi Allah tersebut.
Kemudian dalam Tafsir Ibnu Katsir, makna kalimat “ar-rijaalu qawaamuuna ‘ala an-nisaa” dalam QS An-Nisa ayat 34 tersebut, bahwasanya kaum laki-laki adalah pengurus bagi kaum perempuan, yakni sebagai pemimpinnya, kepalanya, yang menguasai, dan yang mendidiknya jika menyimpang. Bukan serta merta laki-laki dapat menyiksa dan menganiaya perempuan tanpa sebab dan alasan.
Allah telah melebihkan kemampuan laki-laki dalam hal logika, kekuatan fisik dan kemampuan dalam memimpin, agar laki-laki dapat menjadi imam dan pelindung bagi kaum perempuan, bukan malah sebaliknya menganiaya dan menindas perempuan.
Sehingga jelaslah bahwa dalam Islam semua orang memiliki derajat dan kedudukan yang sama baik laki-laki maupun perempuan, tidak ada yang spesial apalagi superioritas. Yang menjadi manusia itu mulia di sisi Allah Ta'ala hanyalah ketakwaannya. Dalam Islam manusia memiliki perlindungan hukum yang sama, tidak ada istilah nyawa laki-laki lebih berharga daripada nyawa perempuan demikian pula sebaiknya.
Menghilangkan nyawa seseorang tanpa alasan yang benar menurut syari'at, merupakan dosa yang besar, sebagaimana firman Allah Ta'ala yang artinya "Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (QS Al-Isra [17]: 33).
Kemudian terkait pembunuhan dengan sengaja, lebih berat sanksinya karena direncanakan oleh pelaku. “Hal ini diatur dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 178—179. Di ayat ini, Allah menjelaskan bahwa sanksi pelaku pembunuhan yang disengaja adalah kisas, yaitu hukuman yang sama dengan perbuatan yang telah dilakukannya.
Sementara itu adapun pembunuhan yang tidak disengaja, diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nisaa’ ayat 92. Dalam ayat sersebut terdapat ketentuan bahwa:
a) Seorang mukmin yang tidak sengaja membunuh mukmin lainnya, hanya diwajibkan membayar kafarat berupa memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan membayar diat yang diserahkan kepada keluarga korban; b) Seorang mukmin yang membunuh mukmin lainnya dari kaum yang memusuhinya karena tidak sengaja, hanya diwajibkan membayar kafarat berupa memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin.
Islam selalu mampu memberikan solusi atas pelbagai problematika kehidupan, karena hukum IsIam dibuat bukan oleh manusia melainkan dibuat langsung oleh sang Khalik yaitu Allah Ta'ala. Hukum Islam menjadi zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus).
Dengan demikian Khilafah akan mampu mewujudkan perlindungan hakiki bagi warga negaranya dari berbagai tindak kejahatan. Sehingga sistem perlindungan nyawa manusia bisa tegak secara paripurna.
Wallahualam bish-sawab.
Tags
Opini