Mitigasi Karhutla, Sejauh Mana Keseriusan Negara?




Oleh : Ummu Aimar



Terjadi Karhutla di Desa Nurabelen, Kecamatan Ile Bura, Kabupaten Flores Timur, Jumat (25/8) yang dipicu akibat adanya praktik pembersihan lahan dengan cara dibakar. Kebakaran itu telah melahap lahan seluas 40 hektar. Pantau Gambut memiliki beberapa catatan pada kejadian karhutla yang terjadi selama Agustus 2023, stidaknya 271 area Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang terbakar. KHG yang terbakar tersebar pada 89 kabupaten/kota pada 19 provinsi di Indonesia, dimana Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah menjadi dua daerah dengan kebakaran paling intens. 

Di tengah kasus Karhutla yang marak terjadi, saat ini akan memasuki puncak musim kemarau akibat El Nino, Campaigner Pantau Gambut, Abil Salsabila menjelaskan kepada Tirto penyebab sebenarnya Karhutla dan mengapa peristiwa ini terus berulang setiap tahun pada Selasa (12/9) di Kantor Pantau Gambut, Jakarta Selatan. (https://tirto.id)

Akibat karhutla , sejumlah daerah di Indonesia diselimuti kabut asap dan menyebabkan meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Asap pun menyebar hingga ke negara tetangga. 

Meluasnya dampak karhutla semestinya membuat pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap upaya penanganan yang ada. Apakah mitigasi dalam mencegah dan mengatasi karhutla selama ini berjalan efektif. Ini karena karhutla sudah terjadi berulang kali. Artinya, mitigasi dalam mencegah dan menangani karhutla masih minim dan belum berhasil.

Karhutla merupakan salah satu dampak kapitalisasi hutan. Penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Izin hutan inilah yang menjadi faktor utama karhutla terus terjadi.

Pembukaan lahan gambut, masih terus berlangsung demi kepentingan bisnis kaum kapitalis. UU yang berlaku membolehkan korporasi membakar hutan dan lahan meski dengan ketentuan dan syarat tertentu. 

Kebakaran hutan tidak hanya didorong oleh faktor internal seperti jenis lahan gambut dan tanah. Faktor eksternal seperti iklim kering juga berkontribusi hingga menyebabkan kebakaran hutan. Namun, perilaku individu dan elemen industri perusahaan juga ditentukan sebagai faktor pendorong utama lainnya dalam kebakaran hutan.

Pembakaran lahan juga dimanfaatkan untuk membuka lahan pertanian (misalnya untuk budidaya kelapa sawit). Teknik ini relatif murah dan sederhana. Kekuatan modal perusahaan besar dapat dengan mudah mempengaruhi penduduk lokal untuk melakukan kegiatan ilegal untuk keuntungan perusahaan.

Masalah kebakaran hutan tidak bisa diselesaikan secara pragmatis dengan memadamkan api setiap terjadi kebakaran. Sementara penyebab utama kebakaran tidak pernah ditanggulangi.

Dengan demikian wajar, jika selama ini, usaha pemerintah memadamkan kebakaran hutan tidak memberikan hasil efektif. Karena pemerintah tidak sungguh-sungguh menyelesaikan masalah kebakaran hutan secara sistematik dan komprehensif.

Padahal dengan sumber daya yang dimiliki, pemerintah dapat mengoptimalkan hasil- hasil penelitian emp dari para ilmuwan yang pakar dibidang lingkungan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan berulang dan mengantisipasi kekeringan.

Jadi, situasi ini terjadi karena negara tidak menjadikan iman dan takwa kepada Allah SWT sebagai landasan dalam mengurusi urusan rakyatnya. Dalam negara kapitalisme sekuler, pemerintah terbatas pada pembuatan kebijakan yang dalam praktiknya lebih memihak para kapitalis atau pemilik modal. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih banyak menguntungkan segelintir pemilik modal serta merugikan rakyat kebanyakan.

Kondisi ini akan berbeda saat negara dijalankan berdasarkan syariat Islam. Hasil kajian ilmiah para ilmuwan pasti akan menjadi bahan masukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat. 

Negara seharusnya paham bahwa fungsi hutan primer selaku paru-paru dunia yang berada di Kalimantan tidak akan pernah tergantikan dengan jenis hutan yang lain.

Semua itu semestinya membuat kita sadar bahwa sistem kapitalisme yang terwadah oleh demokrasi telah menzalimi masyarakat luas. Karena rusaknya ekosistem di Kalimantan akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan perubahan iklim bumi. 

Oleh karenanya, selama pengelolaan hutan menggunakan konsep kapitalisme dan kebebasan kepemilikan menjadi dasar menguasai aset-aset strategis tanpa batas, jangan harap karhutla dan perusakan hutan dapat dihentikan.

Pengelolaan lahan tidak boleh dengan melakukan pembakaran atau menghilangkan unsur hara serta merusak ekosistem.

Negara harus memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa menjaga alam dan ekosistem adalah kewajiban bagi setiap muslim. Selain itu, negara akan melakukan pengontrolan dan pengawasan setiap aktivitas yang bertujuan untuk memanfaatkan hutan, baik secara individu maupun kelompok. Negara juga akan memberikan sanksi tegas bagi para pelaku perusakan alam dan lingkungan dengan sanksi hukum Islam yang berefek jera.

Hutan merupakan kepemilikan umum yang mana pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada individu, swasta, maupun asing. Islam memerintahkan kepemilikan umum ini hanya boleh dikelola negara dan hasilnya menjadi hak rakyat untuk memanfaatkannya.

Jika Islam diterapkan tidak akan ada eksploitasi hutan secara ugal-ugalan. Ketika sistem islam diterapkan, negara dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya, yakni sebagai raa’in (mengurusi seluruh urusan rakyat).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak