Oleh: Hany Handayani Primantara, SP.
(Aktivis Muslimah)
Semangat keluarga yang merindukan surga nampaknya jauh dari kenyataan. Melihat kondisi keluarga saat ini yang kompleks dengan beragam masalah. Mulai dari KDRT baik dari pihak suami, istri bahkan anak, pembunuhan bayi baru lahir, kasus perselingkuhan, tingginya kasus perceraian, dll.
Tingginya kasus perceraian juga ternyata tak lepas dari beragam sebab. Salah satunya faktor ekonomi, kehidupan yang semakin menghimpit memaksa para suami mengencangkan ikat pinggang dan berusaha sekuat tenaga meraih nafkah demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan Bahtiar Baharuddin bahkan menyebut kemiskinan ekstrem telah berdampak luas pada kondisi sosial di masyarakat. Dampaknya berimbas pada tingginya angka anak putus sekolah yang mencapai 80 ribu, keterlibatan narkoba mencapai 50 ribu, perceraian terjadi pada 20 ribu pasangan. Dikutip dari media online pedoman.media (21/09/23).
Jika ditelusuri lebih dalam, kemiskinan pun tak luput dari pengaturan sebuah sistem. Sebab kemiskinan yang terjadi saat ini bukanlah kemiskinan kasuistik, yakni kemiskinan yang terjadi hanya pada satu atau dua kasus semata. Melainkan kemiskinan yang memang sengaja dibuat, kesenjangan hidup si kaya dan si miskin yang begitu besar.
Sudahlah miskin ditambah lagi terlibat judi online. Sebagaimana yang terjadi di Karawang sebanyak 2.356 istri telah menggugat cerai suaminya dalam kurun waktu Januari hingga akhir Agustus 2023. Juru bicara Pengadilan Agama Kelas 1 Karawang, Hakim Asep Syuyuti, mengungkapkan bahwa kasus perceraian semakin meningkat salah satu faktornya adalah kecanduan judi online. Angka cerai gugat meningkat tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Dikutip dari media online pikiranrakyatgarut.com (20/09/23).
Rapuhnya sebuah keluarga mengakibatkan makin hari makin tinggi kasus perceraian. Jika dibandingkan, kasus perceraian justru lebih tinggi ketimbang pernikahan itu sendiri. Imbas dari kasus perceraian pun ternyata tidak main-main. Tak sedikit anak yang akhirnya menjadi korban dari kasus perceraian kedua orangtua mereka. Anak broken home, anak hilang kasih sayang salah satu orangtua, bahkan disebut anak yatim atau piatu. Parahnya melebihi anak yatim piatu yang ditinggal mati kedua orangtuanya.
Lemahnya visi misi sebelum membina sebuah pernikahan pun tak luput dari perhatian. Sebab jika orientasi pernikahan itu akhirat, bukan dunia maka ada batasan jelas yang dapat dijadikan tolak ukur bagi keduanya. Berbeda ketika kedua calon pengantin ini menitikberatkan pada visi misi yang sifatnya duniawi. Maka akan bias menempatkan hak, kewajiban dan juga tanggung jawab.
Berapa banyak pasangan calon pengantin yang memulai pernikahan mereka dengan jalan yang tidak sesuai syariat. Melalui pacaran sehat bahkan perzinahan. Di sinilah awal mula kerapuhan itu terjadi. Bagaimana Allah bisa jadikan keluarga tersebut menjadi pelengkap satu sama lain, menjadikan kehidupan mereka sakinah dan penuh cinta jika semua hal yang sifatnya ibadah tersebut diawali dengan cara yang bersebrangan dengan syariat. Akankah Allah ridho atas setiap aktivitas tersebut? Bisa dipastikan jawabannya adalah tidak.
Sejatinya pacaran bukan merupakan gaya hidup kaum muslim, sebab dalam Islam pun diberikan pengarahan bagaimana caranya agar mereka mampu memenuhi naluri seksual tanpa harus melanggar syariat. Sebab penyaluran naluri adalah fitrah, disinilah Islam datang untuk menjaga agar pemenuhan tersebut menghasilkan pahala bagi keduanya. MasyaAllah, begitulah Allah yang paling tahu akan seluk beluk makhluknya yang penuh dengan kekurangan.
Pemahaman keliru tentang gaya hidup berpacaran yang lahir dari kehidupan serba permisif dan bebas membentuk karakter muslim akhirnya tak jauh beda dengan mereka yang tak beragama atau punya agama, namun hanya sekedar menjadikan agama sebagai formalitas belaka. Amat disayangkan arus pemahaman sekuler yakni memisahkan antara kehidupan dunia dan agama menjadikan muslim bagian dari kalangan mereka secara sadar maupun tidak. Mereka terbawa arus hingga tak sadar sudah menjadi bagian dari kalangan mereka.
Keadaan seperti ini juga tak lepas dari tanggung jawab pemerintah sebenarnya. Sebab peran negara dalam Islam bukan hanya sebagai regulator ataupun wasit melainkan turut andil membentuk sebuah kebijakan yang mampu mengatur kehidupan agar kondusif bagi setiap warganya. Lemahnya peran negara saat ini yang tak mampu mewujudkan perlindungan terhadap anak akhirnya membuat keadaan bertambah parah.
Sebab hanya sebuah negara yang memiliki berbagai mekanisme Islam sajalah yang mampu mewujudkan lingkungan aman, nyaman, tentram, bahagia lahir dan batin. Hal itu telah dibuktikan oleh Islam beribu tahun sebelumnya. Negara akan mengawal sebuah pernikahan agar mampu menghasilkan keluarga yang merindukan surga. Bahkan jika ada dari kaum muslim yang tak mampu akan diberikan beragam kemudahan menuju pernikahan yang sesuai syariat. Bisa berupa calon pengantin, modal kawin, serta hal-hal yang berkaitan langsung dengan pernikahan.
Pernikahan pun harus dipastikan diawali dengan niat baik yakni dalam rangka ibadah. Kemudian dalam perjalanannya telah dilaksanakan sesuai syariat, yakni melalui proses ta'aruf dan khitbah. Insyaallah penyatuan visi misi yang berlandaskan akhirat pun akan menjadi acuan. Bukan sekedar pemenuhan unsur duniawi yang sifatnya sementara dan fluktuatif.
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS. Ar-Rum 30: Ayat 21)
Wallahu 'alam bishshawab.
Tags
Opini