Konflik Rempang Tergilas Kesewenang-Wenangan Penguasa Dan Pengusaha






Oleh : Hasna Hanan

Masih ramai pemberitaan di publik terkait persoalan tanah Rempang ini, karena ada pihak yang terdzolimi dan ada pihak yang mendzolimi 
Kasus Rempang tidak akan selesai ketika keadilan itu dilanggar, secara fitrah  manusia akan mempertahankan sesuatu yang itu sudah menjadi hak miliknya, apalagi itu diperoleh dari warisan nenek moyang yang turun temurun mereka dapatkan, sehingga secara adat kebiasaan istilahnya mereka harus menjaga keberadaan tanah tersebut dengan baik dalam pemanfaatan dan pengelolaannya, dan ini sudah mereka lakukan selama berpuluh-puluh tahun hingga beranak pinak, apakah mereka akan rela menyerahkan begitu saja hak miliknya tanpa diberi kompensasi yang akan memberikan kehidupan lebih layak  dan kesejahteraan yang lebih baik lagi bagi mereka.

Bagi masyarakat Rempang tanah adat itu sakral, apalagi disana terdapat tanah masyarakat kampung tua yang hidup didalamnya. Terdapat 45 titik Kampung Tua di Pulau Rempang. Membaca catatan sejarah Traktat London 1824, keberadaan Kampung Tua di Batam dan sekitarnya sudah berlangsung lebih dari 188 tahun lalu, seiring dengan kejayaan Kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor, dan Kerajaan Pahang Malaya.

Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mempertegas keberadaan masyarakat hukum adat Kampung Tua di Batam ini.

Akan tetapi pada faktanya keberadaan tanah masyarakat kampung tua juga akan menjadi bagian dari proyek Rempang ECO city yang akan juga direlokasi keberadaan mereka dan ini melanggar hak milik terhadap tanah tersebut karena apabila terdapat hak kepunyaan atau pemilikan tanah adat di areal tersebut, sesuai dengan ketentuan di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), tanah adat yang sudah dikuasai secara individu akan dikonversi menjadi ”hak atas tanah hak milik”, sementara hak milik tidak mungkin ada pada areal hak pengelolaan. Atau menjadi milik investor untuk mengelolanya, 
sebagaimana Keputusan Wali Kota Batam Nomor KPTS. 105/HR/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam. Salah satu isi keputusan Wali Kota Batam ini adalah tidak merekomendasikan Kampung Tua menjadi bagian dari hak pengelolaan.

Sebenarnya itu sudah memberikan ketegasan dalam UU agraria maupun keputusan otorita walikota Batam untuk tidak mengambil hak tanah masyarakat Rempang apalagi tanah adat masyarakat kampung tua

Kapitalisasi dalam masalah Rempang

Dalam sistem kapitalisme sekuler yang dasar kepentingannya adalah materi, maka mereka para oligarki tidak akan memberikan banyak keuntungan pada rakyatnya, karena mereka berusaha keras untuk meminimalisir kerugian dan hal itu mereka lakukan melalui kerjasama kong-kalikong dengan penguasa dan mengorbankan rakyat demi kepentingan mereka peng-peng (Penguasa-Pengusaha).

Dari niat itulah sifat penguasa yang juga sekaligus pengusaha dalam sistem kapitalisme ini hanya sebagai regulator untuk memuluskan proyek Rempang ECO city itu tetap terus berjalan dan berhasil berdiri tegak tanpa mempedulikan hak-hak rakyat, tapi sebaliknya rakyat harus wajib sukarela memberikan lahan tanah mereka untuk lahan bisnis para cukong oligarki.
Oleh karenanya bentrok antar aparat dan rakyat tidak bisa dihindari karena semua atas kendali oligarki yang pakai tangan kekuasaan para penguasa pembuat regulasi.

Adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973 memberikan Hak Pengelolaan kepada Otorita Batam. Ketentuan Pasal 6 Ayat 2 Huruf a keppres tersebut menyatakan, seluruh areal yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan status hak pengelolaan (HPL) kepada Otorita Batam.

Kepulauan Batam merupakan lokasi yang strategis. Keppres Nomor 41 Tahun 1973 merupakan keputusan untuk mencegah lokasi tanah yang potensial untuk investasi sampai dimiliki investor swasta. Artinya, mencegah spekulan tanah.

Oleh karena itu, hak pengelolaan yang ditetapkan oleh Keppres Nomor 41 Tahun 1973 harus terlebih dahulu terbebas dari hak milik masyarakat, sebelum didaftarkan ke Kantor Pertanahan, termasuk didalamnya tanah masyarakat kampung tua.

Sungguh miris keberpihakan pemerintah semakin tampak nyata tidak pada masyarakat kalau mereka mau merelokasi masyarakat harusnya sesuai yang mereka inginkan, bukan dikembalikan ke negara dalam menetapkannya, dilansir  dari kompas.co.id pemerintah akan menyiapkan lahan seluas 450 hektar di Pulau Galang untuk relokasi warga Pulau Rempang. Sebanyak 2.700 rumah tipe 45 akan dibangun. Setiap rumah berdiri di atas lahan 500 meter persegi, selain itu pemerintah juga akan menyiapkan instalasi air pipa, listrik, jalan, telekomunikasi, dermaga nelayan, serta pelabuhan bongkar muat. Khusus keluarga nelayan juga akan mendapat bantuan alat tangkap, dan pembangunan perumahan relokasi itu akan memakan biaya hingga Rp 1,8 triliun. Proses pembangunan bakal memakan waktu lebih dari dua tahun.

Dan itu masih rencana belum terwujud pembangunannya, padahal proyek Rempang ECO city itu mendesak masyarakat Rempang untuk segera tanah itu dikosongkan karena akan diserahkan pada PT MEG paling lambat pada 28 September 2023. Namun, kendalanya perumahan relokasi untuk warga belum siap.

”Karena relokasi tidak bisa dilakukan sekarang, maka kami menawarkan relokasi sementara. Mudah-mudahan saudara (warga Rempang) bisa menerima hal ini,” ujar Rudi.

Relokasi sementara yang ditawarkan pemerintah menyewa rumah susun dan sejumlah rumah tapak untuk tempat tinggal sementara warga. Bagi warga yang tidak bersedia tinggal sementara di rumah susun atau rumah tapak yang telah disiapkan pemerintah, warga akan mendapat uang Rp 1,2 juta per bulan kepada setiap keluarga. Uang itu dapat digunakan mereka untuk menyewa rumah sesuai dengan keinginan mereka.

Padahal itu tidak sebanding dengan Proyek yang digarap PT Makmur Elok Graha (MEG) , dengan target bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Warga Rempang menolak rencana relokasi yang ditawarkan pemerintah karena di sana terdapat 16 kampung adat Melayu, alasannya, 16 kampung adat hanya mengokupansi sekitar 10 persen dari total luas lahan di Pulau Rempang.  Tidak tanggung-tanggung, pembangunan yang termasuk dalam proyek strategis nasional ini membutuhkan luas wilayah sekitar 6.115.450 m² atau sekitar 611,5 Ha. Untuk pembangunan ini pula, pemerintah setempat akan menggusur 1.835 bangunan di daerah itu.

Islam solusi persoalan Rempang

Dalam pandangan Islam, penguasa hadir sebagai pelayan rakyat, bukan pelayan para konglomerat. Negara wajib memastikan terwujudnya kemaslahatan di tengah rakyat. Penguasa mendapatkan amanah dan tanggung jawab untuk mewujudkan kemaslahatan itu. Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka mengurusi rakyat.

Melakukan pembangunan adalah tugas penguasa. Amanah ini tidak  boleh beralih kepada pihak lain, apalagi para konglomerat. Jika hal ini dilakukan, berarti mengalihkan tanggung jawab dan bentuk khianat kepada rakyat

Pembangunan dalam Islam tidak boleh menyalahi syariat, pembangunan infrastruktur dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Pembangunan tersebut harus dikelola negara dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya.

Dari aspek jangka waktu pengadaannya, pembangunan infrastruktur dalam Islam dibagi menjadi dua jenis. Pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat. Misal, satu kampung atau komunitas tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, dan saluran air minum. Kedua, infrastruktur yang dibutuhkan tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya, misalnya jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan, perluasan masjid dll. (Abdurrahman al-Maliki, (1963), As-Siyasah al-Iqtishadiyah Al-Mutsla).

Kemudian, cara membiayai proyek pembangunan dalam Islam. Pertama, meminjam ke negara asing atau lembaga keuangan global, tetapi tidak dibolehkan jika terdapat unsur riba di dalamnya. Kedua, memproteksi dengan mengambil kemaslahatan dari beberapa aset yang termasuk milik umum, seperti pertambangan komoditas strategis (hutan, air, minyak bumi, gas). Rasulullah saw. pernah memproteksi sebuah lahan di Madinah untuk menggembalakan kuda dan itu untuk kepentingan negara. 

Ketiga, mengambil pajak (dharibah), hanya boleh dipungut jika diperuntukkan untuk biaya infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan sifatnya mendesak. Namun, yang dipungut hanyalah laki-laki kaya dan warga negara muslim.

Dan semuanya ini hanya terealisasi dalam sebuah penerapan sistem Islam kaffah, Rasulullah saw. telah bersabda, “Tidaklah halal seseorang untuk mengambil tongkat milik saudaranya, kecuali atas kerelaannya.” (HR Ibnu Hibban).

Wallahu'alam bisshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak